Monday 11 February 2013

Pakta dari Cikeas, Anas Urbaningrum Makin Terdesak?

Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono.
Jumat malam, 8 Februari 2013, melalui pidatonya Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat dari Anas Urbaningrum. Pengambilalihan ini membuat Anas yang masih menjabat Ketua Umum mendapat desakan hebat dari dalam tubuh Partai Demokrat.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Bali Partai Demokrat, Made Mudarta, menegaskan bahwa seluruh jajaran pengurus dan kader partai itu di Bali mendukung penuh keputusan Majelis Tinggi yang menyelamatkan partai itu dari keterpurukan.

"Saya tegaskan Bali 100 persen mendukung keputusan yang diambil Majelis Tinggi Demokrat," ujar Mudarta saat memberi keterangan resmi di Denpasar, Sabtu.

Dari Semarang Jawa Tengah juga demikian. DPD Partai Demokrat Jawa Tengah langsung mengundang 35 Dewan Pimpinan Cabang pada Sabtu di kediaman Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Tengah, Sukawi Sutarip.

Dalam pertemuan itu Sukawi ingin menegaskan sikap para DPC yang sebelumnya menentang upaya penyelamatan oleh ketua Majelis Tinggi untuk mendukung langkah SBY ini.

Tak cuma dari daerah, Minggu malam, SBY juga mengumpulkan pengurus Dewan Pimpinan Daerah 33 provinsi seluruh Indonesia di kediamannya, Puri Cikeas, Bogor.
Pantauan VIVAnews, seluruh petinggi partai Demokrat hadir di Cikeas, kecuali Anas. Mereka yang hadir antara lain Max Sopacua, Jhony Allen Marbun (Wakil Ketua Umum), Edhie Baskoro Yudhoyono (Sekjen), Jero Wacik (Sekretaris Dewan Pembina), Marzuki Alie (Wakil Ketua Dewan Pembina).

SBY pada kesempatan tersebut menegaskan bahwa Anas sebenarnya diundang, tapi berhalangan hadir. "Kami undang dan sekali lagi berhalangan karena sakit."

Menurut SBY, dalam pertemuan ini juga dilakukan penandatangan pakta integritas yang dilakukan oleh seluruh jajaran Partai Demokrat. "Pakta integritas ini ditandatangani oleh segenap kader partai Demokrat se Indonesia," ujar dia.

Pakta integritas tersebut berisi 10 butir janji yang diakhiri dengan pernyataan: "Demikianlah saya siap menerima saksi organisasi jika saya menolak menandatangani atau melanggar apa yang telah saya janjikan."
Pakta tersebut, seperti dikatakan SBY, akan berlaku mulai hari Minggu, 10 Januari 2013. Butir ke delapan pakta tersebut menyebutkan "Saya sebagai tersangka, terdakwa atau terpidana, saya bersedia mengundurkan diri dan siap menerima sanksi pemecatan dari Dewan Kehormatan Partai."
Apakah pakta ini merupakan salah satu senjata SBY untuk melengserkan Anas dalam waktu dekat?
Belum jelas. Yang pasti Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyatakan akan menaikkan status Anas menjadi tersangka. Seperti dikatakan Ketua KPK, Abraham Samad, bahwa pimpinan KPK telah sepakat untuk menaikkan status Anas sebagai tersangka. Namun, belum dapat diputuskan dalam surat perintah penyidikan karena masih harus berdiskusi dengan pimpinan KPK lainnya.
"Yang ada di kantor ini hanya ada dua pimpinan, yaitu saya dan pak Zulkarnain [Wakil Ketua KPK]. Jadi kami tidak dapat melakukan diskusi panjang untuk mengambil keputusan," kata Abraham Samad di kantornya, Jumat 8 Februari 2013.

Menurut dia, masih banyak hal-hal yang perlu didiskusikan dan disinergikan dengan pimpinan KPK lainnya. Sebab, mekanisme pengambilan keputusan di KPK harus collective colegial. "Jadi sudah sepakat, tapi harus tanda tangan semua. Kita lihatlah ke depan, mudah-mudahan satu dua (minggu) ke depan."

