“@mkapor onward march towards freedom and democracy.” Tweet itu dikirim oleh tokoh oposisi Malaysia Anwar Ibrahim kepada kawannya, Mitchell David Kapor, seorang ahli teknologi pendiri Lotus Development Corporation dan investor Startup, yang tinggal di California AS.
Pagi itu, Sabtu 9 Juli 2011, dari Kuala Lumpur Malaysia, Anwar bersiap menuju perhelatan aksi akbar rakyat Malaysia di Stadium Merdeka: unjuk rasa besar-besaran menuntut pemilu 2012 yang jujur dan adil di Malaysia.
Pagi itu, Sabtu 9 Juli 2011, dari Kuala Lumpur Malaysia, Anwar bersiap menuju perhelatan aksi akbar rakyat Malaysia di Stadium Merdeka: unjuk rasa besar-besaran menuntut pemilu 2012 yang jujur dan adil di Malaysia.
Di menit-menit selanjutnya, Anwar pengguna berat jejaring sosial mikroblog Twitter itu, terus melaporkan momen demo bertajuk ‘Bersih 2.0’. Imbuhan ‘2.0’ menunjukkan aksi ini kelanjutan gerakan dan unjuk rasa ‘Bersih’ yang pernah digelar pada 10 November 2007.
Tapi, imbuhan itu juga mengingatkan kita pada ‘Web 2.0’ yang diperkenalkan Tim O’Reilly. Bisa jadi, gerakan yang digagas Gabungan Pilihanraya Bersih dan Adil (gabungan sekitar 60 LSM Malaysia), dan didukung koalisi tiga partai oposisi itu akan lebih interaktif, kolaboratif, dan partisipatif, ketimbang demonstrasi Bersih 2007 lalu.
Dibanding aksi serupa empat tahun lalu, Bersih 2.0 memang berbeda. Pesertanya dari beragam latar, baik usia, etnik, dan pandangan politik. Berbagai tokoh oposisi Malaysia hadir. Ada Anwar Ibrahim, istrinya Wan Azizah Wan Ismail, putrinya Nurul Izzah Anwar, Wakil Presiden PKR Azmin Ali, Presiden PAS Abdul Hadi Awang serta dua wakilnya, Pemimpin BERSIH Datuk Ambiga Sreenevasan, Haris Ibrahim, Maria Chin Abdullah, Lim Kit Siang, dan Samad Said.
Tak ketinggalan, Marina Mahathir, putri mantan Perdana Menteri Mahathir Mohammad. Marina adalah blogger terpandang di Malaysia.
Aksi itu juga dirayakan anak-anak muda. Sebagian besar, masih “polosan”, belum punya afiliasi politik pasti. “Rakyat marah atas penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak Kerajaan. Itu sebabnya massa yang selama ini tidak pernah memprotes, berjalan bersama-sama dalam aksi 9 Juli ini,” ujar Marina Mahathir kepada VIVAnews.
Bagi Malaysia - negara yang jarang digoyang demo itu- unjuk rasa Sabtu lalu adalah terbesar. Pemerintah Malaysia menyebut angka 6000. Tapi beberapa laporan lain menyebut jumlah demonstran berkisar antara 20 ribu – 50 ribu orang.
Tak hanya itu, berbeda dengan unjuk rasa Bersih 2007, pada aksi kali itu para demonstran benar-benar memanfaatkan teknologi. Untuk menghadapi dan menyiasati larangan serta pemblokiran jalan yang dilakukan aparat, mereka mengandalkan ponsel dan jejaring sosial: Facebook dan Twitter.
Tapi, imbuhan itu juga mengingatkan kita pada ‘Web 2.0’ yang diperkenalkan Tim O’Reilly. Bisa jadi, gerakan yang digagas Gabungan Pilihanraya Bersih dan Adil (gabungan sekitar 60 LSM Malaysia), dan didukung koalisi tiga partai oposisi itu akan lebih interaktif, kolaboratif, dan partisipatif, ketimbang demonstrasi Bersih 2007 lalu.
