JERITAN PARA TKI DI ARAB SAUDI (Menanti Asa di Kolong Jembatan)

KOLONG Jembatan Kandara yang menjadi penghubung masuk ke kota Mekkah, tidak terlalu ramai di siang hari. Namun ketika malam, tidak lama setelah adzan salat Isya memanggil, kolong jembatan yang hampir macet sepanjang waktu itu mulai ramai.

Para tenaga kerja indonesia (TKI) yang luntang-lantung menunggu dipulangkan, berkumpul di kanan jalan. Di sepanjang jalan itu, berdiri kokoh gedung-gedung dan toko-toko.

Tidak hanya tenaga kerja asal Indonesia saja sebenarnya, tetapi juga ada yang berasal dari Bangladesh dan Bangali. Jumlahnya bisa mencapai 400 orang.

"Tetapi yang banyak memang dari Indonesia, laki-laki dan perempuan bahkan ada anak-anak yang terpaksa lahir disana. Mereka malam selalu berkelompok dan mengobrol tidak peduli kendaraan yang lalu lintas," tutur Siswanto, Ketua Dewan Kehormatan Indonesia Bersatu, dalam perbincangan dengan Media Indonesia, Rabu (8/12) malam.

Kelompok yang dipimpin Siswanto ini, konsen pada nasib dan masalah-masalah sosial yang menimpa para TKI.

Agar bisa tidur lelap, mereka hanya beralas kardus. Beberapa tenda yang ada, ditempati anak-anak atau mereka yang berkeluarga. Mereka tidur disepanjang kolong jembatan hingga 20 meter. Mereka kadang harus berbagi tempat dengan kendaraan, karena bagian tengah kolong jembatan digunakan sebagai tempat parkir.

Siswanto menuturkan, siang hari kolong jembatan itu memang tidak terlalu ramai. Karena para TKI ini harus mencari makan untuk mengganjal rasa lapar. Mereka kerap menggelandang, mencari kaleng-kaleng bekas makanan yang terdapat sisa-sisa makanan untuk dinikmati. Sisanya yang memilih duduk diam di kolong, menunggu belas kasihan orang-orang yang lewat.

Tak jarang, tutur Siswanto, mereka yang kelewat lapar memilih untuk mengambil jalan pintas, menjual diri. Walaupun dibayar murah, hanya 50 real. Uang itu cukup untuk delapan orang sekali makan.

"Bahkan yang laki-laki menjadi makelar untuk perempuan-perempuan disitu, supaya mereka bisa makan. 50 real itu kecil.., tapi mereka tak punya alternatif lain. Uang itu bisa beli nasi untuk delapan orang," tuturnya lirih.

Keadaan bertambah miris ketika terserang penyakit. Tak ada dokter, apalagi obat-obatan. Bahkan hanya untuk menahan rasa sakit. Para TKI yang kabur dari rumah majikan meninggalkan segala identitas, hanya membawa baju lekat di badan.

"Walaupun jalur resmi berobat itu free, tapi mereka tidak bisa dapat karena tak punya id card. Uang dari mana mereka beli obat. Bahkan ada dua orang yang terkena AIDS. Ada juga yang sakit hingga sekarat, Minggu lalu meninggal dia di situ," kata Siswanto dengan suara tercekat.

Dihubungi terpisah, Jaka, seorang TKI alumni kolong jembatan yang kini bermukim di Jambi bersedia menuturkan pengalamannya selama tinggal disana. Ia sempat menjadi penghuni kolong pada Juni hingga Agustus 2009.

"Kami yang berada di kolong jembatan kebanyakan TKI yang bermasalah dengan majikan masing-masing. Ada juga yang menggunakan visa umrah untuk sengaja masuk kerja di Arab Saudi. Saat kami ada disana, sekitar 700 hingga 1.200 orang setiap harinya menunggu jemputan dari pihak pemerintah Saudi untuk di deportasi. Dalam waktu berbulan-bulan," tuturnya seraya menambahkan, untuk makan dirinya menunggu belas kasihan dermawan atau yang disebut sabilillah.

Sepengetahuannya, setidaknya tiga orang merenggang nyawa di kolong itu. Salah satunya adalah Halimah yang menderita sesak napas karena dipekerjakan berlebihan oleh majikannya.

"Dia meninggal di depan saya. Sebenarnya kami berusaha untuk selalu memberi perawatan, tetapi yang maha kuasa berkata lain, dia harus meninggal juga di kolong jembatan saat sama-sama berjuang untuk bisa kembali ke tanah air. Padahal dia pernah berpesan ingin kembali ke tanah air dan tidak mau meninggal di kolong jembatan," ujarnya tercekat.

Masalah lainnya terjadi, ketika para TKI ini terpaksa adu fisik dengan para pekerja dari negara lain karena berebut tempat. "Beberapa kali kami mengadakan aksi protes di depan kantor KJRI akan tetapi tanggapanya dingin dan kami di usir oleh polisi diplomatik bahkan tindak kekerasan petugas pun sering kami terima dipukul atau di tendang," cetusnya kecewa.

Menurut Siswanto, para TKI ini sengaja bertahan di kolong jembatan, berharap dapat dipulangkan gratis. "Keadaan ini menyakitkan. Harga diri bangsa kita di uji. Kita harus segera menyelamatkan, kalau tetap seperti ini, moral dan harga diri kita rendah. Bayangkan kalau musim haji, orang di seluruh dunia melihat," katanya.

Siswanto bahkan punya pengalaman yang membuatnya sakit hati. Ketika beberapa stasiun televisi asing meminta wawancara khusus secara langsung dengan dirinya. "Saya di Jeddah di kejar-kejar wartawan asing, mau wawancara, mereka bayar mahal. Sampai ada kedutaan yang minta langsung. Karena saya putra bangsa Indonesia, saya tidak mau di ekspose, malu. Saya sakit hati."

Namun demikian, Siswanto masih menyimpan harap bahwa pemerintah Indonesia dapat segera menyelesaikan masalah yang menimpa para TKI ini.

"Pemerintah Indonesia mungkin sibuk, melakukan banyak hal. Tetapi masalah ini harus segera dibereskan. Apapun itu, baik atau buruk mereka bangsa Indonesia. Mari kita selamatkan, cari jalan keluarnya. Kalau bangsa kita tidak mampu pulangkan, mari kita patungan kumpul duit supaya mereka bisa pulang. Tidak ada yang berangkat kesana mau sengsara," tutup Siswanto.
SUMBER : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/12/12/188033/270/115/Menanti-Asa-di-Kolong-Jembatan