Laporan: A. Rapiudin
Wacana Penggunaan hak politik prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali mencuat ke permukaan. Wacana ini bergulir seiring kajian yang dilakukan internal TNI.
Sejak era reformasi bergulir, tiga kali pemilu, yakni Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009, anggota TNI tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Ketidakikutsertaan TNI dalam tiga pemilu bukan tanpa alasan. Ada kekhawatiran jika prajurit TNI ikut memilih, akan terjadi pengkotak-kotakan atau perpecahan di tubuh militer. Apalagi mereka punya senjata. Kondisi itu dinilai bisa menganggu kekompakan, keutuhan, dan keamanan ketika harus mengawal pemilu itu.
Pemberian hak pilih bagi anggota TNI juga dikhawatirkan akan memecah belah soliditas internal dan mengakibatkan politisasi TNI. Kondisi ini dibaca elit-elit nasional. Melalui konsensus bersama di awal reformasi akhirnya disepakati untuk sementara tidak memberikan hak memilih bagi prajurit TNI.
Ada dua hal yang menjadi catatan kita soal wacana ini.Pertama, penataan sistem politik dan kesiapan politisi sipil menerima penggunaan hak pilih prajurit TNI.
Saat ini, politisi sipil masih belum matang mengurus dunia politik karena selama Orde Baru militer lebih memegang peranan. Kita masih perlu menata bagaimana sistem demokrasi dan ketatanegaraan ini berjalan baik. Sistem partai politik juga perlu penataan kembali.
Jika supremasi sipil sudah kokoh, tidak menutup kemungkinan di masa mendatang hak pilih anggota TNI kembali diberikan. Tetapi, untuk mencapai tahapan itu tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Apalagi, Indonesia memiliki sejarah pahit di masa lalu ketika dwi fungsi ABRI diterapkan. Demokrasi tak berjalan semestinya, elit sipil tak punya peranan berarti.
Elit politik sipil kita juga masih belum dewasa dalam berdemokrasi.Lihat saja, ajang pemilu, pilpres, dan pilkada kerap diwarnai konflik antarelit. Semangat untuk saling menghormati hasil dari sebuah pemilu atau pilkada seringkali diabaikan. Komitmen siap menang dan siap kalah seolah hanya sekadar slogan yang terpampang di hadapan publik.
Belum lagi persoalan politik uang dan kampanye hitam yang juga masih belum hilang dari perjalanan demokrasi kita.
Jika kondisinya masih seperti ini, kemudian anggota TNI diberikan hak pilih, bisa dibayangkan bagaimana keadaan negeri ini. Bisa jadi TNI akan mengalami politisasi oleh elit sipil yang ujung-ujungnya bisa memecah belah bangsa.
Jadi, sebelum hak pilih itu diberikan, sistem demokrasi kita harus dimatangkan dulu dengan penguatan supremasi sipil. Elit-elit sipil perlu melakukan konsolidasi untuk menuju ke arah itu.
Setidaknya, butuh waktu tak sebentar pasca reformasi digulirkan untuk membuat elit sipil dewasa dan matang berdemokrasi .
Kedua, TNI juga perlu melakukan konsolidasi dan sosialisasi internal. Jika pada akhirnya hak politik itu kembali diberikan maka harus dijelaskan bahwa penggunaan hak itu tidak ada korelasinya dengan jalur komando.
Prajurit-prajurit TNI harus bersikap independen dan mandiri ketika menggunakan hak pilihnya. Mereka terbebas dari pengaruh atau arahan komandannya untuk memilih partai tertentu.
Proses konsolidasi di internal TNI sangat penting untuk menjadikan institusi pertahanan negara ini menjadi lebih profesional dan independen. Tidak mudah ditarik oleh kepentingan elit politik tertentu.
Langkah-langkah ini penting dilakukan TNI untuk menepis kekhawatiran publik bahwa kehadiran TNI dalam pemilu justru akan membuat institusi itu terbelah mengikuti garis politik masing-masing.
Seperti disinggung di atas, sebagai warga negara, prajurit TNI juga punya hak menggunakan hak pilih. Tetapi, kapan waktunya masih sulit untuk dipastikan.
Yang jelas, ketika supremasi sipil sudah kuat, demokrasi kian matang dan profesionalisme serta independensi melekat di tubuh TNI, maka peluang itu terbuka lebar. Soal kapan waktunya, kita tunggu saja
No comments:
Post a Comment