Dibanding aksi serupa empat tahun lalu, Bersih 2.0 memang berbeda. Pesertanya dari beragam latar, baik usia, etnik, dan pandangan politik. Berbagai tokoh oposisi Malaysia hadir. Ada Anwar Ibrahim, istrinya Wan Azizah Wan Ismail, putrinya Nurul Izzah Anwar, Wakil Presiden PKR Azmin Ali, Presiden PAS Abdul Hadi Awang serta dua wakilnya, Pemimpin BERSIH Datuk Ambiga Sreenevasan, Haris Ibrahim, Maria Chin Abdullah, Lim Kit Siang, dan Samad Said.
Tak ketinggalan, Marina Mahathir, putri mantan Perdana Menteri Mahathir Mohammad. Marina adalah blogger terpandang di Malaysia.
Aksi itu juga dirayakan anak-anak muda. Sebagian besar, masih “polosan”, belum punya afiliasi politik pasti. “Rakyat marah atas penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak Kerajaan. Itu sebabnya massa yang selama ini tidak pernah memprotes, berjalan bersama-sama dalam aksi 9 Juli ini,” ujar Marina Mahathir kepada VIVAnews.
Bagi Malaysia - negara yang jarang digoyang demo itu- unjuk rasa Sabtu lalu adalah terbesar. Pemerintah Malaysia menyebut angka 6000. Tapi beberapa laporan lain menyebut jumlah demonstran berkisar antara 20 ribu – 50 ribu orang.
Tak hanya itu, berbeda dengan unjuk rasa Bersih 2007, pada aksi kali itu para demonstran benar-benar memanfaatkan teknologi. Untuk menghadapi dan menyiasati larangan serta pemblokiran jalan yang dilakukan aparat, mereka mengandalkan ponsel dan jejaring sosial: Facebook dan Twitter.
Disepak, diinjak
Sejak pagi, polisi Malaysia telah bersiap. Laporan pandangan mata dari MalaysiaKini.com, salah satu media alternatif lokal, mengatakan polisi bersiaga di Masjid Negara, Masjid Jamek, Hotel Tune dan Sogo di sekitar Jalan Tunku Abdurrahman. Bahkan, Dataran Merdeka, telah ditutup.
Begitu pula jalan ke Stadium Merdeka dari Jalan Maharajalela. Di jalan itu, kawat berduri melingkar-lingkar seperti gulungan semak yang tajam.
Jalan diblokade. Tak sedikit pengunjuk rasa kebingungan. Untunglah, lewat Twitter mereka bertukar informasi tentang daerah mana ditutup, dan mana yang bisa dilalui. Rupanya ada pendukung unjuk rasa yang kreatif membuat peta kolaboratif di Google Maps, menandai daerah yang telah ditongkrongi aparat.
Begitu pula jalan ke Stadium Merdeka dari Jalan Maharajalela. Di jalan itu, kawat berduri melingkar-lingkar seperti gulungan semak yang tajam.
Jalan diblokade. Tak sedikit pengunjuk rasa kebingungan. Untunglah, lewat Twitter mereka bertukar informasi tentang daerah mana ditutup, dan mana yang bisa dilalui. Rupanya ada pendukung unjuk rasa yang kreatif membuat peta kolaboratif di Google Maps, menandai daerah yang telah ditongkrongi aparat.
Para pendemo itu memang direncanakan beraksi di jalanan Kuala Lumpur. Tapi setelah berkonsultasi dengan Raja Malaysia, Yang di-Pertuan Agong Mizan Zainal Abidin, akhirnya aksi disepakati digelar di Stadium Merdeka, tempat kemerdekaan Malaysia dulu diproklamirkan.
Selain tempat itu, aksi unjuk rasa juga digelar di sejumlah kota dunia. Dari London, Seoul, Canberra, Melbourne, Sydney, Osaka, Los Angeles, San Francisco sampai ke New York.
Tak jauh berbeda dengan aksi sama pada 2007, aksi Bersih 2.0 meminta pemerintah memakai tinta permanen dalam pemilu, membuka akses media kepada kandidat oposisi, menyediakan setidaknya 21 hari masa kampanye, menghentikan korupsi, dan politik kotor.
