TKI asal Bekasi, Ruyati binti Satubi, dipancung oleh pemerintahan Arab Saudi karena membunuh majikan perempuannya.
Keluarga Ruyati mengatakan, Ruyati kerap disiksa oleh majikannya. Kaki Ruyati bahkan pernah patah karena dianiaya. Tak pelak, eksekusi Ruyati membuat geram publik di tanah air. TKI lagi-lagi menjadi korban.
Anggota Komisi IX DPR yang menangani sektor tenaga kerja, Hanif Dhakiri, menyatakan Arab Saudi sangat rawan sebagai negara penempatan TKI. Ada beberapa alasan yang membuat Saudi cenderung lebih rawan dibanding negara-negara lain yang dituju oleh para TKI. Apakah itu?
Alasan pertama, kata Hanif, ada persepsi di kalangan masyarakat Saudi bahwa pembantu sama dengan budak yang boleh diapakan saja sesuka hati majikan. “Ini adalah pengaruh dari ideologi zaman perbudakan di sana yang tampaknya masih belum hilang,” jelas politisi muda PKB itu dalam perbincangan dengan VIVAnews, Selasa 21 Juni 2011.
Menurutnya, persepsi perbudakan di Saudi belum hilang karena struktur masyarakat Saudi yang superpatriarkis berkelindan dengan sistem teokrasi kekuasaan negara. “Persepsi semacam itu tentu rawan bagi TKI kita yang bekerja di sana,” kata Hanif. Kalau saja Saudi adalah negara demokratis, maka persepsi perbudakan di negeri itu pasti akan hilang secara bertahap.
Alasan kedua, lanjut Hanif, Saudi merupakan negara teokrasi berbentuk kerajaan di mana seluruh kekuasaan berpusat pada Raja yang menjalankan kekuasaan atas dasar legitimasi agama Islam. “Dalam negara semacam ini, posisi perempuan sangat lemah dan tidak dihargai. Perempuan saja tidak boleh menyetir mobil,” ujar legislator asal Salatiga, Jawa Tengah, itu.
“Jika penghargaan terhadap perempuan Saudi saja kurang, bagaimana Saudi bisa menghargai perempuan dari negara lain?” tukas Hanif. Padahal, Tenaga Kerja Indonesia di sana kebanyakan perempuan. Bisa dipastikan posisi mereka amat rentan.
Alasan ketiga, ujar Hanif, Saudi menggunakan hukum Islam yang ditafsirkan secara kaku dan sering dianggap banyak kalangan diskriminatif. “Misalnya, hukuman mati (qishas) sering langsung diterapkan dalam kasus pembantu membunuh majikan. Tetapi dalam kasus sebaliknya, di mana majikan membunuh pembantu, qishas sering dihindarkan atas dasar pengampunan,” papar Hanif yang dibesarkan dalam lingkungan santri.
Diskriminasi semacam itu, jelas tidak menguntungkan TKI yang notabene kebanyakan berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. “Seharusnya pengampunan diberikan kepada mereka yang melakukan tindak pembunuhan karena lalai atau dalam keadaan terpaksa. Itu ada dalam hadits Nabi,” tegas Hanif. Dalam kasus TKI seperti Ruyati, mereka membunuh majikan karena terpaksa akibat dianiaya majikan, dilecehkan, atau diperkosa.
“Jadi sebenarnya itu bentuk pertahanan diri yang harus bisa diampuni,” tukas Hanif. Intinya, kata alumni Forum for Democratic Leaders in Asia-Pasific itu, sistem hukum dan budaya masyarakat Arab Saudi memang belum kondusif bagi TKI, khususnya Tenaga Kerja Wanita.
Secara terpisah, berbagai kalangan mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara pengiriman TKI ke Arab Saudi. “Kita minta moratorium TKI sampai sistem dibenahi,” kata Wakil Ketua DPR Anis Matta. DPR sendiri akan membawa persoalan TKI ini untuk dibahas di Rapat Paripurna DPR.
Anggota Komisi IX DPR yang menangani sektor tenaga kerja, Hanif Dhakiri, menyatakan Arab Saudi sangat rawan sebagai negara penempatan TKI. Ada beberapa alasan yang membuat Saudi cenderung lebih rawan dibanding negara-negara lain yang dituju oleh para TKI. Apakah itu?
Alasan pertama, kata Hanif, ada persepsi di kalangan masyarakat Saudi bahwa pembantu sama dengan budak yang boleh diapakan saja sesuka hati majikan. “Ini adalah pengaruh dari ideologi zaman perbudakan di sana yang tampaknya masih belum hilang,” jelas politisi muda PKB itu dalam perbincangan dengan VIVAnews, Selasa 21 Juni 2011.
Menurutnya, persepsi perbudakan di Saudi belum hilang karena struktur masyarakat Saudi yang superpatriarkis berkelindan dengan sistem teokrasi kekuasaan negara. “Persepsi semacam itu tentu rawan bagi TKI kita yang bekerja di sana,” kata Hanif. Kalau saja Saudi adalah negara demokratis, maka persepsi perbudakan di negeri itu pasti akan hilang secara bertahap.
Alasan kedua, lanjut Hanif, Saudi merupakan negara teokrasi berbentuk kerajaan di mana seluruh kekuasaan berpusat pada Raja yang menjalankan kekuasaan atas dasar legitimasi agama Islam. “Dalam negara semacam ini, posisi perempuan sangat lemah dan tidak dihargai. Perempuan saja tidak boleh menyetir mobil,” ujar legislator asal Salatiga, Jawa Tengah, itu.
“Jika penghargaan terhadap perempuan Saudi saja kurang, bagaimana Saudi bisa menghargai perempuan dari negara lain?” tukas Hanif. Padahal, Tenaga Kerja Indonesia di sana kebanyakan perempuan. Bisa dipastikan posisi mereka amat rentan.
Alasan ketiga, ujar Hanif, Saudi menggunakan hukum Islam yang ditafsirkan secara kaku dan sering dianggap banyak kalangan diskriminatif. “Misalnya, hukuman mati (qishas) sering langsung diterapkan dalam kasus pembantu membunuh majikan. Tetapi dalam kasus sebaliknya, di mana majikan membunuh pembantu, qishas sering dihindarkan atas dasar pengampunan,” papar Hanif yang dibesarkan dalam lingkungan santri.
Diskriminasi semacam itu, jelas tidak menguntungkan TKI yang notabene kebanyakan berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. “Seharusnya pengampunan diberikan kepada mereka yang melakukan tindak pembunuhan karena lalai atau dalam keadaan terpaksa. Itu ada dalam hadits Nabi,” tegas Hanif. Dalam kasus TKI seperti Ruyati, mereka membunuh majikan karena terpaksa akibat dianiaya majikan, dilecehkan, atau diperkosa.
“Jadi sebenarnya itu bentuk pertahanan diri yang harus bisa diampuni,” tukas Hanif. Intinya, kata alumni Forum for Democratic Leaders in Asia-Pasific itu, sistem hukum dan budaya masyarakat Arab Saudi memang belum kondusif bagi TKI, khususnya Tenaga Kerja Wanita.
Secara terpisah, berbagai kalangan mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara pengiriman TKI ke Arab Saudi. “Kita minta moratorium TKI sampai sistem dibenahi,” kata Wakil Ketua DPR Anis Matta. DPR sendiri akan membawa persoalan TKI ini untuk dibahas di Rapat Paripurna DPR.
No comments:
Post a Comment