Berbeda dengan kebanyakan tim pembela yang cenderung bersikap defensif, Rizal Mallarangeng, 48 tahun, justru mengambil sikap ofensif. Bertindak sebagai juru bicara mantan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng, 49, dan Andi Zulkarnain "Choel" Mallarangeng, 46--kakak dan adiknya yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dan saksi kasus Hambalang--Rizal garang menyerang berbagai pihak yang dia yakini terlibat kasus korupsi pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) ini. P3SON direncanakan dibangun di tanah seluas 312 ribu hektar lebih di Desa Hambalang, Kabupaten Bogor dan diproyeksikan memakan anggaran Rp2,58 triliun.
“Setelah saya baca berbagai dokumen, termasuk hasil audit investigasi BPK, dan bicara dengan sejumlah pihak, jelas ada kekuatan besar di balik Hambalang,” kata doktor ilmu politik lulusan Ohio State University, AS ini. “Kami akan bongkar!”
Siapa gerangan yang dimaksud Rizal? Berikut petikan wawancara dengannya dalam beberapa kali kali kesempatan.
Apa pangkal kasus Hambalang menurut Anda?
Dua menteri terkait, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, tidak menandatangani pengajuan dana Proyek Hambalang, tapi dana tetap dicairkan Menteri Keuangan. Pengajuan dana Hambalang tidak ditandatangani Menpora selaku Pengguna Anggaran (PA), tapi hanya ditandangani Sekretaris Kemenpora Pak Wafid Muharram, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Air bah tidak akan muncul seandainya pintu airnya tidak dibuka.
Siapa yang menarik pintu air itu?
Ini pertanyaan penting untuk menguak kasus Hambalang. Prinsipnya: follow the money, dari sumbernya. Ini kami ibaratkan aliran air Bengawan Solo, tempat keluarnya adalah Waduk Gajah Mungkur. Salah kelola di pintu air pertama bisa berdampak pada semua faktor. Kalau pintu air kotor, maka sekitarnya akan tercemar. Nah, penjaga tertinggi pintu air Hambalang adalah Menteri Keuangan Agus Martowardojo, dan untuk anggaran dibantu Anny Ratnawati, Wakil Menteri Keuangan yang ketika itu menjabat Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan.
Peraturan apa yang dilanggar?
Peraturan Menteri Keuangan No. 56/2010 dan Peraturan Menteri PU No. 45/2007 (Rizal menyodorkan fotokopi dua peraturan tersebut yang telah dia tandai di sana-sini). Dua menteri belum teken, dana sudah cair. Kenapa? Karena itu kita harus terus bertanya kepada Menkeu Agus dan Anny Ratnawati, siapa yang bertanggung jawab? Mereka tidak boleh serampangan, sebab mereka mengelola total Rp1.500 triliun uang negara. Kalau Hambalang serabutan begini, bagaimana dengan yang lain? Jangan-jangan yang lain juga kacau-balau.
Usul saya, teman-teman DPR RI perlu membentuk panitia khusus untuk meneliti persoalan ini. Jangan-jangan ini bagian dari suatu kerusakan besar. Kalau perlu, Presiden membentuk komisi independen untuk menelusuri apakah ini kesalahan individual atau kesalahan yang sistematis. Saya menduga ada kesalahan sistematis, terkait struktur politik kita, terkait dinamika politik dan ekonomi negeri ini.
Saya sudah telusuri, dalam kasus Hambalang, pihak yang selalu berhubungan dengan Bu Anny Ratnawati adalah Wafid Muharram (saat itu Sekretaris Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga) dan Deddy Kusdinar (Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora). Mereka bersama staf yang berhubungan dengan Agus Martowardojo dan Anny di Kementerian Keuangan.
Ke mana arah tuduhan Anda sebenarnya?
Setelah kakak saya jadi tersangka, kami bertanya-tanya. Rasanya sulit dipercaya dan tidak mungkin seorang yang sederhana seperti Wafid Muharram dan Deddy Kusdinar menjadi otak dari kasus sebesar dan sekompleks ini.
