Thursday 27 December 2012

Hapus BBM Subsidi di Jakarta, Mungkinkah? Dana subsidi BBM yang besar lebih untuk sektor transportasi

Sebuah mobil sedang mengisi BBM di SPBU Jakarta.
Pekan lalu, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, 
melontarkan wacana pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di ibukota. Dalam jangka panjang, Pemda DKI Jakarta berencana untuk menghapus premium jika transportasi massal telah bagus.

Ahok, sapaan akrab Basuki Tjahaja Purnama, menyatakan, Indonesia telah menghabiskan anggaran besar untuk subsidi BBM. Padahal, subsidi tersebut lebih banyak dinikmati orang kaya daripada warga miskin. Dia pun berencana untuk mengalihkan subsidi BBM yang besar tersebut untuk sektor transportasi.

Jika transportasi massal telah siap, semua pengguna kendaraan pribadi seperti mobil dan motor akan beralih ke angkutan umum. Tarif parkir pun akan dinaikkan untuk memaksa pengguna kendaraan pribadi beralih ke transportasi massal.

Namun, ide ini belum Ahok paparkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, karena dia masih menunggu infrastruktur transportasi massal di Indonesia membaik. Ahok mengatakan, wacana penghapusan premium di DKI Jakarta masih sangat lama.

Seperti diketahui, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012, pemerintah mengalokasikan kuota BBM subsidi sebanyak 40,4 juta kiloliter. Tapi, kenyataannya, kuota tersebut jebol dua kali menjadi 44,04 juta kiloliter pada APBN-P 2012 dan pada akhir tahun ditambah 1,2 juta kiloliter menjadi 45,2 juta kiloliter.

Membengkaknya kuota BBM subsidi juga ikut membuat jebol anggaran subsidi energi. Pemerintah memperkirakan subsidi energi bisa naik hingga Rp340 triliun. 

Padahal, dalam APBN-P 2012, total alokasi subsidi energi hanya Rp225 triliun, yang terdiri atas subsidi BBM Rp137 triliun, subsidi listrik Rp65 triliun, dan cadangan risiko energi Rp23 triliun.

BPH Migas mendukungMeski wacana pembatasan BBM subsidi direncanakan dalam jangka panjang, dukungan mulai mengalir. Kementerian Keuangan menilai kebijakan itu efektif untuk mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi.

Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan, selama ini konsumsi terbesar BBM bersubsidi berada di kota besar, termasuk Jakarta. "Lumayan kalau di Jakarta dibatasi, karena Jabodetabek paling kritikal konsumsinya," ujar Bambang, belum lama ini.

Menurut Bambang, kebijakan tersebut memang seharusnya diusulkan oleh pemerintah daerah sebagai otoritas tertinggi di daerah. Namun, dalam implementasinya, membutuhkan dukungan dari instansi pusat, misalnya BPH Migas atau PT Pertamina. "Mudah-mudahan Pemda DKI bisa bekerja sama," tambahnya. 

Ia berharap, usulan kebijakan itu bisa segera direalisasikan. Sebab, jika tidak dikendalikan, jebolnya kuota BBM bersubsidi akan terus terjadi dan membebani anggaran negara.

Tidak hanya Kemenkeu, rencana Ahok itu juga disambut positif Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Kepala BPH Migas, Andy Noorsaman Sommeng, mengatakan, setiap daerah mempunyai kewenangan untuk membatasi BBM bersubsidi, termasuk DKI Jakarta.

Menurut Andy, BPH Migas selalu mendukung inisiatif pemerintah daerah yang akan mengurangi volume BBM bersubsidi di masing-masing daerahnya.

Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Komite BPH Migas, Fahmi Harsandono 
Matori. "Apa pun itu, jika tujuannya penghematan BBM bersubsidi dan meringankan beban APBN, kami setuju," katanya kepada VIVAnews.

