Tuesday 19 April 2011

SEPAK TERJANG SEORANG M SYARIF, ANGGOTA RADIKAL YANG MENGEBOM MASID DI CIREBON


Muchamad Syarif. Itulah nama pelaku bom bunuh diri di Cirebon Jumat pekan lalu, 15 April 2011. Sebagaimana luas diberitakan, bom bunuh diri itu meledak saat salat Jumat di Masjid Az Dzikra, yang berdiri di kompleks Mapolresta Cirebon. Si bomber ini mati. Perutnya remuk. Sejumlah polisi luka parah. Juga si Kapolres.
Menemukan identitas si Syarif ini memang agak susah. Sebab dia orang baru dalam jaringan terorisme. Nama, profil dan riwayat sepak terjangnya belum ada dalam databased kepolisian. Walhasil polisi harus menempuh prosedur berliku guna mengungkap identitasnya.
Polisi, misalnya, lebih mudah mengungkap Dulmatin yang tewas dipelor Detasemen Khusus (Densus) 88 di Pamulang, Tanggerang, 9 Maret 2010. Sebab segala informasi soal Dulmatin sudah ada di data based polisi. Mabes Polri bahkan sudah menyimpan data fisik - yang menjadi ciri khas Dulmatin- berdasarkan keterangan keluarga. Data DNA bahkan sudah ada pula.
Nah, Syarif itu masih gelap. Proses identifikasi benar-benar dirunut dari lapangan. Beruntung jasad tidak remuk redam. Desain grafis yang tidak tamat kuliah, yang disewa polisi mengambar wajah yang agak hancur itu, memang dengan mudah mengambar wajah itu.
Tapi siapa dia? Ketika gambar wajah itu ditayangkan ditelevisi dan disebar polisi, sesungguhnya keluarga sudah menduga bahwa sang pelaku adalah Syarif. Ketika polisi datang ke rumah orang tuanya di Jalan Astanagarip Utara di Cirebon, kakaknya yang bernama Elang Rasyid, membenarkan bahwa wajah di foto itu memang mirip adiknya.
"Kalau foto yang dibawa petugas Reserse sih hampir mirip," kata Elang saat ditemui di rumah orang tua Syarif, alan Astanagarip Utara, RT 3, RW 6 no 55, Pekalipan, Cirebon, Jawa Barat.
Meski keluarga menegaskan bahwa kemungkinan besar itu adalah Syarif, polisi tetap melewati sejumlah prosedur yang standar dalam proses identifikasi. Prosedur standar itu adalah tolak ukur primer dalam proses identifikasi.

Tiga tolak ukur primer itu yakni, analisa sidik jari, data gigi, dan hasil tes DNA. Nah, dari perbandingan antara sidik jari jenazah Mr X dengan data dalam Surat Izin Mengemudi (SIM) atas nama M Syarif, ditemukan kecocokan lebih dari 12 titik sidik jari. Batas minimal kecocokkan itu sendiri adalah 12 titik.
Kedua, untuk identifikasi data gigi, keluarga Syarif mengakui ada ciri khusus pada gigi seri putranya itu. Hasilnya pun cocok dengan ciri fisik jasad pelaku bom bunuh diri. "Ketiga melalui DNA. Kami bisa buktikan bahwa Mr X itu adalah anak dari ibu Srimulat dan bapak Abdul Ghofur," kata Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Mabes Polri (Pusdokkes), Brigjen Polisi Musaddeq Ishak, di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin 18 April 2011.
Dengan demikian, "Sudah seratus persen identik," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Boy Rafli Amar. Polisi kini terus menelusuri jaringan dan otak pelaku dibalik aksi jahat Syarif ini.
Pria berusia 32 tahun ini disebut pemain baru dalam jaringan teroris. Nama Syarif ini tidak pernah ada dalam jaringan teroris yang selama ini diidentifikasi polisi. Polisi  tidak memiliki data awal tentang suami dari Sri Maleha ini, wanita lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sunan Gunung Djati Cirebon itu.
Sering Bikin Kisruh
Sepi di jaringan terorisme, rekam jejak Syarif banyak ditemukan di dunia kriminal. Syarif bahkan sudah lama menjadi buronan polisi. Sebab dia melakukan perusakan di sebuah Alfamart di Cirebon. Kasus ini ditangani Polres Cirebon Kota. Tersangka 11 orang. 
Dari jumlah itu enam orang sudah diproses hukum. Bahkan sudah ada dari enam tersangka itu yang keluar dari penjara. Sedangkan lima orang lainnya buron, termasuk M Syarif.
Apakah kasus Alfamart ini termasuk kasus perampokan dan terkait dengan aksi jaringan teroris? "Ini bukan perampokan, tapi perusakan," kata Wakil Kepala Bareskrim Polri, Inspektur Jenderal Polisi Mathius Salempang di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin 18 April 2011. "Waktu itu  kelompok Syarif itu melakukan razia minuman keras," kata Mathius.