Deddy ini bukan tipe pegawai yang ekstravaganza. Keluarganya tinggal di pesantren dan istrinya sakit-sakitan, sudah habis biaya banyak. Masa sih orang seperti ini bisa canggih begitu memutar anggaran dan bisa mendesak Menteri Agus dan Dirjen Anggaran Anny Ratnawati untuk mengeluarkan dana Rp1,2 triliun padahal Menpora belum teken?
Dengan Deddy kebetulan saya punya hubungan pribadi. Dia adalah salah satu Pengawas Sekolah Ragunan di mana saya sekolah dulu. Dia itu tipikal pegawai rendahan di Indonesia. Apa mungkin mereka yang merekayasa anggaran? Saya tidak percaya.
Dalam penyelidikan Anda, keanehan apa saja yang Anda temukan?
Ada tiga fakta yang membimbing hasil penyelidikan kami. Pertama, soal korespondensi antara Kemenpora dan Kemenkeu. Terjadi surat menyurat secara intensif pada tahun 2010, tapi tidak satu pun ada surat yang ditandatangani Andi Mallarangeng sebagai Menpora. Itu keanehan pertama.
Kedua, Pak Wafid dan Deddy diatur dan diarahkan dari kantor Ditjen Anggaran yang waktu itu dipimpin Anny Ratnawati.
Ketiga, Menteri Agus Martowardojo mestinya sangat mudah memahami peraturan di kementeriannya sendiri. Anehnya, tidak sekali pun Pak Agus menanyakan kepada kakak saya soal pengajuan anggaran tahun jamak(multiyears) yang belum ditandatangani Menpora itu. Kan mestinya tinggal angkat telepon atau menanyakan langsung saat bertemu di rapat kabinet. Apalagi, surat menyurat antara Kemenpora dan Kemenkeu sangat intensif dalam tiga bulan terakhir di tahun 2010. Ini aneh sekali.
Kita hanya bisa memahami ini semua, jika mengerti konteks besarnya. Tidak mungkin Wafid dan pegawai-pegawai Anny bisa menentukan sendiri anggaran sebesar ini. Hak anggaran dipegang DPR. Karena itu, dalam kasus ini jelas ada dinamika khusus dengan DPR, di mana fraksi terbesarnya adalah Demokrat. Saat anggaran Hambalang dibahas di DPR siapa Ketua Fraksi Demokrat? Siapa yang jadi Bendahara Umum Demokrat? (Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin, red).
Kami ini membantu KPK, kami ingin menyodorkan alternatif bagi arah penyidikan yang lebih baik.
“Setelah saya baca berbagai dokumen, termasuk hasil audit investigasi BPK, dan bicara dengan sejumlah pihak, jelas ada kekuatan besar di balik Hambalang,” kata doktor ilmu politik lulusan Ohio State University, AS ini. “Kami akan bongkar!”
Siapa gerangan yang dimaksud Rizal? Berikut petikan wawancara dengannya dalam beberapa kali kali kesempatan.
Apa pangkal kasus Hambalang menurut Anda?
Dua menteri terkait, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, tidak menandatangani pengajuan dana Proyek Hambalang, tapi dana tetap dicairkan Menteri Keuangan. Pengajuan dana Hambalang tidak ditandatangani Menpora selaku Pengguna Anggaran (PA), tapi hanya ditandangani Sekretaris Kemenpora Pak Wafid Muharram, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Air bah tidak akan muncul seandainya pintu airnya tidak dibuka.
Siapa yang menarik pintu air itu?
Ini pertanyaan penting untuk menguak kasus Hambalang. Prinsipnya: follow the money, dari sumbernya. Ini kami ibaratkan aliran air Bengawan Solo, tempat keluarnya adalah Waduk Gajah Mungkur. Salah kelola di pintu air pertama bisa berdampak pada semua faktor. Kalau pintu air kotor, maka sekitarnya akan tercemar. Nah, penjaga tertinggi pintu air Hambalang adalah Menteri Keuangan Agus Martowardojo, dan untuk anggaran dibantu Anny Ratnawati, Wakil Menteri Keuangan yang ketika itu menjabat Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan.
