Monday, 20 January 2014

IHH.... NEGRIIII.....PENUMPANG GELAP DI RODA PESAWAT

Benda-benda berlumur darah tiba-tiba jatuh dari langit Jeddah, Arab Saudi,  Ahad dini hari di awal Januari 2014.  Di perempatan Mushrefa,  benda-benda itu berceceran.  Pemandangan di perempatan itu sontak membuat siapa saja yang melihatnya ngeri.

Seorang saksi menelepon polisi pada pukul 2.30 pagi. “Saksi mengatakan potongan tubuh manusia jatuh di perempatan permukiman Mushrefa," kata juru bicara kepolisian Kota Laut Merah, Nawaf bin Naser al-Bouq, kepada Arab News.

Tidak diketahui pasti dari mana potongan tubuh itu jatuh. Namun, penyelidikan polisi memberikan kesimpulan potongan tubuh itu kemungkinan besar milik imigran ilegal yang nekat menumpang di roda pesawat.

Dugaan polisi itu cukup masuk akal. Soalnya cerita tubuh manusia tiba-tiba meluncur dari langit, dan jatuh berdebam di bumi, bukan hal baru.  Seorang pria kulit hitam, misalnya, jatuh dari langit dan tubuhnya menghantam mobil di Portman Avenue, Mortlake, daerah pinggiran London, Inggris pada September 2012 lalu.

Saking kerasnya menghantam bumi, potongan tubuhnya tersebar hingga radius 27 meter.

Di Inggris bahkan kejadian itu kerap berulang. Dua pekan sebelum kasus mayat di Portman Avenue, pria yang sudah jadi bangkai ditemukan di sistem pendaratan pesawat Boeing 747 di bandara Heathrow, London. Pesawat itu usai menuntaskan penerbangan 6.000 mil dari Cape Town, Afrika Selatan.

Tahun 2001, dua pemuda asal Kuba tewas di dekat bandara Gatwick, Inggris. Keduanya bernama Maikel Almira, 16, dan Alberto Rodriguez, 15, kehabisan oksigen dan kedinginan saat pesawat itu mencapai ketinggian.

Mereka memanfaatkan longgarnya pengamanan di bandara Havana. Dalam surat terakhir untuk ibunya, Almira mengatakan akan mencari kerja ke Amerika Serikat.  Sialnya, mereka salah naik pesawat.

Seharusnya mereka naik pesawat dari bandara di Havana menuju Miami, AS. Namun, mereka malah naik pesawat Boeing 777 milik maskapai British Airways yang terbang ke bandara Gatwick. Penerbangan itu memakan waktu delapan jam. Suhu di udara bisa mencapai -57 derajat celcius.

Menurut ahli forensik Colin Hunter-Craig, seperti dikutip Daily Mail, keduanya diduga mati hanya beberapa menit setelah pesawat tinggal landas. "Saya yakin mereka mati saat pesawat naik. Pesawat ini bisa mencapai ketinggian 37.000 kaki dalam 20 menit. Ini lebih tinggi dari gunung Everest," kata Hunter-Craig.

"Para pendaki memang ada yang mencapai Everest tanpa oksigen, tapi mereka naik perlahan sambil beradaptasi. Jika kau naik di ketinggian itu dengan cepat, seperti para pemuda ini, kau tidak bisa adaptasi. Mereka mati karena kekurangan oksigen atau hipoksia," lanjutnya lagi.

Di Rusia juga terjadi peristiwa sama. Juni 2013 lalu, staf Bandara Vnukovo di Moskow menemukan mayat di roda pesawat Airbus A-330, penerbangan dari Italia. Menurut penyelidikan, mayat itu sudah ada di situ selama empat hari, ikut terbang ke berbagai negara.

Pria itu diidentifikasi bernama Giorgio Abduladaze, usia 22 tahun asal Georgia. Penyidik menduga kuat, Abduladze tewas karena kedinginan di ketinggian. Saat "menumpang" atau tenar disebut “stowaway”, dia hanya mengenakan T-shirt dan celana pendek. Tak mempan menangkis dingin.

"Sepertinya pria itu mati karena udara dingin, kami menduga dia adalah penumpang gelap," ujar salah seorang penyidik, dilansir Russia Times.

Tahun 2009, insiden serupa terjadi di wilayah Timur Jauh, Rusia. Saat itu, mayat Filipp Yurchenko, 19, ditemukan meringkuk di bagian roda pesawat Boeing A320 milik Maskapai Vladivostok Avia. Otopsi menunjukkan, dia meninggal akibat kekurangan oksigen dan radang dingin akibat cuaca di ketinggian yang bisa mencapai -55 derajat celcius.

Banyak kasus juga terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000 lalu, Badan Penerbangan Amerika Serikat (FAA) mengatakan ada 13 kasus tercatat di negara itu, hanya tiga yang selamat. Tahun 2001, ada enam orang berusaha masuk AS di roda pesawat, semuanya tewas. Tahun 2002, lima tewas dan seorang selamat.

Sejak 1947

Kasus-kasus di atas adalah sebagian kecil dari insiden penumpang gelap di roda pesawat. Menurut Dr Stephen Veronneau dari FAA, ada 96 orang yang menumpang 85 penerbangan untuk keluar negaranya sejak 1947. Hanya 23 orang yang selamat, atau sekitar 20,3 persen, 73 lainnya menemui ajal (lihat Infografik: Kisah Penantang Maut).