Unjuk rasa itu sendiri sebenarnya berlangsung damai. Para demonstran berjalan tertib sambil meneriakkan yel-yel: “Reformasi… Bersih,” atau Hidup, hidup, hidup, Rakyat.” Tak ada sikap-sikap agresif. “Suasana di situ malah seperti karnaval. Mereka meramaikan aksi dengan nyanyian dan tarian,” kata Marina Mahathir.
Marina beruntung. Dia menempuh rute dari Jl Hang Jebat ke arah Stadium Merdeka. Aparat keamanan di daerah itu tak brutal. “Mereka memberi peluang kepada rakyat yang memprotes untuk berjalan ke arah Stadium Merdeka."
Selain tempat itu, aksi unjuk rasa juga digelar di sejumlah kota dunia. Dari London, Seoul, Canberra, Melbourne, Sydney, Osaka, Los Angeles, San Francisco sampai ke New York.
Tak jauh berbeda dengan aksi sama pada 2007, aksi Bersih 2.0 meminta pemerintah memakai tinta permanen dalam pemilu, membuka akses media kepada kandidat oposisi, menyediakan setidaknya 21 hari masa kampanye, menghentikan korupsi, dan politik kotor.
Unjuk rasa itu sendiri sebenarnya berlangsung damai. Para demonstran berjalan tertib sambil meneriakkan yel-yel: “Reformasi… Bersih,” atau Hidup, hidup, hidup, Rakyat.” Tak ada sikap-sikap agresif. “Suasana di situ malah seperti karnaval. Mereka meramaikan aksi dengan nyanyian dan tarian,” kata Marina Mahathir.
Marina beruntung. Dia menempuh rute dari Jl Hang Jebat ke arah Stadium Merdeka. Aparat keamanan di daerah itu tak brutal. “Mereka memberi peluang kepada rakyat yang memprotes untuk berjalan ke arah Stadium Merdeka."
Polisi-polisi yang ia jumpai di wilayah itu dinilainya profesional, karena tak sedikitpun kekerasan yang ditunjukkan kepada para demonstran.
Tetapi di tempat lain, para demonstran dihajar babak belur. Aparat mendadak buas. Di sejumlah tempat, tanpa basa-basi, pendemo disemprot water cannon, dan dilempari gas air mata. Massa kocar-kacir, mundur sambil melempar balik gas air mata ke arah polisi. Kemudian, mereka kembali maju secara berkelompok.
Tapi kekerasan itu sepertinya hendak disembunyikan. “Polisi telah berhasil dalam mengevakuasi massa. Tidak terjadi kontak fisik antara mereka,” ujar Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. Padahal, rekaman video demonstrasi itu di YouTube justru memamerkan kebrutalan itu. Dari video terungkap tak sedikit demonstran dizalimi aparat. Ada yang mendapat bogem, dibanting, bahkan diinjak dan disepak-sepak.
Alasannya kadang sepele. Misalnya, ada demonstran memakai kaus kuning, mereka ditangkapi. Akibatnya, sekitar 1.600 orang dicokok selama unjuk rasa berlangsung. Nama-nama besar dunia politik pun terjaring. Ada Mahfuz Omar, Salahuddin Ayub, Mohamad Sabu, Fauziah Salleh, Tian Chua, Ambiga Sreenevasan, Abdul Hadi Awang, Azeez Rahim, dan Nur Izzah Anwar.
Anwar Ibrahim pun kena sasaran, kepalanya memar digetok polisi. Kakinya luka. Salah satu pengawal Anwar, Fayad terluka di kepala dan harus dioperasi. Seorang pengunjuk rasa nasibnya lebih malang. Dia Baharuddin Ahmad (59), yang meninggal akibat sesak nafas setelah ditembak gas air mata di depan Kuala Lumpur City Centre.
“Kolap” Twitter
Tetapi di tempat lain, para demonstran dihajar babak belur. Aparat mendadak buas. Di sejumlah tempat, tanpa basa-basi, pendemo disemprot water cannon, dan dilempari gas air mata. Massa kocar-kacir, mundur sambil melempar balik gas air mata ke arah polisi. Kemudian, mereka kembali maju secara berkelompok.
