Thursday 7 March 2013

Hugo Chavez, Manusia 'Setengah Dewa' dari Venezuela

Ribuan warga Venezuela turun ke jalan usai kematian Hugo Chavez
"Berikan aku mahkota duriMu, Tuhan Yesus, sehingga aku terluka. Berikan aku 100 salibMu dan aku akan membawanya untukMu, tetapi jangan ambil nyawaku, karena aku masih ingin melakukan berbagai hal untuk rakyat dan negaraku. Jangan dulu ambil nyawaku."
Itulah doa seorang pria dalam sebuah misa yang diadakan untuk pengobatan penyakit kanker yang dideritanya pada 5 April 2012. Pria itu bukan orang sembarangan. Dia adalah Hugo Chavez, Presiden Venezuela. Pemimpin kharismatik sekaligus kontroversial yang telah memimpin negeri itu selama 13 tahun.
Semenjak didiagnosis menderita kanker pada Juni 2011, Chavez telah menjalani empat kali operasi di Kuba. Operasi terakhir dilakukan pada 8 Desember 2012. Saat itulah, Chavez mungkin sudah merasa perjuangannya untuk melawan kanker menjelang berakhir. Dan dia pun berpesan, "Pilih Maduro sebagai presiden republik ini. Aku meminta ini dari hatiku yang terdalam.”

Chavez meminta rakyat Venezuela untuk memilih Wakil Presiden Nicolas Maduro sebagai penggantinya dalam pemilu mendatang jika dirinya tidak lagi mampu memimpin Venezuela akibat operasi kanker yang harus dijalaninya.

