Kinerja kejaksaan mendapat sorotan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sebab, hingga kini lembaga penegak hukum itu dinilai belum maksimal menagih uang pengganti korupsi.
Hal itu terungkap saat rapat DPD pekan lalu. Rapat itu terkait rancangan pertimbangan terhadap tindak lanjut hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I Tahun Anggaran 2009.
Kepada Rakyat Merdeka, anggota DPD I Wayan Sudarta mendesak kejaksaan mengklarifikasi hasil temuan BPK terkait uang pengganti korupsi yang belum berhasil ditagih lembaga itu.
“DPD juga punya fungsi pengawasan. Kami ingin masalah ini klir secepatnya. Apa uang itu belum ditagih atau memang sudah ditagih tapi belum diserahkan ke kas negara,” ujarnya.
Menurut Wayan, berdasarkan hasil temuan BPK disebutkan, uang pengganti senilai Rp 8,15 triliun serta denda senilai Rp 30,19 miliar di lingkungan Kejaksaaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta belum berhasil ditagih.
Meski fokus pengawasan DPD kepada keuangan daerah, tetapi, menurut Wayan, pihaknya juga bisa melakukan pengawasan terhadap instansi tertentu dalam wadah akuntabilitas publik yang khusus mengawasi instansi di luar pemerintah daerah.
Jadi, apabila ada indikasi korupsi DPD bisa melaporkan ke KPK atau lembaga penegak hukum lainnya.
Untuk itu, anggota DPD asal Bali ini mengimbau agar dalam rapat konsultasi antara pimpinan DPD dengan pimpinan lembaga terkait, termasuk kejaksaan nanti itu bisa dijelaskan. Karenanya dia berharap kejaksaan bekerja maksimal dan profesional dalam upaya pemberantasan korupsi.
Sementara itu anggota Indonesia Corruption Watch (ICW), Illian Deta Artasari mengatakan, sampai saat ini masih mempertanyakan terkait uang pengganti para koruptor yang belum juga dituntaskan.
“Saya lihat masih banyak koruptor yang berpura-pura jatuh miskin untuk menghindari uang pengganti negara. Padahal kenyataannya hartanya masih sangat berlimpah,” katanya.
Belum tuntas masalah uang pengganti korupsi itu menurut Illian karena dua faktor. Pertama, terpidananya yang tidak mau mengembalikan uang negara dengan alasan jatuh miskin. Kedua, kurang seriusnya kejaksaan memburu harta para koruptor sehingga masalah ini tidak selesai.
Selain itu, subsider uang pengganti dengan kurungan badan sering tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan, menurutnya, banyak yang tidak menjalankan hukuman badan tapi tidak membayar kerugian negara.
Alasan jatuh miskin yang sering diungkapkan kejaksaan terhadap para koruptor juga seringkali tidak ada parameternya. Ini yang memungkinkan terjadinya celah melakukan deal-deal agar tidak membayar kerugian negara.
Illian mengungkapkan, berdasarkan data BPK dan lembaga lain masih banyak para koruptor yang jumlahnya lebih dari 50 orang hanya mengembalikan beberapa miliar saja. Sedangkan kerugian negara mencapai triliunan rupiah. “Ini tidak adil buat masyarakat,” tegasnya.
“Soal Itu Saya Tidak Hafal”
Marwan Effendy, JAM Pidsus
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), Marwan Effendy yang dikonfirmasi mengaku tidak hafal secara pasti terkait uang pengganti yang belum berhasil ditagih Kejagung sebesar Rp 8,15 triliun.
“Soal itu saya tidak hafal ya. Tapi soal uang pengganti kan ada pidana pengganti bagi terpidana yang tidak dapat membayar uang denda,” kata Marwan Effendy melalui pesan singkat (SMS) yang dikirim ke Rakyat Merdeka.
Menurut Marwan, yang tidak dapat membayar uang denda akan dikenakan pidana subsider berupa pidana badan. Bagi terpidana yang menjalankan pidana subsider menurut undang-undang tidak lagi menjalankan pidana uang pengganti dan seharusnya kewajiban itu harus dihapus dari register.
