Kamis, 14 Oktober 2010 , 08:20:00 WIB
RMOL. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai lembaga yang bertanggungjawab atas pengawasan terhadap perusahaan penangkapan ikan dinilai telah lalai sehingga berpotensi merugikan negara Rp 7 triliun.
Potensi kerugian negara tersebut hasil kajian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Sedangkan, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2009 Terkait Izin Perikanan Tangkap menyebutkan, belum maksimal.
“Asumsi minimum potential loss-nya sekitar Rp 165 miliar, sedangkan asumsi maksimal potential loss itu sekitar Rp 7 triliun. Itu karena kita cuma mendapat pemasukan dari ikan mentahnya saja, sedangkan nilai tambahnya lainnya tidak dimanfaatkan dengan maksimal,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, M. Riza Damanik, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurut Riza, selama ini pengawasan dari KKP terhadap para pengusaha penangkapan ikan terlalu lemah. Seharusnya sejak awal tahun ini KKP sudah mencabut izin perusahaan-perusahaan yang tidak mengelola, dan membangun Unit Pengelolaan Ikan (UPI) di Indonesia.
“Kan sudah ada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2008 pasal 51 mengatur tentang itu. Waktu satu tahun sejak diberlakukannya peraturan itu sudah cukup. Kita sudah menyatakan ini pada Maret lalu,” sesalnya.
Dijelaskan, dalam perhitungan Kiara, bila ada 2.741 perusahaan penangkap ikan dengan 5.436 kapal penangkap ikan, seharusnya saat ini Indonesia sudah memiliki 82 buah UPI. Namun keyataannya tidak demikian. “Makanya kami menyebut pengawasan KKP masih lemah,” ujarnya.
Diungkapkan, selama ini para pengusaha penangkap ikan biasanya melakukan pengolahan hasil tangkapannya di beberapa negara, seperti Cina, Filipina, dan Thaliland. Alasannya, teknologinya lebih baik, dan ongkosnya lebih murah.
“Kalau menggunakan jasa perusahaan pengolahan ikan dalam negeri, harganya lebih mahal. Para pengusaha pengolahan kerap memainkan harga. Sementara kalau membangun UPI sendiri biayanya terlalu besar,” bebernya.
Soal wacana pemberian wewenang dari KKP kepada asosiasi perikanan memberikan rekomendasi izin usaha penangkapan ikan, menurut Reza, bisa saja dilakukan, dengan catatan harus ada jaminan kalau asosiasi itu kompeten.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Yoyo Sumiskun setuju dengan rencana pemerintah, untuk mengevaluasi izin usaha penangkapan ikan dalam rangka penertiban dan penerapan peraturan hukum.
“Selama ini banyak izin penangkapan ikan yang bermasalah. Bahkan dalam banyak kasus para pengusaha kerap memanipulasi izin penangkapan, seperti memanipulasi bobot kapal yang mereka miliki,” ujarnya.
Yoyo menjelaskan, kebanyakan yang bermasalah terkait izin usaha penangkapan ikan adalah perusahaan-perusahaan besar yang berkerja sama dengan perusahaan asing.
Dalam hal pengolahan ikan misalnya, kata Yoyo, perusahaan-perusahaan itu kerap mengolah hasil tangkapan ikannya di negara lain. Padahal kalau diolah di dalam negeri, pasti keuntungannya bisa lebih banyak.
“Dengan mendirikan Unit Pengolahan Ikan baru, maka secara otomatis akan membuka lapangan kerja baru. Jadi selain bisa meningkatkan kualitas industri perikanan di Indonesia, pembukaan UPI baru juga bisa menurunkan angka pengangguran, dan menaikan PDB (Pendapatan Dopmestik Bruto) kita,” ucapnya.
Yoyo berharap KKP menyiapkan program-program yang pro terhadap nelayan, dan pengusaha kecil, sehingga kekayaan laut yang ada saat ini dinikmati rakyat Indonesia secara maksimal. “Dengan mempermudah pinjaman kredit untuk usaha, para nelayan, dan pengusaha kecil bisa berkembang,” ucapnya.
Direktur Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan KKP, Bambang Sutejo menyatakan, lembaganya siap mencabut izin perusahaan penangkapan ikan yang terbukti tidak memenuhi kewajiban membangun unit pengolahan ikan (UPI). “Dasarnya adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 tahun 2008 tentang Izin Usaha Perikanan Tangkap,” katanya.