Tiga bulan kemudian, tepatnya Selasa, 5 Maret 2013,  pemimpin yang sangat dicintai rakyatnya itu akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Chavez meninggal di usia 58 tahun setelah memimpin Venezuela selama 14 tahun.
Chavez meninggal setelah beberapa jam terakhir mengalami kesulitan bernafas.  Kematiannya menyisakan kepedihan yang mendalam bagi jutaan rakyat Venezuela. Ribuan orang turun ke jalan-jalan memberikan penghormatan yang terakhir, usai pengumuman kematian Chavez.
Membawa poster-poster dan foto Chavez, mereka mengagung-agungkan pemimpinnya. "Chavez hidup selamanya! Perjuangan masih berlanjut!" teriak mereka. "Kami akan menunjukkan bahwa yang dia lakukan tidak sia-sia," kata Jamila Rivas, 49, sambil menangis.
Rakyat Venezuela, terutama yang berasal dari wilayah miskin mengikuti dengan seksama perjuangan Chavez melawan kanker.  Mereka seakan tidak bisa terima ia meninggal. "Dia adalah ayah kami. 'Chavismo' tidak akan berakhir. Kami adalah rakyatnya. Kami akan terus berjuang," kata Nancy Jotiya, 56, di alun-alun Bolivar, Caracas
Ingin Jadi Pelukis
Chavez lahir dari sebuah keluarga miskin pada 28 Juli 1954 di sebuah wilayah kumuh di Sabaneta. Itulah yang membuat Chavez memiliki keterikatan batin yang kuat dengan rakyat miskin Venezuela yang menganggapnya sebagai keluarga.
Cita-citanya waktu belia adalah menjadi pelukis dan pemain baseball untuk Liga Amerika Serikat. Jalan hidup akhirnya justru menuntunnya ke dunia militer dengan tugas pertamanya menjadi komandan komunikasi peleton.
Inilah mengapa dia dipanggil dengan sebutan 'Comandante'. Jabatan terakhirnya adalah Letnan Kolonel. Bersama dengan anggota militer lainnya yang berpaham kiri. Tahun 1992, dia gagal mengkudeta Presiden Carlos Andres Perez. Namun, aksi ini melejitkan karier politiknya.
Pendukung Chavez semakin besar. Dua tahun kemudian dia dibebaskan dari penjara dan membentuk Partai Sosial Demokrat yang juga dinamai "Gerakan Republik Kelima". Tahun 1998, dia berhasil memenangkan pemilu dan menjabat Presiden. Bagi warga miskin yang memilihnya, Chavez adalah simbol permulaan baru setelah pemerintahan sebelumnya dianggap korup dan tidak memihak rakyat.
Tahun 2002, Chavez dikudeta dan dipenjara oleh kelompok oposisi dan tentara. Dua hari kemudian, militer yang loyal padanya berhasil membebaskannya dan kembali mengangkatnya sebagai pemimpin. Chavez menuduh Amerika Serikat berada di balik kudeta tersebut.
Ia mendeklarasikan diri sebagai musuh AS dengan memaki Presiden George W. Bush dengan sebutan "setan" di hadapan Sidang Majelis Umum PBB. Berkali-kali Chavez mengancam akan menghentikan kiriman minyak ke AS, meski terbukti belum pernah jadi dilakukannya.
Venezuela tetap menjadi pasar ekspor minyak terbesar AS. Kendati demikian, Chavez juga meningkatkan kiriman minyak ke negara-negara rival AS, seperti China, Belarus, Iran dan Suriah.
Terinspirasi oleh kawan dan gurunya di Kuba, Fidel Castro, Chavez menerapkan cara-cara radikal dalam memperbaiki perekonomian negaranya. Dia menasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta untuk membiayai negaranya. Caranya ini menuai kecaman dari kelompok oposisi.
Ayah tiga putri dan seorang putra ini dikenal dengan pidatonya yang panjang dan menawan. Tahun 2012, dia berpidato selama 10 jam. Sedikit yang diketahui soal kehidupan pribadinya. Namun dia adalah penggemar baseball, suka membaca dan mendengarkan musik folk.
Sejak didiagnosis kanker, Chavez jarang menampakkan dirinya. Jutaan rakyat menunjukkan dukungannya dengan kembali memilihnya pada pemilu Oktober 2012 lalu. Chavez menang 55 persen suara. Pamor Chavez semakin meroket. Dia bak manusia setengah dewa yang dicintai para pengikutnya. "Chavez adalah segalanya, tanpa Chavez kami tidak ada apa-apa," kata seorang pendukungnya.
Namun, meskipun dipuja banyak orang, Chavez dikecam lantaran gaya kepemimpinannya yang diktator. Human Right Watch mengatakan bahwa saat memimpin tahun 1999-2013, Chavez menafikan jaminan hak asasi manusia. Banyak yang tidak tahan pada perlakuan rezim Chavez melarikan diri ke luar negeri, salah satunya ke Amerika.
Nicholas Maduro
Sepeninggal Chavez, 30 hari kemudian Venezuela akan memilih Presiden baru. Wakil Presiden,Nicolas Maduro, akan menjadi penjabat Presiden, seperti disampaikan Menteri Luar Negeri Venezuela, Elias Jaua.
Nama Maduro sebagai penerus Chavez semakin menguat setelah awal Oktober lalu dia didapuk Chavez sebagai Wakil Presiden. Sebelumnya, bekas sopir bus ini adalah Menteri Luar Negeri. "Saya tidak merekomendasikan seorang pun untuk posisi Wakil Presiden," kata Chavez bergurau saat mengumumkan Maduro sebagai Wakil Presiden Venezuela awal Oktober 2012 lalu.
"Berhadapan dengan saya tidak mudah," kata Chavez. Namun, bagi Chavez, latar belakang Maduro yang pernah bekerja sebagai sopir truk itu memiliki pesona sendiri.
Maduro yang kini berusia 50 tahun dikenal sebagai sekutu terdekat Chavez sejak membantu Chavez keluar dari penjara setelah upaya kudetanya yang gagal pada tahun 1992. Maduro besar di Ibukota Venezuele, Caracas, di tengah sebuah keluarga sederhana. Ayahnya berkecimpung di politik sayap kiri dan gerakan buruh.
Sebagai remaja, Maduro pun aktif di gerakan kiri pula. Setelah lulus sekolah menengah, Maduro pergi ke Kuba untuk menjalani pendidikan politik. Kembali ke Venezuela, dia bekerja sebagai sopir bus namun kemudian aktif di serikat pekerja transportasi.
Ketika Chavez masuk penjara setelah kudeta yang gagal di tahun 1992, Maduro aktif di gerakan Chavez. Di saat itulah dia berkenalan dengan Cilia Flores, seorang pengacara yang membantu upaya pembebasan Chavez dari penjara. Dan setelah itu, Maduro menjadi sekutu dekat Chavez. Ketika Chavez menjadi Presiden di tahun 1999, dia menjadi anggota parlemen. Tahun 2005, Maduro menjadi Ketua Parlemen.
Setahun kemudian, mantan sopir truk itu pun menjadi Menteri Luar Negeri Venezuela. Sebagai juru bicara pemerintahan Venezuela di luar negeri, Maduro tampil lebih kalem daripada Chavez yang berapi-api.  "Dia seorang moderat, pragmatis," kata mantan Menteri Luar Negeri Kolombia, Maria Emma Mejia, yang pernah bekerja sama dengan Maduro di organisasi bangsa-bangsa Amerika Selatan.
Mejia mencatat peran penting Maduro memperkuat hubungan Venezuela dengan Kolombia setelah ketegangan bertahun-tahun. "Dia tidak dogmatis dalam hal menolak semua pendapat orang," katanya.
Seorang bekas diplomat Amerika Selatan melihat Maduro lebih seperti pembawa pesan Chavez. "Saya selalu melihatnya sebagai pembawa pesan dan tidak pernah melihat sinyal dia seperti seorang pemimpin. Namun, saya kira dia belajar banyak dari Chavez, karena sangat dekat."  Sumber: ReutersBBCUSA Today dan New York Times

No comments:

Post a Comment