Peraturan apa yang dilanggar?
Peraturan Menteri Keuangan No. 56/2010 dan Peraturan Menteri PU No. 45/2007 (Rizal menyodorkan fotokopi dua peraturan tersebut yang telah dia tandai di sana-sini). Dua menteri belum teken, dana sudah cair. Kenapa? Karena itu kita harus terus bertanya kepada Menkeu Agus dan Anny Ratnawati, siapa yang bertanggung jawab? Mereka tidak boleh serampangan, sebab mereka mengelola total Rp1.500 triliun uang negara. Kalau Hambalang serabutan begini, bagaimana dengan yang lain? Jangan-jangan yang lain juga kacau-balau.
Usul saya, teman-teman DPR RI perlu membentuk panitia khusus untuk meneliti persoalan ini. Jangan-jangan ini bagian dari suatu kerusakan besar. Kalau perlu, Presiden membentuk komisi independen untuk menelusuri apakah ini kesalahan individual atau kesalahan yang sistematis. Saya menduga ada kesalahan sistematis, terkait struktur politik kita, terkait dinamika politik dan ekonomi negeri ini.
Saya sudah telusuri, dalam kasus Hambalang, pihak yang selalu berhubungan dengan Bu Anny Ratnawati adalah Wafid Muharram (saat itu Sekretaris Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga) dan Deddy Kusdinar (Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora). Mereka bersama staf yang berhubungan dengan Agus Martowardojo dan Anny di Kementerian Keuangan.
Ke mana arah tuduhan Anda sebenarnya?
Setelah kakak saya jadi tersangka, kami bertanya-tanya. Rasanya sulit dipercaya dan tidak mungkin seorang yang sederhana seperti Wafid Muharram dan Deddy Kusdinar menjadi otak dari kasus sebesar dan sekompleks ini.
Deddy ini bukan tipe pegawai yang ekstravaganza. Keluarganya tinggal di pesantren dan istrinya sakit-sakitan, sudah habis biaya banyak. Masa sih orang seperti ini bisa canggih begitu memutar anggaran dan bisa mendesak Menteri Agus dan Dirjen Anggaran Anny Ratnawati untuk mengeluarkan dana Rp1,2 triliun padahal Menpora belum teken?
Dengan Deddy kebetulan saya punya hubungan pribadi. Dia adalah salah satu Pengawas Sekolah Ragunan di mana saya sekolah dulu. Dia itu tipikal pegawai rendahan di Indonesia. Apa mungkin mereka yang merekayasa anggaran? Saya tidak percaya.
Dalam penyelidikan Anda, keanehan apa saja yang Anda temukan?
Ada tiga fakta yang membimbing hasil penyelidikan kami. Pertama, soal korespondensi antara Kemenpora dan Kemenkeu. Terjadi surat menyurat secara intensif pada tahun 2010, tapi tidak satu pun ada surat yang ditandatangani Andi Mallarangeng sebagai Menpora. Itu keanehan pertama.
Kedua, Pak Wafid dan Deddy diatur dan diarahkan dari kantor Ditjen Anggaran yang waktu itu dipimpin Anny Ratnawati.
Ketiga, Menteri Agus Martowardojo mestinya sangat mudah memahami peraturan di kementeriannya sendiri. Anehnya, tidak sekali pun Pak Agus menanyakan kepada kakak saya soal pengajuan anggaran tahun jamak(multiyears) yang belum ditandatangani Menpora itu. Kan mestinya tinggal angkat telepon atau menanyakan langsung saat bertemu di rapat kabinet. Apalagi, surat menyurat antara Kemenpora dan Kemenkeu sangat intensif dalam tiga bulan terakhir di tahun 2010. Ini aneh sekali.
Kita hanya bisa memahami ini semua, jika mengerti konteks besarnya. Tidak mungkin Wafid dan pegawai-pegawai Anny bisa menentukan sendiri anggaran sebesar ini. Hak anggaran dipegang DPR. Karena itu, dalam kasus ini jelas ada dinamika khusus dengan DPR, di mana fraksi terbesarnya adalah Demokrat. Saat anggaran Hambalang dibahas di DPR siapa Ketua Fraksi Demokrat? Siapa yang jadi Bendahara Umum Demokrat? (Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin, red).