Tapi kekerasan itu sepertinya hendak disembunyikan. “Polisi telah berhasil dalam mengevakuasi massa. Tidak terjadi kontak fisik antara mereka,” ujar Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. Padahal, rekaman video demonstrasi itu di YouTube justru memamerkan kebrutalan itu. Dari video terungkap tak sedikit demonstran dizalimi aparat. Ada yang mendapat bogem, dibanting, bahkan diinjak dan disepak-sepak.
Alasannya kadang sepele. Misalnya, ada demonstran memakai kaus kuning, mereka ditangkapi. Akibatnya, sekitar 1.600 orang dicokok selama unjuk rasa berlangsung. Nama-nama besar dunia politik pun terjaring. Ada Mahfuz Omar, Salahuddin Ayub, Mohamad Sabu, Fauziah Salleh, Tian Chua, Ambiga Sreenevasan, Abdul Hadi Awang, Azeez Rahim, dan Nur Izzah Anwar.
Anwar Ibrahim pun kena sasaran, kepalanya memar digetok polisi. Kakinya luka. Salah satu pengawal Anwar, Fayad terluka di kepala dan harus dioperasi. Seorang pengunjuk rasa nasibnya lebih malang. Dia Baharuddin Ahmad (59), yang meninggal akibat sesak nafas setelah ditembak gas air mata di depan Kuala Lumpur City Centre.
“Kolap” Twitter
Kabar duka itu menyebar cepat lewat Twitter. Anwar mengucap ‘Innalillahi’. Ada pula yang mengajak mengirimkan Surat Al-Fatihah untuk almarhum Baharuddin. Retweet kabar duka pun berhamburan. Selama unjuk rasa berlangsung, para demonstran bertukar informasi melalui jejaring sosial.
“Saya dan teman-teman memang bergantung kepada social media seperti Twitter dan Facebook mengikuti perkembangan Bersih 2.0,” kata Marina. Tapi, hari itu Marina lebih banyak diam, dan mengamati perkembangan lewat Twitter, agar langkah-langkahnya tak diketahui aparat.
Pakar teknologi informasi dan praktisi media sosial independen dari Malaysia, Ahmed Kamal Nava, menjelaskan sebelum unjuk rasa berlangsung, Facebook dan Twitter juga dipakai menyebarkan rencana unjuk rasa, berita penangkapan aktivis, dan alasan kenapa mereka harus ikut demo itu. “Sebab media mainstream seperti surat kabar dan televisi kelihatannya justru fokus menakut-nakuti orang agar tak ikut dalam unjuk rasa.”
Ketika unjuk rasa berlangsung, Facebook dan Twitter berfungsi bak “kolap”, alias “komandan lapangan” di aksi demo. Dia digunakan demonstran memberitahu keberadaan mereka, dan posisi aparat polisi. Atau melaporkan apa yang sedang terjadi, dan membagikan foto kejadian dari berbagai wilayah unjuk rasa.
Tapi, menurut dia, Facebook dan Twitter tak digunakan mengeluarkan aba-aba, atau perintah memobilisasi masa ke tempat tertentu. “Jadi saat itu semuanya tergantung pada massa di lapangan,” kata pria jebolan Computer Science dari Monash University yang sempat menjadi kontributor halaman TI di harian New Straits Times itu.
Mereka, kata Kamal, bergerak secara acak, memberi tahu posisi dan pergerakan mereka lewat Tweet. “Tidak terlihat ada orang khusus bertugas mengorganisir tiap kelompok. Gerakan itu terasa sangat organik, dan tidak sistematik,” ia menambahkan.
Kamal menganalisa semuanya melalui sebuah layanan web yang ia dirikan sejak Oktober 2009 bernama Politweet . “Politweet adalah semacam sebuah lembaga riset, yang mempelajari interaksi sosial antara masyarakat Malaysia dan para politisi mereka melalui Twitter," katanya. Lewat Politweet, kita bisa melihat Tweet politik populer harian di Malaysia. Politweet juga memantau Tweet terkait pemilu di beberapa negara bagian Malaysia.
