Thursday, 12 August 2010

ABU BAKAR BA'ASYIR, MUJAHID ATAU TERORIS SIH?

Senyumnya tetap mengembang. Berpenampilan sederhana, memakai baju koko dan berkopiah putih, menyapa ramah siapa saja yang dijumpainya. Pasca-meledaknya bom di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton, aktivitasnya tetap seperti sediakala, terus berdakwah dan berdakwah. Hanya, di Malang, Jawa Timur, acara tablig akbar yang rencananya digelar pada 20 Juli --tiga hari setelah JW Marriott-The Ritz-Carlton dibom-- dibatalkan.

"Selebihnya lancar-lancar saja," kata Ustad Haris Amir Falah, Ketua Jamaah Ansharu-Tauhid, Jakarta, kepada Gatra. Ahad lalu, misalnya, sedikitnya ada dua acara yang dihadiri Ustad Abu di Banten, yakni di Serang dan Menes, Pandeglang, Banten.

Nama Abu Bakar Ba`asyir kembali disebut-sebut pasca-meledaknya bom di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton. Terangkatnya nama ustad kelahiran Jombang, Jawa Timur, 17 Agustus 1938, itu tak bisa dilepaskan dari tudingan bahwa dia Amir Al-Jamaah al-Islamiyah (JI), menggantikan Ustad Abdullah Sungkar yang meninggal pada 1999. Para tertuduh dan terpidana aksi-aksi bom di Indonesia adalah anggota JI.

Pada 3 Maret 2005, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis dua setengah tahun penjara kepada Ustad Abu. Oleh majelis hakim, Abu Bakar Ba`asyir dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom Bali I (12 Oktober 2002). Pada 17 Agustus 2005, Ustad Abu mendapat keringanan hukuman empat bulan 15 hari. Lalu, pada 14 Juni 2006, Abu Bakar Ba`asyir bebas.

Upaya hukum terus dilakukan tim pengacaranya agar Ustad Abu bebas dari tuduhan sebagai biang terorisme di Indonesia. Upaya peninjauan kembali pun dilakukan. Upaya ini berbuah. Pada 21 Desember 2006, majelis hakim Mahkamah Agung yang dipimpin German Hoediarto membebaskan Abu Bakar Ba`asyir dari dakwaan atas kasus terorisme dan bom Bali I.

Bagaimana Ustad Abu menanggapi tudingan keterlibatannya dalam bom Mega Kuningan kali ini? Wartawan Gatra Herry Mohammad, Ahad siang lalu, menemui Abu Bakar Ba`asyir di Serang. Wawancara ini berlangsung di atas mobil, dalam perjalanan dari Masjid Agung Banten (lama), Serang, menuju Menes, Pandeglang, selama hampir satu setengah jam.

Berikut petikan wawancara Herry Mohammad dengan pendiri Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, itu:

Bom kembali meledak di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton. Rohan Kumar Gunaratna, Kepala Institut of Defence and Strategic Studies, Singapura, menuding Anda sebagai otak di belakang bom itu. Komentar Anda?
Dia itu kan orang kafir yang tidak senang dengan orang Islam. Ya, selalu begitu tuduhannya. Tidak apa-apa, memang begitulah watak orang-orang yang memusuhi Islam. Dugaan saya, ini ulah CIA (Central Intelligence Agency --Red.)-nya Amerika. Amerika itu kan negara teroris. Tujuannya, untuk memecah belah umat Islam. Juga agar pemerintah mulai represif terhadap umat Islam yang dinilai keras.

Tapi, jika hasil penyelidikan dan penyidikan polisi ternyata melibatkan aktivis-aktivis muslim, bagaimana?
Ya, bisa saja mereka itu dimanfaatkan atau ditunggangi kepentingan yang lebih besar, ya CIA itu.

Bom Bali I (12 Oktober 2002), Bom Bali II (1 Oktober 2005), bom JW Marriott I (5 Agustus 2003), dan bom di Kedutaan Besar Australia (9 September 2004) adalah bom bunuh diri yang melibatkan aktivis Islam. Apakah Anda percaya bahwa bom itu buatan mereka?
Tidak. Bom Bali I yang dahsyat itu, yang katanya buatan Amrozi cs, saya tidak percaya. Amrozi cs memang bisa bikin bom, tapi kekuatannya paling-paling hanya bisa memecahkan kaca jendela. Kalau kena orang, ya, hanya bisa membuat orang pincang jalannya.

Tapi, faktanya, mereka yang melakukan dan yang ditangkapi adalah aktivis Islam. Bagaimana Anda menjelaskannya?
Seperti saya katakan tadi, bisa saja mereka dimanfaatkan. Saya sendiri menilai mereka adalah para mujahid, bukan teroris!

Mengapa?
Karena mereka berjuang di jalan Islam, jalan yang benar. Bisa saja mereka direkrut Al-Qaeda yang telah mendeklarasikan perang terhadap Amerika. Begitu pula sebaliknya. Bagi Al-Qaeda, perang dengan Amerika bisa di mana saja dan kapan pun. Ini soal ijtihad. Bagi saya, Indonesia bukan wilayah perang. Karena itu, jalan dakwah yang mesti ditempuh. Tapi, bagi Ali Ghufron (bersama Amrozi dan Imam Samudra, yang dieksekusi pada 9 November 2008 --Red.), Indonesia adalah wilayah perang. Ini ijtihad mereka. Siapa yang benar? Nanti Allah yang memutuskannya.