Kami ini membantu KPK, kami ingin menyodorkan alternatif bagi arah penyidikan yang lebih baik.
Rizal Mallarangeng (kiri), Andi Alfian Mallarangeng, dan Choel Mallarangeng.
Anda mau bilang dalam kasus Hambalang ini ada dalang yang belum terungkap?
Pasti. Di Proyek Hambalang ini ada tanah yang bertahun-tahun sertifikatnya tidak selesai-selesai, tiba-tiba selesai begitu saja. Jangan lupa di sini juga ada peran Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto yang merupakan teman dekat Anny Ratnawati dan dari dulu berada dalam lingkaran inti Presiden SBY. Jangan juga dilupakan bahwa Anny itu anak buah Joyo di Brighton Institute, lembaga think tank SBY. Itulah sebabnya yang mengambil sertifikat dari BPN bukan Wafid dan timnya, tapi Ignatius Mulyono, anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR RI, yang sudah secara terbuka mengaku diperintah langsung petinggi Partai Demokrat.
Setelah dana Hambalang turun, Anny jadi Wakil Menteri Keuangan. Menurut Anda, ada kaitannya?
Wallahualam. Semuanya rahasia Tuhan. Tapi, yang jelas, kakak saya yang jadi korban. Kalau mau lihat potret besarnya, begini: ada partai baru berkuasa, mengusai eksekutif. Kalau kakinya belum kuat, kekuasaannya tentu gampanag goyah. Tapi, kalau baru berkuasa mau cari uang banyak di swasta tentu susah. Paling gampang di perusahaan negara, perusahaan pelat merah, karena paling gampang diatur. Di negeri ini ada 100 BUMN lebih, dengan aset Rp10 ribu triliun. Maka itu, dimainkan lah BUMN ini.
Lihat saja, kalau tender, semua perusahaan BUMN yang dapat. Kontraktor Hambalang itu konsorsium Adhi Karya dan Wijaya Karya, dua-duanya BUMN. Dan Adhi Karya dan Wijaya ini tidak mengerjakan proyek Hambalang sendiri. Mereka ternyata mirip broker proyek saja. Setelah menang tender, mereka mensubkontrakkan pekerjaan ke 55 perusahaan lain, total senilai Rp482,5 miliar.
Di level pelaksana proyek Hambalang, siapa yang menurut Anda paling bertanggung jawab?
Di tingkat hilir, otaknya adalah Muhammad Arifin. Dia konsultan pelaksana sejak awal. Dia yang membuat harga satuan barang jadi begitu tinggi. Di ujungnya adalah PT Dutasari Citra Laras (DCL), perusahaan sub kontraktor terbesar di Proyek Hambalang yang dipimpin Mahfud Suroso dan istri Anas Urbaningrum. Harap dicatat, Mahfud adalah juga teman baik Anas. PT Dutasari ini mendapat proyek mechanical electrical, nilainya total sebesar Rp295 miliar. Menurut audit BPK, di sini terjadi dugaan korupsi besar-besaran.
Perusahaan sub kontraktor terbesar kedua adalah PT Global Daya Manunggal milik Pak Herman Prananto, yang mendapat pekerjaan fondasi dengan nilai kontrak Rp127 miliar. Jadi, PT Dutasari dan PT Global merupakan subkontraktor untuk 87 persen dari keseluruhan nilai subkontrak proyek sebesar Rp482,5 miliar.
Saya sudah bertemu Pak Herman. Di sini ada keanehan lagi. Kata Pak Herman, Adhi Karya masih menunggak pembayaran sebesar Rp50 miliar kepada dia. Padahal, untuk Mahfud sudah dibayar luas semua. Ini kan aneh. Dalam pekerjaan konstruksi, yang harus dilunasi duluan adalah pekerjaan fondasi. Pekerjaan kabel dan listrik biasanya dibayar belakangan.
