Enam mobil merapat ke satu rumah di Jalan Jambu 1 Menteng Jakarta Pusat. Siang itu, Jumat 20 Mei 2011, Amelia Ahmad Yani --putri sulung almarhum Jendral Ahmad Yani, kedatangan tamu dari Partai Nasional Republik (PRN) atau Nasrep. Ada hajatan kecil rupanya: rapat konsolidasi partai.
Para tetamu duduk di ruang jembar itu. Rapat belum mulai. Mereka masih menunggu seorang penting lain. Dialah Tommy Soeharto, putra bungsu presiden di masa Orde Baru, Soeharto. Tommy adalah tiang. Sebagai Ketua Dewan Penasihat dia turut menghidupi partai itu. Tak heran, bila jauh-jauh hari sebelum deklarasi, partai ini akan mengusung Tommy Soeharto sebagai calon presiden RI.
Siang itu hari agak terik, dan listrik padam. “Tolong dong bilangin PLN suruh hidupin. Kita tidak betah nih. Panas,” jerit Amelia kepada salah satu pengurus Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN). Rumah itu tadinya memang mau jadi markas partai itu. Tapi karena hanya menyabet 1,21 persen suara pada Pemilu 2009, partai itu tak lolos parliamentary treshold.
Tapi Amelia tak patah semangat. Dia bertemu Tommy Soeharto, dan lobi antara dua anak jenderal yang sempat berteru di masa lalu itu, akhirnya menghasilkan kesepakatan. Mereka beraliansi menghadapi pemilu 2014. Partai Nasrep pun berdiri. Amelia masuk jadi tim formatur.
Kini Nasrep telah terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM untuk turut pemilu 2014. Kendati visi dan misi partai belum jelas, tapi jualan utama partai ini sudah bisa ditebak. Mereka membidik massa pemilih kecewa dengan kondisi reformasi yang telah berjalan 13 tahun.
"Nasional Republik akan mewadahi rakyat yang mendambakan situasi zamannya Pak Harto, yang aman, damai, dan sejahtera sandang pangan dan papan, " ujar salah satu inisiator Partai Nasional Republik, Letnan Jenderal Purnawirawan Edy Waluyo.
Menurut mantan Ketua DPRD DKI dua periode itu, kini Nasrep tengah menyiapkan mesin politiknya hingga ke 33 provinsi. Para elit partai itu masih dari wajah lama. Misalnya, Yus Usman Sumanegara (bekas Sekjen DPP Hanura), Sri Endang Astuti (Hanura), Dahlan Abdul Hamid (Bekas Ketua Umum Partai Bulan Bintang).
Selebihnya, kata Edy, Nasrep juga diperkuat bekas pejabat. Mulai dari purnawirawan, bekas bupati, Sekda, bekas camat, dan lain-lain. “Pembentukan embrio partai sudah hampir selesai. Kini kami tengah menyempurnakan AD/ART dan mempersiapkan deklarasi pada pertengahan Juni mendatang.”
Kedengarannya partai ini sangat bersemangat untuk lolos verifikasi. Apalagi, ada sedikit tonik penyegar dari survei IndoBarometer pekan lalu. Hasil survei itu: mayoritas rakyat Indonesia di semua provinsi menyatakan lebih suka kondisi di era orde baru ketimbang era reformasi. “Hasil survei itu membuat kami semakin pede,” kata Edy bangga.
***
Harus dicatat, survei IndoBarometer (lihat Infografik: Survei Rindu Soeharto) itu menyeruak di tengah aneka kisruh politik pemerintahan SBY sekarang. Sebut saja mulai kasus Century, NII, kasus suap proyek Sea Games, atau drama politik seperti kasus studi banding, gedung mewah DPR, sampai kepergok nonton video porno di rapat paripurna.
Survei dengan metode multistage random sampling dan melibatkan 1200 responden itu mengungkapkan hal cukup menggegerkan. Sebanyak 55,4 persen rakyat menganggap kondisi umum di era reformasi tak lebih baik dari era Orde Baru.
Survei menunjukkan mayoritas rakyat (40,9 persen) merasa kondisi pemerintahan Soeharto lebih baik daripada kondisi saat ini. Cuma 22,8 persen beranggapan sebaliknya. Lebih spesifik lagi, mayoritas masyarakat (36 persen) bahkan lebih menyukai Soeharto daripada Susilo Bambang Yudhoyono (20,9 persen) atau Soekarno (9,2 persen) sebagai Presiden.
Pro dan kontra atas survei itu pun pecah. Mereka yang punya pengalaman buruk dengan orde baru sontak menyergah. "Saya rasa, (survei) salah. Apa kondisi Orde Baru yang lebih baik? Nggak ada yang baik, saya rasa..." kata Taufik Kiemas, suami bekas Presiden Megawati Soekarnoputri.
