Thursday, 11 September 2014

SURYADHARMA ALI DAN DUA RANGKAP JABATAN YANG SUUL KHOTIMAH

http://indonesiarayanews.com/foto_berita/Suryadharma%20Ali1.jpgSuara gaduh terdengar dari ruang rapat DPP Partai Persatuan Pembangunan, Rabu dinihari 10 September 2014. Tiba-tiba, terdengar suara gebrakan meja yang kencang.

Suara Ketua Umum PPP Suryadharma Ali pun terdengar meninggi. Dia marah-marah kepada semua peserta rapat tertutup di lantai tiga itu. Lamat-lamat, Suryadharma mengatakan beberapa kalimat, seperti: "ketua umum...."  dan "...tidak ada yang ingin mempertahankan jabatan." Selebihnya hanya terdengar samar.

Tetapi beberapa menit kemudian, rapat itu kembali hening. Pintu rapat terbuka dan Suryadharma keluar dengan wajah masam.

Sambill berjalan tergesa-gesa, dia sempat mengeluarkan unek-uneknya. "Malam ini rapat paling tidak sehat. Karena ada rapat dalam rapat. Sebelum rapat ini ternyata ada rapat lagi dan sudah mengambil keputusan untuk menggulingkan saya," kata dia.

Rupanya, rapat harian yang semula mengagendakan pemilihan panitia muktamar itu berubah menjadi ajang pelengseran Suryadharma dari kursi ketua umum. Itulah alasan Suryadharma kemudian walk out dari rapat tertutup itu.

Suryadharma tak terima dengan pemecatannya dari kursi ketua umum. Dia berargumen bahwa ketua umum dipilih melalui muktamar, maka pemberhentiannya pun harus di forum yang sama. Dia berkali-kali menuding, ada orang yang ingin menjegal dan melengserkannya sebelum Muktamar pada Oktober 2014. "Mereka punya agenda," kata dia.

Pejabat teras PPP memang membuat keputusan mengejutkan dengan memecat Suryadharma sebagai ketua umum. Salah satu alasan mereka, karena Suryadharma berstatus tersangka dalam dugaan korupsi yang tengah diusut Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Status tersangka itu membatasi geraknya," kata Sekretaris Jenderal PPP Romahurmuziy menjelaskan hasil rapat pleno pimpinan partai.

Pemberitaan media massa mengenai kasus yang menyeret Suryadharma juga dinilai sudah sampai pada tingkat yang menjatuhkan citra dan kehormatan PPP secara nasional sehingga perlu diambil keputusan.

Namun, Romahurmuziy menjamin keputusan pimpinan PPP itu bukanlah keputusan sepihak. Setidaknya,  21 DPW PPP se-Indonesia telah mengusulkan pemberhentian Suryadharma. Hasil pertemuan dengan sesepuh dan senior partai pada 1 September juga mendesak Suryadharma mundur.

Emron Pangkapi kemudian ditunjuk sebagai pelaksana tugas ketua umum, sesuai dengan AD/ART PPP Pasal 12 ayat 1. Ia bersama Romahurmuziy diamanatkan untuk segera mempersiapkan pendaftaran pergantian Ketua Umum ke Kementerian Hukum dan HAM.

Sementara itu, Ketua DPP PPP Dimyati Natakusuma menilai pemecatan Suryadharma itu tidak sah. Rapat yang memutuskan itu ilegal. Dia bahkan menganggap, tindakan yang dilakukan sejumlah elite PPP itu sudah melampaui batas.

Pemecatan itu, katanya, hasil persekongkolan jahat orang-orang yang ingin menguasai PPP dengan cara yang inskonstitusional. "Mereka yang memecat ketua umum itu sudah makar dan kudeta. Mereka ingin jadi penguasa partai tanpa melalui muktamar," katanya.

Romahurmuziy membantah tuduhan Dimyati. "Tidak ada konspirasi. Kalau ada konspirasi tentu rapat tidak akan selama ini. Kalau ada konspirasi, tentu semua sudah diputuskan sejak awal rapat.” Menurutnya, rapat berlangsung sangat demokratis. Semua peserta rapat menyampaikan pendapatnya dan tidak boleh dibatasi oleh pimpinan rapat.