Dijelaskan Bambang, perusahaan penangkapan ikan dibagi menjadi tiga, yaitu Pertama Kelompok Penanaman Modal Asing. Kelompok ini wajib untuk mengelola hasil tangkapan, dan membangun UPI di Indonesia. Kedua, kelompok Swasta Nasional Pengadaan Kapal Luar Negeri. Kelompok ini adalah kelompok perusahaan swasta nasional yang menyewa kapal asing. Mereka tidak diwajibkan melakukan pengadaan UPI, namun tetap harus mengelola hasil tangkapan ikannya di Indonesia. Jadi mereka bisa bermitra dengan UPI nasional.
“Ketiga adalah Kelompok Perusahaan Swasta Nasional Pemilik Kapal. Mereka juga harus mengelola hasil tangkapan di Indonesia, namun tidak wajib unutk membangun UPI sendiri,” paparnya.
Berdasarkan data yang dimiliki Ditjen Perikanan Tangkap KKP, dari 158 perusahaan Penangkapan ikan yang ada, saat ini UPI yang dibangun baru mencapai 45 buah. Dengan demikian maka jumlah tersebut masih kurang 113 buah.
“Kelompok Penanaman Modal Asing kurang 21, Kelompok Swasta Nasional Pengadaan Kapal Luar Negeri kurang 91, dan Kelompok Perusahaan Swasta Nasional kurang 1,” ujarnya.
Anak buah Fadel Muhammad ini mengatakan, lembaganya menekankan pada pengelolaan ikan di dalam negeri, untuk mengintegrasikan investasi penangkapan ikan dengan industri pengolahan ikan supaya seluruh hasil tangkapan dapat diproses di dalam negeri dan menjadi produk yang memiliki kualitas ekspor tinggi.
“Jangan Sampai Pengusaha Lokal Terpinggirkan”
Firman Soebagyo, Wakil Ketua Komisi IV DPR
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Firman Soebagyo mendukung upaya pemerintah untuk melakukan penertiban izin usaha penangkapan ikan. Bagi perusahaan yang melanggar peraturan harus ditindak dengan tegas.
“Memang seharusnya perusahaan-perusahan yang tidak menaati ketentuan undang-undang dicabut izinnya. Kalau perlu dikenakan denda,” katanya, kemarin.
Politisi Golkar ini mengingatkan, dalam melakukan penertiban izin sebaiknya pemerintah memperhatikan kemampuan perusahaan lokal yang mandiri. Selama ini yang mendominasi bisnis perikanan kebanyakan perusahaan yang mendapat bantuan, atau berkerjasama dengan perusahaan asing.
“Supaya perusahaan lokal kita bisa bersaing, pemerintah harus mau memberikan toleransi kepada mereka. Kalau perlu, kita ubah undang-undangnya supaya mereka tidak kesulitan. Jangan sampai para pengusaha lokal terpinggirkan, dan para nelayan kita digantikan nelayan asing,” ungkapnya.
Selain itu, anak buah Aburizal Bakrie ini mengusulkan, untuk meningkatkan usaha perikanan tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan sebaiknya mengadakan kerjasama dengan pihak perbankan untuk mempermudah pengucuran dana kepada para nelayan, atau pengusaha perikanan lokal. “Saya yakin, dengan adanya kemudahan dalam hal permodalan, akan lebih mudah untuk mengembangkan usahanya,” cetusnya.
Sekarang Baru Ribut Evaluasi
Muhammad Karim, Direktur Pusbang Kelautan & Maritim
Dugaan penyalahgunaan izin usaha perikanan dan penangkapan ikan ditengarai telah terjadi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemerintah provinsi, hingga kabupaten/kota.
Modusnya antara lain berupa pemalsuan data bobot kapal ikan dalam pengurusan izin. Bobot kapal yang tertera dalam dokumen perizinan usaha penangkapan ikan berbeda dengan ukuran fisik kapal sebenarnya.
“Contohnya di Kota Medan, Sumatera Utara. Di sana terdapat sembilan kapal yang terbukti memiliki bobot kapal 40-79 gross ton (GT), tetapi mengajukan izin ke pemerintah daerah. Padahal, menurut ketentuan, izin kapal di atas 30 GT dilakukan pemerintah pusat,” kata Direktur Pusat Pengembangan Kelautan & Maritim, Muhammad Karim, kemarin.
Menurutnya, dengan tidak adanya UPI yang mulai dibangun oleh investor asing pada triwulan pertama tahun 2010, seharusnya pemerintah bisa langsung mengambil sikap untuk menyelesaikan masalah ini.
“Kan pada Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor 5 tahun 2008 sudah jelas tercantum. Seharusnya Kementerian langsung memberikan teguran, dan memikirkan kemungkinan pencabutan izin dong. Jangan sekarang baru ribut evaluasi izin usaha penangkapan ikan,” sesalnya. [RM]
No comments:
Post a Comment