Amerika Serikat atau negara-negara Eropa menerapkan pengamanan lebih ketat di bandara mereka pasca serangan teror 9/11. Namun di sejumlah negara, bandara-bandara tidak memiliki pengamanan memadai, memungkinkan seseorang menyelinap masuk, dan memanjat roda pesawat.

Tentu, cara itu penuh risiko. Beberapa di antara mereka tewas karena tergencet roda pesawat, atau jatuh saat kompartemen roda terbuka. Sisanya tewas karena hypothermia atau radang dingin, hipoksia, dan acidosis -terbentuknya asam di cairan tubuh yang bisa menyebabkan koma atau kematian.

Kondisi yang ekstrem terjadi karena di kompartemen roda pendaratan yang sempit tempat mereka sembunyi tidak ada pemanas, pengatur tekanan udara atau oksigen.

Menurut para ahli, di ketinggian 18.000 kaki, hipoksia akan menyebabkan kelemahan, kejang, sakit kepala ringan dan gangguan penglihatan. Di ketinggian 22.000 kaki, penumpang gelap akan berjuang untuk tetap sadarkan diri, saat itu tingkat oksigen di darah mereka turun drastis. Di atas ketinggian 33.000 kaki, paru-paru membutuhkan tekanan buatan untuk berfungsi normal, jika tidak akan fatal.

Di ketinggian ekstrem, suhu bisa mencapai di bawah titik beku, sekitar -63 C. Kebanyakan yang bertahan dari situasi ini akan tidak sadarkan diri. Saat pintu kompartemen roda terbuka, mereka yang tertidur akan jatuh ke tanah dari ketinggian ribuan kaki di udara. Remuk menghantam tanah.

"Mereka mati akibat jatuh atau membeku. Ada ketidaktahuan yang fatal. Jika mereka tahu situasi apa yang akan mereka hadapi, mereka tidak akan melakukannya," kata ahli penerbangan, David Learmount, dari majalah Flight International, kepada BBC.

Selamat
Tapi kisah menumpang di roda pesawat tak selalu berakhir mengenaskan. Tahun 2010 lalu, seorang pemuda asal Rumania berhasil selamat dalam penerbangan selama 90 menit dari Wina menuju London. Pemuda 20 tahun ini berhasil selamat karena penerbangan itu singkat dan terbang di bawah ketinggian 25.000 kaki lantaran cuaca buruk (baca juga bagian 3 tentang pengalaman penumpang gelap warga Indonesia yang selamat: Nyali Gila dari Langit).

Menurut polisi, pria itu ingin kerja di Inggris. Dia berhasil melompati pagar kawat di bandara Wina dan masuk ke kompartemen roda sebuah pesawat jet pribadi menuju Heathrow.

Pria itu dibiarkan bebas dan tidak didakwa. Karena Inggris dan Rumania sama-sama negara anggota Uni Eropa, maka warga bebas bepergian, dan bekerja di sesama negara anggota.

Kisah ajaib lainnya adalah selamatnya Fidel Maruhi, pria asal Tahiti, pada 2000 silam. Saat itu, dia terbang selama 7,5 jam dari Papeete ke Los Angeles, Amerika Serikat. Saat ditemukan di kompartemen roda, dia tidak sadarkan diri dan kondisi tubuhnya enam derajat di bawah normal.

Maruhi mengaku tidak tahu apa yang terjadi saat penerbangan, karena pingsan sesaat setelah tinggal landas. Dia dikembalikan ke Tahiti setelah kalah di pengadilan.

Desember 2003, seorang warga Kuba bernama Victor Alvarez Molina juga berhasil selamat. Dia terbang dari Havana menuju Montreal, Kanada. Dia ditemukan dalam kondisi hypothermia, kedinginan luar biasa, dalam penerbangan empat jam tersebut.

Keberuntungan masih menyertainya. Dia selamat karena ada kebocoran pada pipa kompartemen, mengalirkan udara hangat. Selain itu, pipa ini juga jadi pegangannya ketika pintu kompartemen terbuka. Tidak seperti Maruhi, Molina berhasil mendapatkan status pengungsi, dan akan memboyong seluruh keluarganya ke Kanada.

Beberapa dari penumpang gelap ini nekat melakukannya hanya untuk senang-senang, mencari ketegangan. Contohnya pada 2010, Delvonte Tisdale, 16, yang ditemukan tewas pada penerbangan dari Charlotte, North Carolina, menuju bandara Logan, Boston, menumpang pesawat Boeing 737 milik US Airways.

Tapi umumnya para penumpang gelap di roda pesawat adalah mereka dari negara miskin atau berkembang. Tujuan mereka adalah Eropa atau Amerika Utara. Motivasinya pun beragam. Mulai dari menghindari hukuman di negara asal, atau mencari penghidupan lebih baik di Barat.

"Kami tidak tahu apa alasan khusus dari mereka, tapi berdasarkan studi kami dengan para pengungsi, mereka kadang terpaksa mengambil langkah ekstrem demi kabur dari negaranya," kata Deborah Harris, kepala operasi lembaga Refugee Council, dikutip dari BBC.

"Dalam situasi konflik, mereka kadang harus meninggalkan rumah secepatnya, dan tidak punya uang serta harta benda. Jadi mereka mengambil langkah putus asa demi bisa kabur," ujarnya.

3 comments: