Thursday 10 March 2011

ULILL ABSHAR ABDALLA TENTANG TENTANG MEMAKAI JILBAB DI AMERIKA

Sebulan yang lalu, isteri saya baru saja mendapatkan izin kerja, working permit. Setelah itu, dia langsung sibuk melayangkan lamaran ke beberapa tempat, antara lain warung kopi Starbuck, warung waralaba yang mempunyai jaringan global itu.
Saat interview beberapa hari yang lalu, isteri saya bertanya kepada pihak manajer warung itu: apakah ada masalah jika dia memakai jilbab? Pihak manajer mengatakan: tak ada masalah.Kami malah senang menerima pekerja dari berbagai latar-belakang budaya, kata dia.
Tetangga apartemen kami, seorang pendeta berkulit hitam, baru saja menyelesaikan program Master of Divinity (MDiv) dan akan segera keluar meninggalkan apartemen. Resident Representative atau kepala apartemen tempat saya tinggal bernisiatif mengadakan pesta perpisahan. Acara itu berlangsung tadi malam: kami, warga apartemen, berkumpul di halaman rumput yang cukup luas di depan apartemen saya, untuk melakukan barbeque atau bakar-bakar daging.
Saat ngobrol, terlontar sebuah komentar yang menarik mengenai isteri dari seorang perempuan tetangga apartemen. Dia seorang kulit putih yang berasal dari pantai timur, California.
Perempuan itu bilang bahwa dia senang dengan isteri saya yang berjilbab, karena terbuka, selalu bergaul, dan tak pernah merasa “terisolir”.
Selama tiga tahun tinggal di Amerika di kawasan negara bagian Massachusetts, kami sekeluarga, terutama isteri saya, tak pernah mengalami sesuatu yang tak menyenangkan, katakanlah semacam “harassment“. Isteri saya memiliki sejumlah teman dekat, antara lain seorang perempuan “bule” yang datang dari latar belakang tradisi Quaker (sekte Kristen yang dikenal karena sikap toleran), seorang perempuan Yahudi yang berasal dari Israel, seorang perempuan Katolik yang berasal dari Venezuela dan bersuamikan seorang lelaki asal Libanon, dan seorang perempuan dari Jepang (yang sekarang sudah “mudik” ke negerinya).
Mereka senang sekali bergaul dengan isteri. Mereka sadar bahwa seorang Muslim tak boleh makan daging babi. Dalam setiap kesempatan makan-makan di mana isteri saya diundang, mereka selalu ingin memastikan bahwa makanan yang dihidangkan tak mengandung daging babi.
Suatu hari, saya menerima telpon dari teman isteri saya yang “bule” itu, menanyakan tentang sejumlah hari raya dalam Islam. Saat itu kebetulan sedang menjelang hari raya Idul Adha. Dia bertanya, apa makna hari raya itu. Saya terangkan sekedarnya. Dia kemudian bertanya, apa yang seharusnya dikatakan kepada seorang Muslim saat merayakan hari raya Idul Adha. Dia ingin mengirimkan ucapan kartu selamat kepada keluarga saya berkenaan dengan hari-hari raya Islam.
Saya sendiri kebingungan menjawab pertanyaan dia. Sebab, selama ini memang tak ada ucapan khusus yang seharusnya dikatakan orang lain kepada umat Islam saat Idul Adha. Saya bilang kepada dia, “Just say, Happy Holiday of Sacrifice”. Beberapa hari kemudian, kami menerima kartu ucapan selamat dari perempuan bule itu, “Happy Holiday of Sacrifice”. Saya sungguh terharu.
Sepengetahuan saya, tak ada masalah yang serius dengan praktek jilbab di Amerika. Tentu ada beberapa insiden di sejumlah tempat, terutama setelah peristiwa 9/11. Tetapi secara umum, dalam penilaian saya, tak ada persekusi atau “diskriminasi” atas perempuan yang berjilbab di Amerika. Sekurang-kurangnya itulah yang dialami oleh isteri saya selama ini.
Beberapa waktu lalu, isteri saya sempat menonton pertandingan baseball di stadium milik Red Sox, tim baseball kebanggaan Boston, di kawasan Fenway. Dia mungkin satu-satunya perempuan berjilbab yang ada di tengah lautan penonton saat itu. Itulah kesempatan pertama isteri saya menonton pertandingan baseball. Selama pertandingan berlangsung, isteri saya malah sibuk “jeprat-jepret”. Tindakan isteri saya itu menarik perhatian seorang penonton, “Baru pertama kali menonton ya?”
Isteri, dengan tersenyum tersipu-sipu, bilang, “Ya.”
Banyak teman Indonesia yang memiliki isteri berjilbab di kawasan Boston ini. Sejauh pengetahuan saya, tak ada pengalaman buruk yang mereka alami tinggal di kota Boston ini. Kesan saya, masyarakat Amerika di kawasan negara bagian Massachusetts ini cukup toleran (bahkan toleran sekali) terhadap keragaman ekspresi agama.
Di Universitas Harvard tempat saya belajar saat ini bahkan ada kebijakan baru yang sungguh “mencengangkan” buat saya, yaitu disediakannya jam khusus untuk perempuan Muslimah yang ingin memakai gedung jimnastik. Biasanya, mahasiswi yang beragama Islam, terutama yang berjilbab, kurang merasa “sreg” untuk olah-raga bersama kaum laki-laki. Demi menghargai “keyakinan kaum Muslim”, pihak kampus mengambil kebijakan untuk menyediakan waktu khusus bagi perempuan Muslimah yang ingin melakukan “exercise”. Apakah mungkin universitas Islam melakukan hal seperti ini?
Umat Islam di Amerika nyaris memiliki kebebasan yang penuh untuk melaksanakan ajaran agama mereka. Umat Islam dari seluruh sekte dan aliran bisa berkembang dan dipraktekkan dengan bebas di negeri “sekuler” yang kerap dikutuk oleh sebagian umat Islam itu.
Selama ini, sebagian kalangan Islam memiliki pandangan yang keliru bahwa sistem sekuler memusuhi agama. Pandangan semacam ini jelas keliru, terutama dalam konteks Amerika. Sistem sekuler mencoba menegakkan prinsip di mana negara tidak mencampuri urusan keyakinan dan praktek keagamaan penduduknya. Semua orang diberikan kebebasan untuk melaksanakan keyakinan asal tak mengganggu umat yang lain.
Di bawah sistem inilah umat Islam di Amerika memiliki kebebasan penuh untuk berdakwah dan menjalankan keyakinan mereka secara leluasa.

No comments:

Post a Comment