Apa persisnya tuduhan korupsi terhadap Andi Mallarangeng dari KPK?
Belum jelas, karena sampai sekarang (Rabu, 19 Desember 2012) kami belum menerima surat penetapan sebagai tersangka dari KPK. Tapi, jika melihat dari hasil audit investigasi BPK tanggal 30 Oktober 2012 (Rizal membuka dokumen audit tersebut), dia dikaitkan dengan proses pencairan uang muka Proyek Hambalang. BPK menyatakan, “Karena proses persetujuan kontrak tahun jamak menyalahi ketentuan, maka kontrak induk tidak boleh terjadi, … [maka sisa uang muka yang belum terpakai] yaitu sebesar Rp116,9 miliar merupakan indikasi kerugian negara.”
Tuduhan kerugian negara ini merupakan konstruksi konseptual, bukan konstruksi faktual. Ini bisa dimentahkan oleh dua hal. Pertama, kembali ke penjelasan saya di awal, pihak yang paling bertanggung jawab adalah yang membuka “pintu air”. Kakak saya tidak menandatangani pengajuan dana Hambalang, tapi kenapa diloloskan Kementerian Keuangan? Yang kedua, kontraktor sudah menyerahkan bank guarantee ke pemerintah yang bisa dicairkan setiap saat, sehingga sisa uang muka Rp116,9 miliar itu tidak hilang sama sekali. Jadi, apanya yang merugikan negara?
Ada tuduhan bahwa Menpora Andi Mallarangeng lah yang menggelembungkan anggaran Hambalang menjadi Rp2,5 triliun?
Itu tuduhan ngawur. Proyek Hambalang ini kasus lama, dimulai pada tahun 2003-2004, sejak Kemenpora masih Dirjen Olahraga di bawah Depdiknas, terus berlanjut di masa Menpora sebelumnya Adhyaksa Dault, di mana Wafid Muharram sudah menjadi Sekretaris Kemenpora.
Bisa dicek di dokumen-dokumen yang ada, anggaran Rp2,5 triliun itu sudah ditetapkan sebelum kakak saya jadi Menpora . Semua hal soal Hambalang sudah diputuskan, semua sudah di-set--mulai dari anggaran, rencana pembangunan, pengurusan sertifikat, sampai pemenang tender. Semua proses yang berlangsung di masa Andi Mallarangeng jadi Menpora adalah bagian dari proses yang sudah direncanakan sebelum dia jadi Menpora.
Begitu jadi menteri, dia langsung dipaparkan oleh Wafid cs. rencana pembangunan Hambalang dengan anggaran Rp2,5 triliun itu. Nilainya tidak pernah bertambah di masa Andi Mallarangeng. Sebagai Menpora, kakak saya hanya memberikan arahan normatif seputar peruntukan gedung, jangan dibuat terlalu mewah, sebaiknya ada amphitheater, dan sejenisnya. Semua teknis anggaran dan pembangunan sudah diatur sebelumnya.
Contohnya, tertera di dokumen hasil audit BPK, bahwa pada Februari-April 2009—sebelum Andi Mallarangeng dilantik sebagai Menpora—sudah ada tiga surat dari Kemenpora meminta bukti pelepasan hak atas tanah dari Pak Probosutedjo sebagai pemilik sebelumnya.
Kakak saya baru dilantik jadi Menpora 22 Oktober 2009. Sialnya, begitu jadi menteri dia langsung terjebak di tengah-tengah mafia proyek dan mafia anggaran yang sudah mengincar Hambalang sejak lama.
Anda kini menyerang banyak pihak, apa tujuannya sebenarnya?
Saya bukan cuma ingin membela kakak dan adik saya. Saya ingin membongkar kasus ini. Di Wisma Proklamasi 41 ini (kantor Rizal, red.) akan menjadi data center kasus Hambalang. Silakan dimanfaatkan pers, blogger, dan siapapun yang ingin sama-sama mendalami dan mengungkapnya. Saya akan selidiki terus. Saya akan bikin “KPK swasta” untuk membongkar korupsi Hambalang ini … hahaha.