Dukungan atas hasil survei justru datang dari Ketua DPP Golkar, Priyo Budi Santoso. Secara pribadi Priyo mengaku percaya terhadap IndoBarometer yang dinilainya sebagai lembaga survei kredibel. “Tidak perlu ditanggapi dengan kalang-kabut. Biasa-biasa sajalah. Survei kan cerminan suara masyarakat, jadi harus diterima dengan lapang dada oleh semua pihak,” kata dia.
Reaksi berbeda juga datang dari kalangan peneliti. Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menemukan hasil survei IndoBarometer mirip survei dibuat LSI, terutama hal anjloknya popularitas SBY. "Survei [IndoBarometer) itu bisa benar, namun bisa salah. Tapi kalau tren turunnya sama," kata dosen Universitas Paramadina dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah itu.
Dari hasil surveinya, cuma 27 persen masyarakat yang menilai SBY berhasil mengurangi kemiskinan. Tapi toh itu tak membuat rakyat percaya pada figur Orde Baru. Hasil survei terakhir LSI pada Oktober 2010 lalu, misalnya, Tommy Soeharto hanya dipilih oleh 0,8 persen responden.
Bantahan hasil survei IndoBarometer diungkapkan dari timur pulau Jawa. Peneliti dari Lembaga Pusat Studi Demokrasi dan HAM Universitas Airlangga Muhammad Asfar mengatakan kaget dengan hasil survei itu. “Terus terang saya belum pernah menemukan data semacam itu,” kata dia. Menurut Asfar, survei itu tak memenuhi dua syarat logika perilaku pemilih (voting behaviour).
Bila temuan survei itu benar, kata Asfar, seharusnya peningkatan popularitas itu tergambar pada partai yang didirikan oleh Soeharto--dalam hal ini Golkar, serta pada partai orang-orang dekat Soeharto. Asfar memang melihat adanya peningkatan pada Partai Golkar. Tapi itu tidak dilatarbelakangi oleh kerinduan masyarakat terhadap masa lalu. “Tapi, lebih karena faktor manajemen kepemimpinan dan finansial yang dimiliki Golkar saat ini,” kata Asfar.
Hal itu juga tak terjadi pada partai orang dekat Soeharto. Contohnya Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Partai yang didirikan Jendral (Purn) R Hartono dan mengusung Siti Hardijanti Rukmana itu, ternyata tak sukses meraup banyak dukungan. Pada Pemilu 2004, suara partai ini jeblok, hanya menggantang 2,11 persen suara.
Pada pemilu berikutnya makin parah, PKPB cuma meraih 1,4 persen suara, melorot satu peringkat menjadi urutan ke 13. Berdasarkan fakta itu, Asfar tak yakin bila pada pemilu mendatang nasib Tommy dan Nasrep akan berbeda. “Mereka tak akan dapat dukungan pemilih yang signifikan,” ujar Asfar.
Sementara Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer, membela hasil survei lembaganya. Ia membantah bila surveinya dibayar, atau dianggap sekadar alat propaganda orde baru. Menurutnya, persepsi masyarakat memang seringkali berseberangan dengan kondisi objektif. “Yang disurvei ini adalah persepsi masyarakat saat ini," kata Qodari.
Setidaknya, temuan IndoBarometer itu juga mirip hasil survei Pusat Kajian kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis). Puskaptis yang menggelar survei pada 15-22 Maret 2011 terhadap 1.250 sampel di seluruh Indonesia menunjukkan 52 persen responden menginginkan kondisi yang sama seperti Orde Baru.
Sementara, 25 persen responden lainnya menyatakan kondisi saat ini sama saja dengan zaman orde baru, dan 23 persen lainnya tidak tahu atau tidak menjawab. Direktur Puskaptis Husin Yazid menilai kemerosotan popularitas pemerintahan SBY disebabkan politik citra yang dianut pemerintah. " Segala masalah ditutupi dengan politik pencitraan. Masyarakat sudah jengah," katanya.
Sebagai komoditas politik, popularitas putra-putri Soeharto, pun masih diperhitungkan. “Mereka memilih trah Soeharto. Masih memiliki daya tarik,” kata politisi Hanura Yuddy Chrisnandi. Yuddy sempat beraliansi dengan Tommy Soeharto pada Munas Golkar 2009. Hanya saja, kata Yuddy, popularitas itu masih harus didukung upaya riil di lapangan, semisal menghimpun dukungan di daerah.
Solanya, kerinduan itu tak berarti rakyat setuju memilih figur orde baru. “Bila saat ini disuruh memilih, tentu masyarakat masih akan tetap memilih Presiden SBY ketimbang figur orde baru," kata Yuddy.
***
Apapun kontroversi survei itu, kerinduan atas orde baru adalah nyata. Lihat saja acara tahlilan 1000 hari wafatnya Soeharto, digelar serempak baik di kediaman keluarga Cendana, maupun di Masjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah, Astana Giri Bangun Karanganyar, serta di Desa Kemusuk Bantul Yogyakarta, Jawa Tengah, pada 22 Oktober 2010.