Berkaitan dengan hal ini, ahli hukum Universitas Indonesia, Margarito Kamis, berpendapat  KPK sebaiknya tidak menetapkan seseorang menjadi tersangka sebuah kasus karena skema politik.

Sebab, lanjutnya, KPK adalah institusi yang dibuat untuk menegakkan hukum tanpa ada gangguan-gangguan dari partai politik. Seumpamanya ada permintaan partai politik, bahkan dari pejabat negara, ahli hukum itu meminta KPK mengabaikannya.

"Sekarang kalau KPK tersangkakan siapa pun, termasuk Anas, karena pesanan politik atau tekanan politik, bahkan dari presiden sekalipun, harus diabaikan. Karena itu merusak KPK," kata Margarito, di Jakarta, 10 Januari 2013.
Menurut dia, "pergeseran kekuasaan" yang dilakukan SBY di Partai Demokrat merupakan indikasi adanya upaya untuk menghabisi karir politik Anas di partai berlambang berlian itu.
Dan tampaknya indikasi tersebut semakin terlihat dengan adanya pernyataan dari Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, SH Sarundajang, yang mengusulkan untuk membentuk Komite Penyelamat Partai. Anggota komite tersebut kader-kader Demokrat yang bersih dari berbagai kasus korupsi.

"Komite Penyelamat partai ini bertanggung jawab langsung kepada SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat," kata Sarundajang dalam keterangan pers, Minggu 30 Februari 2013.

Selain itu, untuk jangka menengah, ia mengusulkan agar Partai Demokrat merekrut tokoh-tokoh anti korupsi, seperti Mahfud MD. Ia menilai Mahfud MD sangat cocok untuk menggantikan Anas Urbaningrum. "Kepribadian beliau sesuai dengan visi Partai Demokrat," katanya.
Sikap Anas
Bagaimana tanggapan Anas? Dia mengaku tak risau dengan keputusan SBY yang mengambil alih kepemimpinan partai. Anas memastikan hingga saat ini dia tetap Ketua Umum. "Dalam rapat itu Ketua Majelis Tinggi mengatakan bahwa Anas Urbaningrum tetap ketua umum dan Wakil Ketua Majelis Tinggi. Karena itu saya menjalankan kegiatan," ujar Anas di kediamannya, Duren Sawit, Jakarta Timur, Sabtu.

Karena itu, pada Sabtu lalu Anas berkunjung ke Provinsi Banten melaksanakan kegiatan penanaman pohon kedelai di Kabupaten Lebak. Di kabupaten itu Anas juga melantik pengurus cabang setempat.

Anas menegaskan bahwa dia tetap berpegang pada konstitusi partai, yang telah disepakati dan ditetapkan bersama. "Pegangan saya adalah konstitusi partai."

Dia juga meminta pengambilalihan kendali ini tak usah dipersoalkan. Menurut dia, langkah itu diambil untuk kebaikan Partai Demokrat. "Jangan diadu-adu, ini bagian dari ikhtiar agar Partai Demokrat ke depan makin baik," ujar Anas di Lebak.
Namun, menurut Direktur Eksekutif IndoBarometer M Qodari, SBY berpotensi melakukan blunder politik dengan pengambilalihan ini. "Kalau tidak hati-hati justru bisa jadi 'blunder politik' karena SBY tidak konsentrasi mengurus pemerintahan," kata Qodari, Sabtu, 9 Januari 2013.
Jika pemerintahan tidak terurus, popularitas SBY pun akan jatuh dan semakin menurunkan elektabilitas Partai Demokrat di bawah 8 persen.  "Lebih dari itu, target-target pemerintah bisa tidak tercapai."

Karena itu, Qodari menyatakan, "Jangan sampai menyelamatkan partai, negaranya yang karam."

Pernyataan senada juga datang dari Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya, Fadli Zon. Menurut Fadli, SBY sebagai Presiden terkesan lebih sibuk mengurus partai ketimbang negara. Campur aduk posisi SBY sebagai Presiden maupun sebagai ketua Dewan Pembina Partai membuat rakyat bingung. "Di zaman Pak Harto saja tak pernah sekalipun Presiden berpidato soal internal parpolnya," katanya.

No comments:

Post a Comment