“Kalau tidak dihapus akan selalu dihitung karena sesuai dengan undang-undang No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara harus prosedural. Di bawah Rp 10 miliar penghapusannya persetujuan menteri keuangan,” ungkapnya.
Sementara kalau uang pengganti itu jumlahnya antara Rp 10 miliar sampai dengan Rp 100 Miliar, sambung Marwan persetujuannya harus melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Sepanjang itu belum dihapus tetap akan dianggap sebagai piutang negara,” cetusnya.
Marwan menjelaskan, perkara uang pengganti negara harus diselesaikan dengan penuh kearifan, karena ada dua pengaturan tentang hal itu. Menurut Undang-undang Korupsi kalau sudah melaksanakan pidana subsider dipandang selesai, jadi tidak lagi dianggap tunggakan.
“Dicek Dulu Ya”
Hidayatullah, Aspidsus Kejati DKI Jakarta
Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (Aspidsus Kejati DKI Jakarta), Hidayatullah belum mengetahui secara pasti angka Rp 30,19 miliar yang belum berhasil ditagih masuk kategori perkara apa saja.
“Harus Dicek dulu ya,” Hidayatullah malalui pesan singkat (SMS) yang dikirim ke Rakyat Merdeka.
“Harus Izin Menkeu”
Harry Z Soeratin, Karo humas Depkeu
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan (Karo Humas Depkeu), Harry Z Soeratin mengaku bahwa penghapusan uang pengganti para koruptor yang jumlahnya di bawah Rp 10 miliar harus melalui izin Menkeu. “Itu harus Izin Menkeu,” tegasnya.
Namun untuk masalah perbedaan dalam undang-undang Perbendaharaan Negara dan undang-undang Tipikor terkait uang pengganti terhadap para tahanan yang telah menjalani hukuman, Harry mengaku tidak tahu secara pasti.
“Lebih baik tanya ke biro hukum Depkeu, dia yang lebih tahu,” cetusnya.
“Koruptor Itu Lihai”
Syarifudin Suding, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR, Syarifudin Suding meminta kejaksaan serius mengejar uang pengganti korupsi yang selama ini belum dibayarkan para koruptor.
Menurutnya, selama ini banyak putusan pengadilan yang sudah tetap tapi belum dieksekusi kejaksaan sehingga para koruptor sudah mengalihkan hartanya kepada pihak ketiga. Ini yang sulit dilacak.
“Koruptor itu lihai. Kalau ada yang ngaku jatuh miskin jangan langsung percaya. Harus dilakukan investigasi mendalam ke mana uang yang dilarikan tersebut,” katanya.
Politisi Hanura ini berjanji dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kejagung akan mempertanyakan masalah uang pengganti tersebut. Ini penting supaya tidak terjadi simpang siur.
Saat ini, kata dia, merupakan momentum yang tepat buat kejaksaan untuk menunjukkan prestasinya. Salah satu caranya dengan menarik uang pengganti dari para koruptor dalam jumlah besar sehingga masyarakat akan memberikan apresiasi yang tinggi terharap langkah kejaksaan.
“Mungkin Ada Kendala Teknis Di Lapangan”
Heru Lelono, Staf Khusus Presiden Bidang Informasi Dan PR
Staf Khusus Presiden Bidang Informasi dan Public Relation (PR), Heru Lelono meminta kejaksaan terus mengejar uang pengganti para koruptor yang belum membayar kerugian negara hingga kini.
“Kalau ada laporan kejaksaan belum mengembalikan uang negara itu mungkin ada kendala teknis di lapangan yang memungkinkan itu tidak bisa ditarik,” kata Heru Lelono kepada Rakyat Merdeka.
Menurutnya, kejaksaan harus tegas terharap para koruptor termasuk memburu asetnya. Jangan juga cepat percaya jika para koruptor mengatakan jatuh miskin.
Heru menjelaskan uang pengganti korupsi tidak harus semuanya diserahkan ke kas negara. Ada beberapa yang memang langsung diserahkan kepada lembaga yang bersangkutan di mana uang tersebut di korupsi.
Heru mengharapkan kepada kejaksaan jangan hanya melakukan pemberantasan korupsi tetapi harus juga dalam bentuk pencegahan.
No comments:
Post a Comment