Ribuan orang dari berbagai kota hadir pada acara itu. Jalanan macet oleh bus peserta yang parkir mengular di sekitar lokasi. Di jalanan Pantai Utara Jawa, misalnya, tak jarang kita menemukan ungkapan kerinduan itu di lukisan belakang bak truk. Ada gambar Soeharto tersenyum, dengan tulisan: “Iseh Penak Zamanku.”(Masih enak zaman saya)
Mungkin juga keresahan atas situasi sekarang menjadi semacam peluang politik, katakanlah bagi seorang Iwan Panggu mendirikan organisasi Ikatan Masyarakat Pecinta Soeharto, yang disingkat IMAHA, pada tahun 2006 lalu. “Kami ingin menampung orang-orang yang merindukan zaman di mana kita bisa merasakan keamanan, ketentraman dan kemudahan dalam mencari makan,” ujar mantan wartawan itu.
Iwan mengklaim wadahnya menuai banyak dukungan. Mereka sesekali berkumpul di “markas” IMAHA yang berupa warnet milik Iwan di Lenteng Agung Jakarta Selatan. Menjelang Soeharto wafat 4 Januari 2008, mereka rajin membela penguasa orde baru itu dari pelbagai hujatan.
Setelah Soeharto mangkat, wadah itu pun bubar jalan. Tapi kini Iwan ingin menghidupkannya lagi. Belum lama ini ia pun membuat laman grup IMAHA di jejaring sosial Facebook dan Twitter. Pendukungnya tak banyak, baru 481 orang. Itu pun banyak anggota yang protes, merasa dimasukkan tanpa persetujuan, tapi tak tahu caranya keluar dari grup itu. Sementara di Twitter, IMAHA mengikuti 820 orang, dan hanya diikuti oleh 169 follower.
Iwan memang unik. Koran Prioritas tempat dulu dia bekerja pernah dibreidel Soeharto gara-gara terlalu keras. Tapi dia merasa ketegasan model Soeharto diperlukan memulihkan keamanan di tanah air. “Dulu peristiwa pemboman bisa dihitung dengan jari. Kini, bagaimana setelah zaman reformasi?” kata bekas redaktur di harian Media Indonesia itu.
Peneliti LIPI Profesor Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, nostalgia atas orde baru sebenarnya bukan hal baru. Saat reformasi pada 1999 pun, ungkapan itu sudah mulai muncul. Kini, kerinduan itu tampaknya menjadi semacam pelarian atas keresahan kondisi saat ini. Indikatornya, antara lain, bisa dilihat dari harga bahan pangan, kesehatan, maupun biaya pendidikan.
“Saya sendiri tak memungkiri, di zaman Soeharto saya sangat menikmati biaya kuliah yang murah, cuma Rp 15 ribu per semester,” ujar Ikrar yang dulu belajar di Universitas Indonesia itu. Kini, kata Ikrar, biaya kuliah melambung tinggi, jutaan rupiah setiap semester. Ia juga mengkiritik pelayanan kesehatan yang kian buruk. Puskesmas yang ada saat ini, kata dia, lebih buruk daripada puskesmas pada masa Soeharto.
Namun, Ikrar mengingatkan, semua ‘kenikmatan’ yang ditawarkan oleh orde baru, adalah hasil hutang luar negeri yang musti ditanggung rakyat, juga penyerahan kekayaan sumber daya alam kepada asing, serta mengorbankan kebebasan hak asasi individu. “Kita jangan sampai lupa bahwa stabilitas saat itu diperoleh dengan tangan besi. Di bawah pijakan sepatu lars, di ujung moncong pisau bayonet senapan. Apanya yang enak?” kata Ikrar.
***
Dua jam menunggu, akhirnya rombongan mendapat kabar: Tommy tak bisa hadir. Listrik masih juga padam. Sekitar pukul empat sore, akhirnya rombongan itu menggeser pertemuan mereka ke Hotel Menteng Jakarta Pusat. Sekitar 25 orang langsung memenuhi meja setengah lingkaran.
Rapat itu juga memantik perselisihan. Mereka beradu pendapat tentang siapa yang menjabat Ketua Umum dan Sekjen Partai. Amelia mengatakan sejak awal Tommy meminta dirinya untuk menjadi ketua Partai Nasrep. Syaratnya, Amelia menghibahkan seluruh aset PPRN termasuk seluruh kantor cabangnya, kepada Nasrep.
Tapi Yus Usman tak setuju. Maklum, Yus adalah perintis Partai Nasrep. Dia orang pertama yang sejak awal menggadang-gadang Tommy sebagai calon presiden, bahkan ketika ia masih menjabat Sekjen Hanura. Sampai menjelang senja, rapat itu belum sampai pada kata sepakat. Tommy Soeharto tak datang, dan persoalan internal partai itu belum terpecahkan.
No comments:
Post a Comment