“Saya dan teman-teman memang bergantung kepada social media seperti Twitter dan Facebook mengikuti perkembangan Bersih 2.0,” kata Marina. Tapi, hari itu Marina lebih banyak diam, dan mengamati perkembangan lewat Twitter, agar langkah-langkahnya tak diketahui aparat.
Pakar teknologi informasi dan praktisi media sosial independen dari Malaysia, Ahmed Kamal Nava, menjelaskan sebelum unjuk rasa berlangsung, Facebook dan Twitter juga dipakai menyebarkan rencana unjuk rasa, berita penangkapan aktivis, dan alasan kenapa mereka harus ikut demo itu. “Sebab media mainstream seperti surat kabar dan televisi kelihatannya justru fokus menakut-nakuti orang agar tak ikut dalam unjuk rasa.”
Ketika unjuk rasa berlangsung, Facebook dan Twitter berfungsi bak “kolap”, alias “komandan lapangan” di aksi demo. Dia digunakan demonstran memberitahu keberadaan mereka, dan posisi aparat polisi. Atau melaporkan apa yang sedang terjadi, dan membagikan foto kejadian dari berbagai wilayah unjuk rasa.
Tapi, menurut dia, Facebook dan Twitter tak digunakan mengeluarkan aba-aba, atau perintah memobilisasi masa ke tempat tertentu. “Jadi saat itu semuanya tergantung pada massa di lapangan,” kata pria jebolan Computer Science dari Monash University yang sempat menjadi kontributor halaman TI di harian New Straits Times itu.
Mereka, kata Kamal, bergerak secara acak, memberi tahu posisi dan pergerakan mereka lewat Tweet. “Tidak terlihat ada orang khusus bertugas mengorganisir tiap kelompok. Gerakan itu terasa sangat organik, dan tidak sistematik,” ia menambahkan.
Kamal menganalisa semuanya melalui sebuah layanan web yang ia dirikan sejak Oktober 2009 bernama Politweet . “Politweet adalah semacam sebuah lembaga riset, yang mempelajari interaksi sosial antara masyarakat Malaysia dan para politisi mereka melalui Twitter," katanya. Lewat Politweet, kita bisa melihat Tweet politik populer harian di Malaysia. Politweet juga memantau Tweet terkait pemilu di beberapa negara bagian Malaysia.
Hebatnya, layanan Politweet ini mampu menjejak Tweet pengguna Twitter berdasarkan lokasi. Caranya, ia memanfaatkan data Twitter dari koordinat GPS di ponsel pengguna, sehingga Politweet mampu menampilkan koordinat itu ke dalam peta, dengan tingkat akurasi 1-10 meter. “Jika Anda menggunakan komputer, Politweet juga masih bisa mengetahui lokasi Anda, dengan tingkat akurasi hingga 500 meter,” kata Kamal.
Dengan begitu, Kamal memantau pergerakan massa dan Tweet yang terjadi selama unjuk rasa berlangsung (lihat Infografik). Pada saat itu, ada 19.190 pengguna Twitter yang melayangkan 85.373 Tweet. 9.351 pengguna, atau sekitar 49 persen adalah pengguna baru bagi sistem pelacak Politweet.
“Artinya, selama ini mereka belum pernah menyebut-nyebut nama para politisi Malaysia sejak tahun lalu,” kata Kamal. Ia menyimpulkan, hampir separuh pengguna Twitter itu adalah massa apolitis.
Kamal percaya, media sosial telah berhasil menyurutkan kecemasan masyarakat Malaysia dalam mengkritisi pemerintahan mereka, sehingga lebih berani berbagi foto, video, artikel berita, bahkan bergabung dalam demonstrasi. Jejaring sosial itu rupanya juga menularkan keberanian. “Semakin banyak koneksi yang mereka miliki, ketakutan untuk mengkritisi atau melakukan aksi semakin terkikis.”
Mengulang Mesir?
