Pemerintah memperketat pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat terpidana kasus korupsi, tindak pidana pencucian uang, narkoba, terorisme, dan kejahatan berat lainnya.
"Sekarang sudah tidak ada lagi remisi yang diobral untuk terpidana kasus korupsi dan kejahatan besar lain," ujar Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana, Rabu 26 Desember 2012.
"Sekarang sudah tidak ada lagi remisi yang diobral untuk terpidana kasus korupsi dan kejahatan besar lain," ujar Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana, Rabu 26 Desember 2012.
Pengetatan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP ini ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada November 2012 lalu. Peraturan itu adalah perubahan atas peraturan sebelumnya, PP No. 28 Tahun 2006, tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan penjara.
"Kalau sekarang muncul pemberitaan remisi terhadap narapidana narkoba atau korupsi, itu baru usulan saja, belum kami kabulkan. Tidak ada yang diobral," Denny menegaskan.
Meski begitu, kata Denny, narapidana kasus-kasus tersebut bisa diberikan remisi. Tapi dengan syarat, bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
Selain itu, terpidana juga harus membayar lunas denda, dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. "Kesediaan untuk bekerja sama ini harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," katanya.
Sedangkan untuk terpidana terorisme terdapat syarat lainnya yakni, telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lapas atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar kesetiaan kepada NKRI secara tertulis. Bagi narapidana WNA harus ada ikrar tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme.
Kritik atas remisi koruptor
Pemberian remisi, dan pembebasan bersyarat terhadap terpidana korupsi terus menuai kritikan. Kebijakan ini dinilai tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Misalkan pemberian remisi terhadap terpidana kasus pajak, Gayus Halomoan Tambunan; terpidana korupsi APBD Garut, Agus Supriyadi; terpidana kasus penyuapan terhadap hakim Syarifuddin, Puguh Wirawan. Ketiganya mendapat potongan hukuman selama 4 bulan pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-67 dan Hari Raya Idul Fitri pada Agustus 2012.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto saat itu menilai, pemberian remisi terhadap terpidana kasus korupsi tidak sesuai dengan semangat TAP MPR Nomor 11 tahun 1998 dan Nomor 8 tahun 2001 yang mengamanatkan untuk pemberantasan korupsi harus tegas dan tuntas.
"Tegas itu artinya kita jangan memberi toleransi, supaya efek jeranya disadari. Yang jadi soal TAP MPR itu tidak dijadikan dasar dan rujukan kebijakan," kata Bambang, Jumat 17 Agustus 2012 lalu.
Bambang pun mempertanyakan dasar legal formal kebijakan itu. "Yang jadi pertanyaannya kan dua TAP MPR yang jadi dasar era reformasi itu tetap dipakai atau tidak. Kalau tidak jadi dasar spiritual pemberantasan korupsi itu, tidak akan ada maknanya," ujarnya.
Namun, Kemenkumham saat itu punya alasan menyetujui pemberian remisi kepada terpidana kasus korupsi, narkoba dan terorisme. Alasannya, usulan pengetatan remisi atau draft pengganti PP 28 ketika itu belum ditandatangani Presiden.
Meski upaya pengetatan itu tetap dilakukan Kemenkum HAM, namun untuk pemberian remisi pada HUT RI 17 Agustus dan Hari Raya Idul Fitri, kementerian itu terpaksa kembali kepada PP 28 tahun 2006 untuk bisa dijadikan dasar hukum pemberian remisi bagi terpidana kasus korupsi, terorisme, dan narkoba.
Sejumlah terpidana kasus korupsi lainnya yang mendapat hadiah pemotongan hukuman di tahun 2012 yakni, AKBP Achmad Rivai N (kasus rekening gendut polisi), Ahmad Santoso (kasus korupsi pembebasan tanah di Jakarta Utara), Daud Aswan Nasution (kasus pembobol kas pemerintah Kabupaten Batu Bara), Dien Rajana (kasus manipulasi pajak Bank Jabar), Sarwo Edhi Wibowo (kasus korupsi program kajian kapasitas lembaga perwakilan rakyat daerah tahun anggaran 2008), Yusrizal (kasus korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit), Kompol Arafat Enanie (kasus penerimaan suap selama penyidikan kasus Gayus Tambunan).
