POLITIK PORNO, MESUM DAN TIDAK SENONOH, DAN PENUH PELACURAN(Ahli politik Yves Michaud dalam Violence et Politique, secara sarkastis menulis, segala bentuk dan cara berpolitik yang menjurus pada "ketidakjujuran", "kekerasan" -alias politik pemaksaan kehendak untuk memperoleh tujuan tertentu- kekuasaan, merupakan politik-porno. Porno berasal dari bahasa Yunani, berarti tidak senonoh atau yang bertolak belakang dengan nilai-nilai sopan santun, kejujuran atau norma-norma etika yang dianut masyarakat. Politik porno digambarkan sebagai suatu situasi politik yang diwarnai praksis politik yang menjurus kasar atau yang lebih kerap disebut politik minus etika.
Masuk dalam kategori politik-porno adalah politik saling menyalahkan, politik mementingkan diri atau kelompok, politik yang tidak jujur, politik pemaksaan kehendak, politik yang hanya berorientasi kekuasaan, demonstrasi yang menjurus anarkis, politik yang dibarengi intimidasi, teror, penculikan para aktivis, dan lain-lain.
Gelagat politik porno dalam jagat politik nasional memang kerap begitu mengental dalam sejarah perpolitikan negeri ini. Aksi partai politik (parpol) yang begitu menggebu dalam meraih kekuasaan sebagai sebuah potret politik porno itu? Bukankah gelagat politik parpol belakangan ini -dalam penilaian publik- lebih berorientasi pada kekuasaan semata daripada kehendak untuk melayani dan menyejahterakan rakyat?
Kesemua bentuk politik-porno berjalan di atas prinsip "tujuan menghalalkan cara", ala Nicolo Machiavelli, yang menekankan bahwa antara norma-norma moral dan politik tidak ada kaitan. Bila ingin menggapai dan merengkuh kekuasaan dan mempertahankannya, tidak perlu memperhatikan moral atau mendapatkan pembenaran secara etika. Politik yang tidak jujur dan politik yang condong kepada pemaksaan kehendak dalam meraih kekua- saan, misalnya, tidak lain meru- pakan bagian da-ri politik-porno, sekaligus bukan argumen politik etis.
Etika selalu merupakan hasil dari suatu pili- han lewat pertimbangan yang matang, sedangkan politik minus kejujuran, pemaksaan kehendak, mengabaikan pertimbangan etis. Sebagaimana kata Hannah Arendt, politik pemaksaan kehendak adalah komunikasi bisu par excellence, suatu politik yang tidak sehat, tidak normal, dan tidak etis.
Oleh karena berbagai praksis politik yang dipertontonkan ke publik, senantiasa menghalalkan segala cara ala Machiavelli, maka kerap politik dianggap sebagai "bisnis" yang kotor, atau politik itu kotor, penuh dengan permainan-permainan kotor, tidak senonoh dan tidak jujur. Ini seperti kata Machiavelli, "Menipu adalah cara yang paling efektif bagi politisi untuk menaklukkan massa. Jarang sekali terjadi orang naik dari status rendah ke status tinggi tanpa melakukan kekerasan atau kecurangan. Penguasa yang ingin mencapai hal-hal yang besar harus belajar menipu".
Di sini, mencari politisi yang sungguh-sungguh jujur, berintegritas dan santun, yang melakukan praksis politik dalam koridor moral dan etika, dianggap ibarat mencari perawan di lokalisasi pelacuran. Sebuah pandangan sinisme pragmatis. Tetapi, itulah realitas, minimal sesuai pandangan filsuf sekaligus politisi asal Italia, Machiavelli itu. Bahwa berpolitik itu akrab dengan permaian kotor, sehingga tidak ada politisi yang benar-benar suci.
Hanya saja, kita berharap di negeri ini masih ada politisi-politisi yang jujur, berintegritas, kredibel, dan santun, yang senantiasa memperhatikan etika dan moral dalam berpolitik. Ini penting. Sebab, moral merupakan pusat orientasi sikap dan perilaku manusia. Atau, inti dari seluruh dinamika politisi adalah moral.
Karena itu, tinggi rendahnya integritas moral seseorang dalam berpolitik menentukan tinggi rendahnya integritas kepribadian dan kualitas berpoli- tik dari sang poli- tisi tersebut. Dengan masih adanya politisi kita yang bermoral, memungkinkan kita bisa berha- rap akan adanya perbaikan politik dan moral bangsa yang sedang bobrok-jatuh di titik nadir.
Sebab, apa artinya kita mendengar begitu banyaknya politisi atau pimpinan eksekutif terus-menerus mengkhotbahi masyarakat mengenai manusia yang utuh, manusia yang berkualitas, nilai-nilai kebangsaan, kerelaan berkorban, tanggung jawab, bila dari diri mereka sendiri tidak mencerminkan citra yang terpuji? Dengan kata lain, sulit dibayangkan dengan nasib bangsa ini bila terpatri sebuah fenomena yang mencerminkan inflasi moralisme dari atas ditandai dari aras yang sama pula oleh inflasi penyelewengan, korupsi, penipuan, dan lain-lain.
Tetapi, di situlah ironisnya bahwa inflasi moralisme yang mencerminkan krisis etika politik masih begitu mencolok saat ini. Aktivitas politik yang semestinya merupakan seni untuk memperhatikan prinsip-prinsip luhur dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, masih mengalami pendangkalan sebagai sekadar seni bagi kemungkinan- kemungkinan (the art of the possible). Kecenderungan menjadi cara sebagai tujuan, dan sebaliknya tujuan sebagai retorika belaka, kian melembaga dalam kehidupan politik.)A AINUT TIJAR
No comments:
Post a Comment