Benda-benda berlumur darah tiba-tiba jatuh dari langit Jeddah, Arab
Saudi, Ahad dini hari di awal Januari 2014. Di perempatan Mushrefa,
benda-benda itu berceceran. Pemandangan di perempatan itu sontak
membuat siapa saja yang melihatnya ngeri.
Seorang saksi menelepon
polisi pada pukul 2.30 pagi. “Saksi mengatakan potongan tubuh manusia
jatuh di perempatan permukiman Mushrefa," kata juru bicara kepolisian
Kota Laut Merah, Nawaf bin Naser al-Bouq, kepada Arab News.
Tidak
diketahui pasti dari mana potongan tubuh itu jatuh. Namun, penyelidikan
polisi memberikan kesimpulan potongan tubuh itu kemungkinan besar milik
imigran ilegal yang nekat menumpang di roda pesawat.
Dugaan
polisi itu cukup masuk akal. Soalnya cerita tubuh manusia tiba-tiba
meluncur dari langit, dan jatuh berdebam di bumi, bukan hal baru.
Seorang pria kulit hitam, misalnya, jatuh dari langit dan tubuhnya
menghantam mobil di Portman Avenue, Mortlake, daerah pinggiran London,
Inggris pada September 2012 lalu.
Saking kerasnya menghantam bumi, potongan tubuhnya tersebar hingga radius 27 meter.
Di
Inggris bahkan kejadian itu kerap berulang. Dua pekan sebelum kasus
mayat di Portman Avenue, pria yang sudah jadi bangkai ditemukan di
sistem pendaratan pesawat Boeing 747 di bandara Heathrow, London.
Pesawat itu usai menuntaskan penerbangan 6.000 mil dari Cape Town, Afrika Selatan.
Tahun
2001, dua pemuda asal Kuba tewas di dekat bandara Gatwick, Inggris.
Keduanya bernama Maikel Almira, 16, dan Alberto Rodriguez, 15, kehabisan
oksigen dan kedinginan saat pesawat itu mencapai ketinggian.
Mereka
memanfaatkan longgarnya pengamanan di bandara Havana. Dalam surat
terakhir untuk ibunya, Almira mengatakan akan mencari kerja ke Amerika
Serikat. Sialnya, mereka salah naik pesawat.
Seharusnya mereka
naik pesawat dari bandara di Havana menuju Miami, AS. Namun, mereka
malah naik pesawat Boeing 777 milik maskapai British Airways yang
terbang ke bandara Gatwick. Penerbangan itu memakan waktu delapan jam.
Suhu di udara bisa mencapai -57 derajat celcius.
Menurut ahli forensik Colin Hunter-Craig, seperti dikutip Daily Mail,
keduanya diduga mati hanya beberapa menit setelah pesawat tinggal
landas. "Saya yakin mereka mati saat pesawat naik. Pesawat ini bisa
mencapai ketinggian 37.000 kaki dalam 20 menit. Ini lebih tinggi dari
gunung Everest," kata Hunter-Craig.
"Para pendaki memang ada yang
mencapai Everest tanpa oksigen, tapi mereka naik perlahan sambil
beradaptasi. Jika kau naik di ketinggian itu dengan cepat, seperti para
pemuda ini, kau tidak bisa adaptasi. Mereka mati karena kekurangan
oksigen atau hipoksia," lanjutnya lagi.
Di Rusia juga terjadi
peristiwa sama. Juni 2013 lalu, staf Bandara Vnukovo di Moskow menemukan
mayat di roda pesawat Airbus A-330, penerbangan dari Italia. Menurut penyelidikan, mayat itu sudah ada di situ selama empat hari, ikut terbang ke berbagai negara.
Pria
itu diidentifikasi bernama Giorgio Abduladaze, usia 22 tahun asal
Georgia. Penyidik menduga kuat, Abduladze tewas karena kedinginan di
ketinggian. Saat "menumpang" atau tenar disebut “stowaway”, dia hanya
mengenakan T-shirt dan celana pendek. Tak mempan menangkis dingin.
"Sepertinya pria itu mati karena udara dingin, kami menduga dia adalah penumpang gelap," ujar salah seorang penyidik, dilansir Russia Times.
Tahun
2009, insiden serupa terjadi di wilayah Timur Jauh, Rusia. Saat itu,
mayat Filipp Yurchenko, 19, ditemukan meringkuk di bagian roda pesawat
Boeing A320 milik Maskapai Vladivostok Avia. Otopsi menunjukkan, dia
meninggal akibat kekurangan oksigen dan radang dingin akibat cuaca di
ketinggian yang bisa mencapai -55 derajat celcius.
Banyak kasus
juga terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000 lalu, Badan Penerbangan
Amerika Serikat (FAA) mengatakan ada 13 kasus tercatat di negara itu,
hanya tiga yang selamat. Tahun 2001, ada enam orang berusaha masuk AS di
roda pesawat, semuanya tewas. Tahun 2002, lima tewas dan seorang
selamat.
Sejak 1947
Kasus-kasus di atas
adalah sebagian kecil dari insiden penumpang gelap di roda pesawat.
Menurut Dr Stephen Veronneau dari FAA, ada 96 orang yang menumpang 85 penerbangan untuk keluar negaranya sejak 1947. Hanya 23 orang yang selamat, atau sekitar 20,3 persen, 73 lainnya menemui ajal (lihat Infografik: Kisah Penantang Maut).