Belum jelas, karena sampai sekarang (Rabu, 19 Desember 2012) kami belum menerima surat penetapan sebagai tersangka dari KPK. Tapi, jika melihat dari hasil audit investigasi BPK tanggal 30 Oktober 2012 (Rizal membuka dokumen audit tersebut), dia dikaitkan dengan proses pencairan uang muka Proyek Hambalang. BPK menyatakan, “Karena proses persetujuan kontrak tahun jamak menyalahi ketentuan, maka kontrak induk tidak boleh terjadi, … [maka sisa uang muka yang belum terpakai] yaitu sebesar Rp116,9 miliar merupakan indikasi kerugian negara.”
Tuduhan kerugian negara ini merupakan konstruksi konseptual, bukan konstruksi faktual. Ini bisa dimentahkan oleh dua hal. Pertama, kembali ke penjelasan saya di awal, pihak yang paling bertanggung jawab adalah yang membuka “pintu air”. Kakak saya tidak menandatangani pengajuan dana Hambalang, tapi kenapa diloloskan Kementerian Keuangan? Yang kedua, kontraktor sudah menyerahkan bank guarantee ke pemerintah yang bisa dicairkan setiap saat, sehingga sisa uang muka Rp116,9 miliar itu tidak hilang sama sekali. Jadi, apanya yang merugikan negara?
Ada tuduhan bahwa Menpora Andi Mallarangeng lah yang menggelembungkan anggaran Hambalang menjadi Rp2,5 triliun?
Itu tuduhan ngawur. Proyek Hambalang ini kasus lama, dimulai pada tahun 2003-2004, sejak Kemenpora masih Dirjen Olahraga di bawah Depdiknas, terus berlanjut di masa Menpora sebelumnya Adhyaksa Dault, di mana Wafid Muharram sudah menjadi Sekretaris Kemenpora.
Bisa dicek di dokumen-dokumen yang ada, anggaran Rp2,5 triliun itu sudah ditetapkan sebelum kakak saya jadi Menpora . Semua hal soal Hambalang sudah diputuskan, semua sudah di-set--mulai dari anggaran, rencana pembangunan, pengurusan sertifikat, sampai pemenang tender. Semua proses yang berlangsung di masa Andi Mallarangeng jadi Menpora adalah bagian dari proses yang sudah direncanakan sebelum dia jadi Menpora.
Begitu jadi menteri, dia langsung dipaparkan oleh Wafid cs. rencana pembangunan Hambalang dengan anggaran Rp2,5 triliun itu. Nilainya tidak pernah bertambah di masa Andi Mallarangeng. Sebagai Menpora, kakak saya hanya memberikan arahan normatif seputar peruntukan gedung, jangan dibuat terlalu mewah, sebaiknya ada amphitheater, dan sejenisnya. Semua teknis anggaran dan pembangunan sudah diatur sebelumnya.
Contohnya, tertera di dokumen hasil audit BPK, bahwa pada Februari-April 2009—sebelum Andi Mallarangeng dilantik sebagai Menpora—sudah ada tiga surat dari Kemenpora meminta bukti pelepasan hak atas tanah dari Pak Probosutedjo sebagai pemilik sebelumnya.
Kakak saya baru dilantik jadi Menpora 22 Oktober 2009. Sialnya, begitu jadi menteri dia langsung terjebak di tengah-tengah mafia proyek dan mafia anggaran yang sudah mengincar Hambalang sejak lama.
Anda kini menyerang banyak pihak, apa tujuannya sebenarnya?
Saya bukan cuma ingin membela kakak dan adik saya. Saya ingin membongkar kasus ini. Di Wisma Proklamasi 41 ini (kantor Rizal, red.) akan menjadi data center kasus Hambalang. Silakan dimanfaatkan pers, blogger, dan siapapun yang ingin sama-sama mendalami dan mengungkapnya. Saya akan selidiki terus. Saya akan bikin “KPK swasta” untuk membongkar korupsi Hambalang ini … hahaha.
No comments:
Post a Comment