Selama ini, adakah para bomber itu datang kepada Anda dan meminta restu?
Kepada siapa saja yang datang, saya selalu memberi nasihat-nasihat, juga pandangan saya tentang jihad. Jika mereka sudah tahu pandangan saya seperti itu, yang tidak merestui melakukan pengeboman di Indonesia, tentu mereka tidak akan mau datang untuk minta restu.

Dalam pandangan Anda, mengapa Indonesia dijadikan sasaran bom?
Dari sudut pandang syariat, Pemerintah Indonesia tidak mempraktekkan syariat Islam. Sudah jelas bahwa demokrasi itu buatan kafir, kok malah diikuti. Karena masyarakat Indonesia mayoritas Islam, ya, sudah seharusnya Indonesia melaksanakan isi Al-Quran dan hadis.

Tentang saham umat Islam dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, tidak usah ditanya lagi. Itu sudah jelas. Sejarah juga mencatatnya. Dalam pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam, minoritas mendapat perlindungan. Apa yang terjadi di Indonesia? Kemaksiatan dan kemusyrikan merajalela di mana-mana.

Dari segi ilmu, banyak kaum cerdik cendekia yang kebablasan dalam menerjemahkan ayat-ayat Al-Quran. Lihatlah hukum waris yang digugat, kawin antarjenis (homo dan lesbian --Red.) direkomendasi, dan seterusnya. Karena itu, bangsa Indonesia mesti introspeksi, mengapa semua ini bisa terjadi? Menurut pemahaman kami, karena syariat tidak ditegakkan, malah demokrasi yang dipakai. Demokrasi itu kan modal untuk menipu orang.

Kok, untuk menipu orang?
Iya, selama itu masih menguntungkan Amerika, meskipun sebuah negeri tersebut diktator, misalnya, akan tetap aman-aman saja, tidak diganggu. Tapi, kalau negeri tersebut tidak menguntungkan mereka, akan terus diganggu.

Kenapa Anda dimusuhi Amerika?
Karena saya menyuarakan Islam yang benar. Mereka tidak suka itu. Lalu saya difitnah macam-macam.

Apakah Anda punya hubungan dengan Osama bin Laden?
Ya, punya. Hubungan saya dengan Osama bin Laden adalah hubungan iman. Tidak ada hubungan organisasi. Jamaah Ansharut-Tauhid yang saya pimpin tidak ada hubungan dengan Al-Qaeda. Yang ada adalah jaringan keimanan. Kami mandiri, tak pernah mendapatkan dana sepersen pun dari Al-Qaeda.

Dalam pandangan Anda, Osama bin Laden itu teroris atau mujahid?
Osama bin Laden dan para aktivis Al-Qaeda itu mujahid, karena mereka menyuarakan dan berjalan di atas jalan Islam yang benar. Mereka konsisten dan menjaganya. Saya mendukung itu.

Bagaimana dengan Dr. Azahari, Noor Din Mohd. Top, dan para bomber yang beroperasi di Indonesia?
Mereka juga para mujahid, bukan teroris. Bahwa mereka melakukan perang di Indonesia, itu yang saya tidak sepaham.

Beberapa santri dari Al-Mukmin, Ngruki, jadi bomber, beberapa lagi ditangkap karena ikut dalam aksi-aksi Noor Din Mohd. Top. Komentar Anda?
Alhamdulillah. Saya bangga karena Al-Mukmin punya alumni yang jadi mujahid. Tidak ada alumni Al-Mukmin yang jadi teroris, yang ada adalah mujahid.

Dengan cara mengebom dan korbannya masyarakat sipil?
Kembali lagi, itu soal ijtihad. Mereka menganggap bahwa Indonesia adalah wilayah perang.

Anda menolak demokrasi, bagaimana dengan partai-partai Islam?
Saya berlepas diri dari masalah ini. Saya tidak mau ikut campur dalam urusan demokrasi buatan Barat itu. Bagi partai-partai Islam yang ikut pemilu, itu urusan mereka. Kami menempuh jalan kami, jalan dakwah, karena inilah yang benar.

Lalu, bagaimana Anda bisa ikut berpartisipasi dalam memperbaiki negeri ini jika tanpa mau masuk ke koridor demokrasi?
Jalan kami adalah jalan dakwah dan jihad. Pada saat ini, di Indonesia, yang paling mungkin adalah jalan dakwah. Kami akan terus berdakwah kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Nasihat-nasihat terus kami berikan. Jika tidak mau menerima nasihat, ya, silakan. Yang penting, kami sudah menyampaikan. Jika kita tetap di jalur dakwah dan istikamah, Allah pasti akan menolongnya. Dan itu adalah keyakinan kami.

Anda mengenal Noor Din Mohd. Top?
Ya, ketika saya di Malaysia. Orangnya pintar dan manajemennya bagus. Karena itu, ia pernah menjadi kepala sekolah di Pesantren Lukmanul Hakim di Johor Baru, Malaysia. Tapi, pada waktu itu, yang saya tahu, namanya hanya Noor Din, tidak ada Top-nya, ha, ha, ha....

[Laporan Utama, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 23 Juli 2009]

No comments:

Post a Comment