Fahmi menjelaskan, alokasi BBM bersubsidi untuk DKI Jakarta mencapai 3 juta kiloliter. Terdiri atas 2,2 juta kiloliter premium dan 800 ribu kiloliter solar. Nilai subsidi BBM yang harus dibayar negara kepada warga DKI Jakarta mencapai Rp15 triliun per tahun.

"Lebih dari Rp1 triliun per bulan atau lebih dari Rp30 miliar per hari. Ini bukan jumlah kecil, dan bisa dialokasikan untuk mengembangkan sarana publik seperti pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) tanpa ada pinjaman luar negeri," katanya.

Bukan ide baruMeski mendapat dukungan dari Kemenkeu dan BPH Migas, Wakil Direktur Reform Miner Institute, Komaidi Notonegoro, menjelaskan, wacana yang dilontarkan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, untuk membatasi BBM subsidi di ibukota masih membutuhkan persiapan dan koordinasi yang matang. 

"Kebijakan pembatasan oleh pemerintah pusat saja, yang telah mempunyai rencana jelas, tidak jalan," kata Komaidi saat dihubungi VIVAnews, Rabu 26 Desember 2012.

Menurut Komaidi, pengaturan BBM bersubsidi masuk dalam domain energi nasional dengan kewenangan berada di pemerintah pusat. Apalagi, kebijakan tersebut akan diterapkan di DKI Jakarta, sebagai pusat pemerintahan dan bisnis Indonesia.

Kebijakan ini, dia menjelaskan, akan berdampak pada masyarakat luas, sehingga tidak bisa tergesa-gesa diputuskan. Keputusan pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus sejalan dengan aspek ekonomi makro. 

"Selain koordinasi dengan pemerintah pusat, Pemprov DKI perlu berkoordinasi dengan wilayah sekitar untuk mengimplementasikan kebijakan ini. Tidak bisa parsial," katanya.

Selain itu, penghapusan BBM bersubsidi memerlukan izin dari Dewan Perwakilan Rakyat. Setiap langkah seperti pengetatan kuota BBM bersubsidi harus dengan persetujuan DPR. 

DPR selama ini menyetujui kuota setiap daerah yang diusulkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta BPH Migas. Langkah ini harus juga diikuti oleh Pemprov DKI Jakarta.

"Pemprov DKI Jakarta memberikan masukan kepada DPR mengenai kuota daerahnya, tidak bisa pemda menetapkan sendiri kuota BBM subsidinya," katanya.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR-RI, Teuku Rifky Harsya, menilai wacana penghapusan premium di DKI Jakarta akan sulit diimplementasikan dan bukan ide baru. Ide ini pernah dibahas dalam rapat kerja Komisi VII dengan pemerintah pusat sebagai salah satu alternatif pengurangan BBM bersubsidi.

"Kami tidak lanjutkan ide tersebut, karena bila diterapkan akan berdampak negatif, baik dari hal teknis maupun dampak sosial ke publik," kata Teuku saat dihubungi VIVAnews.

Politikus Demokrat ini mencontohkan, bagaimana nantinya pengaturan di kota-kota penyangga DKI Jakarta seperti Bekasi, Bogor, Banten, dan Tangerang. Kawasan penyangga akan kewalahan dengan serbuan dan antrean pembelian premium di SPBU-SPBU sekitar perbatasan.

"Belum lagi para pengelola SPBU DKI Jakarta pasti juga akan protes, karena merasa dirugikan," kata pria asal Aceh ini.

Solusi paling tepat, dia menambahkan, adalah menaikkan harga premium menjadi Rp6.000-6.500 per liter, dengan jaminan ketersediaan pasokan BBM subsidi setiap saat. Selain itu, ia meminta Pemda DKI Jakarta untuk memperbaiki transportasi publik.

Namun, jika Pemda DKI Jakarta berhasil memberikan solusi dari dampak negatif teknis maupun sosial, Komisi VII DPR akan mendukung.

No comments:

Post a Comment