Selain itu, Sumino Eko Putro (kasus korupsi pengadaan 60 kereta hibah dari Jepang), Bambang Heru Ismunarso (kasus korupsi pajak PT Surya Alam Tunggal), Dadang Kadarusman (kasus pengadaan tanah makam di DKI Jakarta tahun 2006-2007), Paryanto (kasus pengadaan tanah kuburan di Tanah Kusir), Akbar Supria Panca (pembebasan lahan di Kelurahan Lebak Bulus). Mereka diberikan potongan selama 1 bulan.
Sementara, terpidana yang mendapat remisi 1 bulan yakni, terpidana kasus pembobol bank BNI, mantan Dirut PT Brocolin Internasional, Ahmad Sidik Maulana.
Sedangkan untuk terpidana terorisme terdapat syarat lainnya yakni, telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lapas atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar kesetiaan kepada NKRI secara tertulis. Bagi narapidana WNA harus ada ikrar tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme.
Kritik atas remisi koruptor
Pemberian remisi, dan pembebasan bersyarat terhadap terpidana korupsi terus menuai kritikan. Kebijakan ini dinilai tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Misalkan pemberian remisi terhadap terpidana kasus pajak, Gayus Halomoan Tambunan; terpidana korupsi APBD Garut, Agus Supriyadi; terpidana kasus penyuapan terhadap hakim Syarifuddin, Puguh Wirawan. Ketiganya mendapat potongan hukuman selama 4 bulan pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-67 dan Hari Raya Idul Fitri pada Agustus 2012.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto saat itu menilai, pemberian remisi terhadap terpidana kasus korupsi tidak sesuai dengan semangat TAP MPR Nomor 11 tahun 1998 dan Nomor 8 tahun 2001 yang mengamanatkan untuk pemberantasan korupsi harus tegas dan tuntas.
"Tegas itu artinya kita jangan memberi toleransi, supaya efek jeranya disadari. Yang jadi soal TAP MPR itu tidak dijadikan dasar dan rujukan kebijakan," kata Bambang, Jumat 17 Agustus 2012 lalu.
Bambang pun mempertanyakan dasar legal formal kebijakan itu. "Yang jadi pertanyaannya kan dua TAP MPR yang jadi dasar era reformasi itu tetap dipakai atau tidak. Kalau tidak jadi dasar spiritual pemberantasan korupsi itu, tidak akan ada maknanya," ujarnya.
Namun, Kemenkumham saat itu punya alasan menyetujui pemberian remisi kepada terpidana kasus korupsi, narkoba dan terorisme. Alasannya, usulan pengetatan remisi atau draft pengganti PP 28 ketika itu belum ditandatangani Presiden.
Meski upaya pengetatan itu tetap dilakukan Kemenkum HAM, namun untuk pemberian remisi pada HUT RI 17 Agustus dan Hari Raya Idul Fitri, kementerian itu terpaksa kembali kepada PP 28 tahun 2006 untuk bisa dijadikan dasar hukum pemberian remisi bagi terpidana kasus korupsi, terorisme, dan narkoba.
Sejumlah terpidana kasus korupsi lainnya yang mendapat hadiah pemotongan hukuman di tahun 2012 yakni, AKBP Achmad Rivai N (kasus rekening gendut polisi), Ahmad Santoso (kasus korupsi pembebasan tanah di Jakarta Utara), Daud Aswan Nasution (kasus pembobol kas pemerintah Kabupaten Batu Bara), Dien Rajana (kasus manipulasi pajak Bank Jabar), Sarwo Edhi Wibowo (kasus korupsi program kajian kapasitas lembaga perwakilan rakyat daerah tahun anggaran 2008), Yusrizal (kasus korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit), Kompol Arafat Enanie (kasus penerimaan suap selama penyidikan kasus Gayus Tambunan).
Selain itu, Sumino Eko Putro (kasus korupsi pengadaan 60 kereta hibah dari Jepang), Bambang Heru Ismunarso (kasus korupsi pajak PT Surya Alam Tunggal), Dadang Kadarusman (kasus pengadaan tanah makam di DKI Jakarta tahun 2006-2007), Paryanto (kasus pengadaan tanah kuburan di Tanah Kusir), Akbar Supria Panca (pembebasan lahan di Kelurahan Lebak Bulus). Mereka diberikan potongan selama 1 bulan.
Sementara, terpidana yang mendapat remisi 1 bulan yakni, terpidana kasus pembobol bank BNI, mantan Dirut PT Brocolin Internasional, Ahmad Sidik Maulana.
No comments:
Post a Comment