Kegaduhan demi kegaduhan

Pemecatan Suryadharma Ali merupakan antiklimaks dari sejumlah kegaduhan di tubuh PPP. Kegaduhan di partai berlambang Kabah itu diawali kurang tiga pekan sebelum Pemilu Legislatif 2014. Kala itu, Ketua Umum Suryadharma Ali dinilai melakukan manuver politik yang kelewatan.

Tanpa koordinasi dengan pimpinan lainnya, Suryadharma menghadiri kampanye Partai Gerindra di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, 23 Maret 2014. Sebab, kehadiran Suryadharma segera dibaca sebagai bentuk dukungan PPP kepada calon presiden Prabowo Subianto.

Tak tanggung-tanggung, Suryadharma bahkan mengatakan dengan terang: “Gerindra telah memutuskan calon pemimpin yang tepat. Saya makin jatuh cinta pada Pak Prabowo. Satu presiden untuk Indonesia Raya, untuk para kiai.” Padahal belum ada keputusan resmi PPP soal dukung-mendukung itu.

Setelah hasil Pemilu Legislatif diumumkan, Suryadharma juga dituding sebagai penyebab perolehan suara PPP yang mengecewakan. Partai itu hanya meraih 6,53 persen suara nasional, terpaut cukup jauh dari PKB yang menjangkau 9,04 persen suara. Padahal pada Pemilu 2009, posisi PPP berada di atas PKB. PPP memperoleh 5,32 persen suara, sedangkan PKB mendapat 4,94 persen suara. Suryadharma dianggap telah merusak mental kader dengan manuvernya menghadiri kampanye Gerindra.

Partai yang sebagian basis pendukungnya warga Nahdlatul Ulama itu kian bergolak setelah Suryadharma mengumumkan dukungan resmi PPP kepada Prabowo pada 18 April 2014. Kubu M Romahurmuziy membatalkan keputusan deklarasi itu. Romahurmuziy —yang sebelumnya dipecat oleh Suryadharma tapi melawan— menggelar rapat pleno yang menghasilkan keputusan: PPP belum menentukan koalisi dengan partai mana pun maupun dukungan terhadap calon presiden mana pun.

“Pernyataan dukungan yang disampaikan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali kepada Prabowo Subianto bertentangan dengan AD/ART Partai. Dengan demikian dukungan itu batal demi hukum,” kata Romahurmuziy, kala itu.

Romahurmuziy berusaha mendahului langkah politik Suryadharma dengan menggelar rapat pimpinan nasional, hanya sehari setelah ia menganulir deklarasi sang Ketua Umum. Rapimnas memutuskan: pemberhentian sementara terhadap Suryadharma Ali dari jabatannya selaku Ketua Umum PPP.

Tiga hari kemudian digelar Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Agenda utamanya sesungguhnya mengukuhkan Emron Pangkapi yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas (plt) menggantikan Suryadharma. Tapi forum yang dihadiri pimpinan PPP dari daerah-daerah se-Indonesia itu berubah menjadi ajang islah alias berdamai antara kubu Suryadharma dengan kubu Romahurmuziy.

Suryadharma meminta maaf kepada seluruh pengurus dan kader PPP atas kegaduhan tersebut. Ia bahkan menitikkan air mata saat menjabat tangan para petinggi partai. Romahurmuziy bilang bahwa emua peserta Mukernas sudah memaafkan Suryadharma, sebab Ketua Umum sudah memperlihatkan kesungguhan untuk islah.

Perseteruan dua kubu itu kian mereda setelah PPP secara resmi memutuskan mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014. Keputusan itu merupakan hasil musyawarah mufakat dalam Rapat Pimpinan Nasional II di Jakarta, 12 Mei 2014. Keputusan sekaligus itu mengakhiri polemik pecah kongsi yang mengiringi partai berlambang Ka'bah usai Pemilu Legislatif 2014.

