Monday, 25 March 2013

Pasal Santet Memundurkan Hukum RI ke Abad Kegelapan? Anggota DPR RI terbelah. Ada yang berpendapat itu soal delik penipuan


Terungkap, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diserahkan Kementerian Hukum dan HAM kepada Komisi Hukum DPR mengandung sejumlah hal kontroversial. Salah satunya adalah tentang pasal “santet.” Santet yang saat ini tidak diatur secara khusus dalam KUHP peninggalan kolonial Belanda itu, dalam Rancangan KUHP bikinan Kemenkumham ini diatur secara spesifik di Pasal 293 ayat (1).

Bunyinya begini: setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental  atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp300 juta).

Adapun ayat (2) pasal yang sama berbunyi: Jika pembuat tindak pidana sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikannya sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya  dapat ditambah sepertiga.

Pasal santet tersebut kontan memicu kontroversi di publik, termasuk di kalangan anggota DPR yang akan membahas Rancangan KUHP tersebut bersama pemerintah. 

Anggota Komisi III Bidang Hukum DPR dari Fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari, menyatakan pasal tersebut rawan dimanipulasi karena masyarakat Indonesia masih sangat mudah untuk dihasut. “Klaimnya, pasal ini untuk melindungi, tapi malah bisa memobilisasi kebencian,” dia mengkhawatirkan.

Ia menilai pranata hukum di Indonesia justru akan mundur ke Abad Kegelapan jika sampai mengakomodir masalah sihir segala. “Artinya hukum memfasilitasi irasionalitas. Fungsi hukum untuk mentransformasi masyarakat jadi gagal,” kata Eva. Apalagi, pastilah sangat sulit untuk membuktikan secara faktual apakah seseorang melakukan santet atau tidak.

“Secara teknis dan bukti formal mungkin barang bukti bisa dipenuhi, seperti paku, kawat, dan lainnya. Tapi bagaimana dengan bukti materialnya, terutama terkait pelaku. Bagaimana bisa yakin bahwa yang mengirim santet adalah si X atau si Y? Hal inilah yang membuat pasal ini rawan untuk mengkriminalisasi seseorang,” ujar Eva.

Masalah sulitnya pembuktian itu juga yang menjadi perhatian anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin. “Bagaimana membuktikan bahwa seseorang memiliki ilmu gaib atau ilmu hitam? Apalagi bila sampai harus membuktikan seseorang meninggal atau luka-luka karena ilmu gaib atau ilmu hitam,” kata putra Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin itu.

Didi khawatir penerapan pasal santet bisa menimbulkan goncangan sosial. “Tanpa pasal santet pun saat ini di tengah masyarakat sudah menggejala main hakim sendiri terhadap orang yang dituding sebagai dukun santet,” ujar dia. Oleh sebab itu, menurut Didi, aturan soal-soal gaib seperti ini tidak perlu dimasukkan ke Rancangan KUHP.

Anggota Komisi Hukum III dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo, juga menolak pasal santet ini. “Mana ada orang mengaku menyantet. Maling saja jarang mengaku maling. Pengakuan pun selama ini bisa direkayasa dengan janji atau ancaman,” kata dia. 

Demikian pula dengan Martin Hutabarat, anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra. Dia hakulyakin polisi dan jaksa akan kesulitan membuktikan seseorang pelaku santet atau bukan.

Ilmu nujum

Berbalik pendapat dengan rekan-rekannya, anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, justru setuju. Menurut dia, pasal santet merupakan pengembangan dan perbaikan dari pasal ilmu nujum yang saat ini sudah ada di Pasal 545, 546, dan 547 KUHP.

Pasal 545 ayat (1) KUHP yang berlaku saat ini berbunyi: barang siapa pencahariannya menyatakan keuntungan seseorang, mengadakan peramalan atau penafsiran impian, diancam dengan kurungan paling lama enam hari atau denda paling banyak Rp20.

Adapun Pasal 546 ayat (1) KUHP menyatakan: barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan, atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan, jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp300.

Pasal-pasal tersebut, menurut Bukhori, berbicara mengenai ilmu nujum. “Padahal nujum lebih kepada ramalan nasib yang substansinya bisa masuk ke dalam penipuan, tetapi santet adalah tindakan jahat yang merusak atau mengganggu orang lain dengan cara halus alias dengan bantuan bantuan jin dan setan,” kata dia.

Bukhori menilai pasal santet itu justru akan melindungi pihak-pihak yang secara serampangan dituduh menyantet, sekaligus melindungi mereka yang akan dijadikan target ilmu hitam itu. Hal yang perlu dicermati dalam pasal santet, ujar Bukhori, adalah soal penipuannya, bukan aktivitas santet itu sendiri.

Ia mengatakan saat ini ada banyak iklan di koran dan tabloid yang menawarkan santet. “Inilah yang harus dikejar. Pembuktiannya bisa didapat dengan mudah, misalnya lewat selebaran, koran dan tabloid yang memuat iklan santet. Jadi tidak perlu sampai ke pembuktian paku atau lainnya."

Senada, rekan sefraksi Bukhori di Komisi III, Indra, mengatakan pasal santet dalam Rancangan KUHP sesungguhnya adalah pasal yang mengatur penipuan atas nama ilmu gaib. “Misalnya seseorang yang mengaku memiliki ilmu gaib dan menawarkan diri untuk mencelakakan orang lain dengan mengiklankannya di koran atau tabloid, itu dapat dikenakan Pasal 293 Rancangan KUHP. Jadi pasal ini sebenarnya delik penipuan, bukan delik santet,” ujar Indra.

Ke Eropa

Untuk membahas KUHP bikinan Kemenkumham itu, Komisi III DPR akan studi banding ke empat negara di Eropa. Negara-negara yang mereka tuju ialah Belanda, Inggris, Perancis, dan Rusia. Anggota Komisi III akan dibagi menjadi empat kelompok dan tiap kelompok akan menuju negara yang berbeda.

“Pembahasan KUHAP dan KUHP perlu studi komparatif dengan menerima masukan, melihat, dan mendengar secara langsung dari sumber hukum yang dianut Eropa kontinental. Kalau Indonesia kan selama ini menganut sumber hukum Belanda,” kata anggota Komisi III DPR, Achmad Dimyati Natakusuma, Jumat 22 Maret 2013.

Politisi PPP ini mengatakan banyak pasal terkait KUHP, termasuk soal santet, yang bisa dipelajari di empat negara Eropa yang dituju Komisi III. “Santet itu bagian dari ilmu sihir. Sihir sudah ada dari zaman Nabi. Di negara luar, juga Eropa, sudah lama ada,” kata Dimyati yang akan terbang ke Inggris.

Namun Eva Kusuma Sundari yang bakal melawat ke Belanda, menolak untuk mendiskusikan pasal santet di Negeri Kincir Angin. “Saya tidak mau tanya soal santet di sana. Nanti kami ditertawakan. Saya sudah bisa menduga reaksi mereka seperti apa,” katanya, kecut.

Jika ingin membahas soal-soal sihir seperti ini, menurut Eva lebih tepat jika anggota parlemen pergi ke Arab Saudi yang jelas-jelas memberlakukan UU soal santet. “Banyak Tenaga Kerja Indonesia yang dipancung di sana gara-gara dikira menyantet,” ujar dia.

Jadi, buat anggota Komisi III DPR RI, pepatah China yang menyatakan "tuntutlah ilmu sampai ke negeri China" boleh juga diadaptasi jadi "tuntutlah sihir sampai ke jazirah Arab"

No comments:

Post a Comment