Amerika
Serikat atau negara-negara Eropa menerapkan pengamanan lebih ketat di
bandara mereka pasca serangan teror 9/11. Namun di sejumlah negara,
bandara-bandara tidak memiliki pengamanan memadai, memungkinkan
seseorang menyelinap masuk, dan memanjat roda pesawat.
Tentu,
cara itu penuh risiko. Beberapa di antara mereka tewas karena tergencet
roda pesawat, atau jatuh saat kompartemen roda terbuka. Sisanya tewas
karena hypothermia atau radang dingin, hipoksia, dan acidosis
-terbentuknya asam di cairan tubuh yang bisa menyebabkan koma atau
kematian.
Kondisi yang ekstrem terjadi karena di kompartemen roda
pendaratan yang sempit tempat mereka sembunyi tidak ada pemanas,
pengatur tekanan udara atau oksigen.
Menurut para ahli, di
ketinggian 18.000 kaki, hipoksia akan menyebabkan kelemahan, kejang,
sakit kepala ringan dan gangguan penglihatan. Di ketinggian 22.000 kaki,
penumpang gelap akan berjuang untuk tetap sadarkan diri, saat itu
tingkat oksigen di darah mereka turun drastis. Di atas ketinggian 33.000
kaki, paru-paru membutuhkan tekanan buatan untuk berfungsi normal, jika
tidak akan fatal.
Di ketinggian ekstrem, suhu bisa mencapai di
bawah titik beku, sekitar -63 C. Kebanyakan yang bertahan dari situasi
ini akan tidak sadarkan diri. Saat pintu kompartemen roda terbuka,
mereka yang tertidur akan jatuh ke tanah dari ketinggian ribuan kaki di
udara. Remuk menghantam tanah.
"Mereka mati akibat jatuh atau
membeku. Ada ketidaktahuan yang fatal. Jika mereka tahu situasi apa yang
akan mereka hadapi, mereka tidak akan melakukannya," kata ahli penerbangan, David Learmount, dari majalah Flight International, kepada BBC.
Selamat
Tapi
kisah menumpang di roda pesawat tak selalu berakhir mengenaskan. Tahun
2010 lalu, seorang pemuda asal Rumania berhasil selamat dalam penerbangan selama 90 menit dari Wina menuju London. Pemuda 20 tahun ini berhasil selamat karena penerbangan
itu singkat dan terbang di bawah ketinggian 25.000 kaki lantaran cuaca
buruk (baca juga bagian 3 tentang pengalaman penumpang gelap warga
Indonesia yang selamat: Nyali Gila dari Langit).
Menurut
polisi, pria itu ingin kerja di Inggris. Dia berhasil melompati pagar
kawat di bandara Wina dan masuk ke kompartemen roda sebuah pesawat jet
pribadi menuju Heathrow.
Pria itu dibiarkan bebas dan tidak
didakwa. Karena Inggris dan Rumania sama-sama negara anggota Uni Eropa,
maka warga bebas bepergian, dan bekerja di sesama negara anggota.
Kisah
ajaib lainnya adalah selamatnya Fidel Maruhi, pria asal Tahiti, pada
2000 silam. Saat itu, dia terbang selama 7,5 jam dari Papeete ke Los
Angeles, Amerika Serikat. Saat ditemukan di kompartemen roda, dia tidak
sadarkan diri dan kondisi tubuhnya enam derajat di bawah normal.
Maruhi mengaku tidak tahu apa yang terjadi saat penerbangan, karena pingsan sesaat setelah tinggal landas. Dia dikembalikan ke Tahiti setelah kalah di pengadilan.
Desember
2003, seorang warga Kuba bernama Victor Alvarez Molina juga berhasil
selamat. Dia terbang dari Havana menuju Montreal, Kanada. Dia ditemukan
dalam kondisi hypothermia, kedinginan luar biasa, dalam penerbangan empat jam tersebut.
Keberuntungan
masih menyertainya. Dia selamat karena ada kebocoran pada pipa
kompartemen, mengalirkan udara hangat. Selain itu, pipa ini juga jadi
pegangannya ketika pintu kompartemen terbuka. Tidak seperti Maruhi,
Molina berhasil mendapatkan status pengungsi, dan akan memboyong seluruh
keluarganya ke Kanada.
Beberapa dari penumpang gelap ini nekat
melakukannya hanya untuk senang-senang, mencari ketegangan. Contohnya
pada 2010, Delvonte Tisdale, 16, yang ditemukan tewas pada penerbangan dari Charlotte, North Carolina, menuju bandara Logan, Boston, menumpang pesawat Boeing 737 milik US Airways.
Tapi
umumnya para penumpang gelap di roda pesawat adalah mereka dari negara
miskin atau berkembang. Tujuan mereka adalah Eropa atau Amerika Utara.
Motivasinya pun beragam. Mulai dari menghindari hukuman di negara asal,
atau mencari penghidupan lebih baik di Barat.
"Kami tidak tahu
apa alasan khusus dari mereka, tapi berdasarkan studi kami dengan para
pengungsi, mereka kadang terpaksa mengambil langkah ekstrem demi kabur
dari negaranya," kata Deborah Harris, kepala operasi lembaga Refugee
Council, dikutip dari BBC.
"Dalam situasi konflik,
mereka kadang harus meninggalkan rumah secepatnya, dan tidak punya uang
serta harta benda. Jadi mereka mengambil langkah putus asa demi bisa
kabur," ujarnya.
hmm.
ReplyDeletehmm.
ReplyDeletehmm.
ReplyDelete