Dengan begitu, Kamal memantau pergerakan massa dan Tweet yang terjadi selama unjuk rasa berlangsung (lihat Infografik). Pada saat itu, ada 19.190 pengguna Twitter yang melayangkan 85.373 Tweet. 9.351 pengguna, atau sekitar 49 persen adalah pengguna baru bagi sistem pelacak Politweet.
“Artinya, selama ini mereka belum pernah menyebut-nyebut nama para politisi Malaysia sejak tahun lalu,” kata Kamal. Ia menyimpulkan, hampir separuh pengguna Twitter itu adalah massa apolitis.
Kamal percaya, media sosial telah berhasil menyurutkan kecemasan masyarakat Malaysia dalam mengkritisi pemerintahan mereka, sehingga lebih berani berbagi foto, video, artikel berita, bahkan bergabung dalam demonstrasi. Jejaring sosial itu rupanya juga menularkan keberanian. “Semakin banyak koneksi yang mereka miliki, ketakutan untuk mengkritisi atau melakukan aksi semakin terkikis.”
Mengulang Mesir?
Hingga sepekan lewat, enam orang tokoh oposisi masih ditahan. Mereka adalah anggota parlemen dari Sungai Siput Jeyakumar Michael Devaraj, Deputi Ketua Partai Sosialis Malaysia M Saraswathy, Anggota Komite Pusat Choo Chon Kai dan M Sukuaran, Sekretaris Cabang Sungai Siput A Letchumana, serta Ketua Pemuda PSM Sarat Babu.
Tapi, adakah gerakan itu akan terus bergelombang seperti yang tersaksikan di Mesir, atau Tunisia? “Mungkin kultur represi di sini masih kuat. Kita baru akan melihat efek kekuatan media sosial pada pemilu mendatang,” kata Kamal.
Pada Sabtu siang 16 Juli 2011, fanpage Facebook Bersih 2.0 yang beranggotakan 180 ribu orang kembali menyerukan pendukungnya turun ke jalan. Mereka menamakannya Ops Kuningkan Malaysia. Berkumpul di Taman Kuala Lumpur City Centre, memakai segala atribut berwarna kuning, dan mendoakan arwah Baharuddin.
Setidaknya, tak cuma laman Facebook Bersih 2.0 yang terus bergeliat. Kamal terus memonitor perkembangan laman Facebook Fanpage '100,000 People Request Najib Tun Razak Resignation', yang kini pendukungnya melebihi target. Lebih dari 197 ribu warga Malaysia bergabung di sana.
“Saya tidak bisa memastikan ke depan nanti seperti apa,” ujar Kamal. Tapi, Kamal menambahkan, mungkin saja ke depan laman ini akan tumbuh seperti halnya Facebook para demonstran di Mesir, 'We are All Khaled Said'. Tapi, kali ini laman itu milik warga Malaysia
Tapi, adakah gerakan itu akan terus bergelombang seperti yang tersaksikan di Mesir, atau Tunisia? “Mungkin kultur represi di sini masih kuat. Kita baru akan melihat efek kekuatan media sosial pada pemilu mendatang,” kata Kamal.
Pada Sabtu siang 16 Juli 2011, fanpage Facebook Bersih 2.0 yang beranggotakan 180 ribu orang kembali menyerukan pendukungnya turun ke jalan. Mereka menamakannya Ops Kuningkan Malaysia. Berkumpul di Taman Kuala Lumpur City Centre, memakai segala atribut berwarna kuning, dan mendoakan arwah Baharuddin.
Setidaknya, tak cuma laman Facebook Bersih 2.0 yang terus bergeliat. Kamal terus memonitor perkembangan laman Facebook Fanpage '100,000 People Request Najib Tun Razak Resignation', yang kini pendukungnya melebihi target. Lebih dari 197 ribu warga Malaysia bergabung di sana.
“Saya tidak bisa memastikan ke depan nanti seperti apa,” ujar Kamal. Tapi, Kamal menambahkan, mungkin saja ke depan laman ini akan tumbuh seperti halnya Facebook para demonstran di Mesir, 'We are All Khaled Said'. Tapi, kali ini laman itu milik warga Malaysia
No comments:
Post a Comment