Namun, hingar-bingar di partai yang pernah menjadi peserta pemilu selama era Orde Baru itu belum benar-benar berakhir. Partai kembali ribut setelah Suryadharma, yang menjabat menteri agama, ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 22 Mei 2014. Ia disangka menyelewengkan dana haji tahun 2012-2013 di Kementerian Agama.

Menurut KPK, dana yang dikucurkan terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun 2012-2013 ini cukup besar, hingga lebih dari Rp1 triliun. Dana itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan dari setoran haji masyarakat.

Suryadharma pun didesak mengundurkan diri, sebagai Ketua Umum PPP dan sebagai menteri agama. Sejumlah pengurus daerah tingkat provinsi meminta Suryadharma secara sukarela mengundurkan diri. Menurut mereka, pengunduran diri itu akan membuat Suryadharma lebih terhormat dan citra partai relatif lebih baik.

Dua pimpinan wilayah PPP, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, juga mendesak Partai segera menggelar Musyawarah Kerja Nasional untuk memilih ketua umum baru. Desakan itu diklaim didukung 21 pimpinan wilayah se-Indonesia.

Tapi Suryadharma menolak. "Terus terang saya belum memikirkan untuk mundur,” katanya kepada wartawan di kantornya, 23 Mei 2014. Dia bilang, berhenti di tengah jalan tidak akan menyelesaikan masalah yang tengah melanda partai. "Pada akhirnya ada penyelesaian masalah parsial, tidak menyeluruh.”

Agar penyelesaian bisa menyeluruh, kata Suryadharma, satu-satunya jalan adalah melaksanakan muktamar. Kegiatan itu dilakukan untuk mengganti ketua umum dan pengurus.

Romahurmuziy membela Suryadharma. Katanya, sepanjang belum ada keputusan hukum yang bersifat tetap atau sebelum ada vonis dari Pengadilan, Suryadharma tetap Ketua Umum. Muktamar luar biasa bisa digelar hanya untuk meneruskan sisa masa jabatan dari periode berjalan.

Dimyati Natakusumah berpendapat sama. Menurutnya, Suryadharma bisa dilengserkan dari posisinya melalui forum muktamar. “Janganlah memundurkan ketua umum dalam waktu dekat ini karena sebentar lagi kita akan muktamar, maka melalui forum muktamar-lah supaya landing (pelengseran)-nya soft.”

Lagi pula, katanya, dalam peraturan dasar partai itu, tidak ada aturan seorang ketua umum yang ditetapkan sebagai tersangka harus mundur. "Di AD/ART itu yang harus mundur kalau meninggal dunia, atau sakit berkepanjangan sehingga tidak bisa menjalankan tugas, dan terkena pidana yang sudah inkracht keputusannya."
Suul khotimah
Belum ada keputusan hukum tetap atas kasus korupsi yang disangkakan kepada Suryadharma karena ia memang menjalani sidang. Ia pun belum dibuktikan bersalah atau tidak. Tapi, pemberhentian itu telah mengakhiri karier politik Suryadharma. Sayangnya ia mengakhirinya dengan prestasi yang buruk alias suul khotimah.

Terpilih kali pertama sebagai ketua umum pada 2007, menggantikan Hamzah Haz. Ia terpilih kembali sebagai ketua umum untuk periode kedua pada 2011. Masa jabatannya seharusnya berakhir pada 2015, tapi statusnya sebagai tersangka korupsi mempercepat durasi kepemimpinannya di partai berbasis massa Islam itu.

Suryadharma kali pertama duduk di kursi menteri pada tahun 2004, di kabinet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Lalu, ia digeser menjadi menteri agama pada kabinet Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada 2009.

Masa jabatannya seharusnya berakhir pada Oktober 2014. Tapi, sekali lagi, statusnya sebagai tersangka korupsi membuatnya lebih cepat meninggalkan jabatan itu. Ia menyatakan mundur dari jabatannya pada 26 Mei 2014 dan resmi mengirimkan surat pengunduran diri kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 Mei 2014. Posisinya kemudian digantikan Lukman Hakim Saifuddin.