Tidak hanya kasus perusakan Alfamart, nama M Syarif juga terseret kasus pembunuhan anggota TNI di Cirebon. Syarif menjadi target buruan polisi karena diduga sebagai pelaku pembunuhan anggota Kodim Cirebon pada Minggu, 3 April 2011. Tapi betulkah dia terlibat membunuh anggota TNI itu? "Kira-kira begitu," kata Kapolda Jawa Barat, Inspektur Jenderal Suparni Parto, saat mendampingi Menkes, Endang Rahayu di RS Pelabuhan Cirebon, Minggu 17 April 2011.
Dari lokasi pembunuhan anggota TNI itu, polisi menemukan Surat Izin Mengemudi (SIM) atas nama M Syarif. "Saya menduga itu ada keterkaitan yang kuat. Tapi hal-hal lain terkait perilaku, informasi dapat mengarah ke dugaan yang lebih serius," jelas Kapolda.

Syarif diketahui sering ikut berbagai aksi yang digelar sebuah organisasi massa di Cirebon. Syarif juga diketahui terlibat dalam aksi penyerangan yang berlatar agama. "Insiden seperti yang kita lihat di televisi, ada beberapa informasi pada saat penyerangan Ahmadiah dia ikut," kata Mathius yang juga mantan Kapolda Kalimantan Timur ini.
Sebagaimana terlihat dalam tayangan video di sejumlah televisi, Syarif mengikuti aksi penyerangan Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan pada 29 Juli 2010. Dalam video itu, Syarif secara agresif menyerang barisan Brimob. Pada saat terjadi perang batu, Syarif berada di barisan paling depan. Namun, waktu itu dia menutup indentitasnya.
Polisi masih mendalami keterlibatan Syarif dengan jaringan teroris tertentu. "Teman-teman Densus di lapangan sedang bekerja keras mengungkap ini kelompok siapa," kata Mathius.

Turunan Keraton 

Muchamad Syarif beralamat di Astanagarib Utara Rt 03/06 Kelurahan Pekalipan, Kecamatan Pekalipan, Cirebon. Anak keempat dari delapan bersaudara ini memiliki darah ningrat dari ibunya, Srimulat. Sedangkan Abdul Gafur, bapaknya, dari kalangan ningrat. Darah biru mengalir ke dalam tubuh Syarif. "Syarif keturunan Keraton Kanoman. Orang tua Srimulat adalah Elang Padang dan Ratu Mendung. Keduanya sudah meninggal.
Sementara itu, kakak ibunya bernama Elang Rasyid," ujar salah satu kerabat Syarif, Djaemah saat ditemui di kediamannya di Cirebon, Sabtu, 16 April 2011. Elang merupakan sebutan bagi anak raja di Cirebon, atau pangeran.
Di Cirebon sendiri ada tiga keraton yakni Keraton Kasepuhan, Kacerbonan, dan Kanoman. Syarif merupakan turunan Keraton Kanoman, sesuai namanya ini adalah keraton termuda.

Menurut Djaemah, Syarif tidak dikenal dekat oleh warga setempat. Warga menganggap Syarif jarang bergaul. Syarif  tercatat lulusan sebuah SMA, namun warga tak tahu di mana dia bersekolah. Srimulat sendiri sehari-hari dikenal warga sebagai pedagang kue di Pasar Kanoman Cirebon.
Sementara itu, ayah Syarif, Abdul Ghofur kini menetap di Jakarta setelah bercerai sejak 15 tahun dengan ibunya. Warisan darah biru ini juga dibenarkan ayah Syarif, Abdul Ghofur. "Iya, saya sendiri turunan ke delapan. Saya turunan langsung," kata Ghofur saat diteleponVIVAnews.com, Senin 18 April 2011.

Sejak gambar foto pelaku bom bunuh diri dirilis, pria berusia 66 tahun ini yakin foto itu anaknya. Salah satu cirinya, ada jempol luka bekas kegencet saat ganti ban. Selain itu, tanda lainnya, kata dia, adalah gigi patah. "Gigi dia patah saat SD berenang dan jatuh dari perosotan," kata Ghofur.
Syarif sudah keluar dari rumah sejak 2002. Saat itu, dia bergabung dengan kawannya anggota Brimob untuk membuka digital foto di Jalan Siliwangi, Cirebon. Anaknya menggeluti usaha ini sampai 2006. Setelah itu, dia bekerja di toko komputer. "Sebelum Syarif ketemu jaringan keras-keras ini, sudah ngomong keras. Kalau dinasehati keluarga juga melawan."
Syarif pernah meminta disekolahkan di pesantren selepas lulus SMA, tahun 1997. "Pesantrennya di Kediri. Saya kasih uang untuk dana satu tahun, tapi 4-5 bulan dia sudah pulang karena dia mengaku uangnya dicuri," kata Ghofur.

Syarif menurutnya adalah anak yang baik tapi belakangan tabiatnya berubah keras. Dan Abdul Ghofur menduga perubahan itu terjadi setelah dia bertemu dengan sekelompok orang dari aliran keras mulai 2009.
Syarif mulai memakai pakaian jubah. Perubahan yang paling kentara, bisa diamati dari omongannya. "Saya nasehati malah saya dibilang kafir,  "Bapak kafir", " kata dia. Syarif juga kerap balas menasehati. Kata dia, "Orang tua mau masuk surga nggak". Serasa surga ada di tangan dia. Syarif juga berpendapat, KUHP adalah hukumnya orang kafir, peninggalan Belanda.
Pada Juli 2010, saat Syarif nikah, datanglah serombongan tamu memakai jubah. "Itu mungkin alirannya, pas ada kyai baca doa nikah, teman-temannya tidak mengucapkan 'amin'. Mungkin bukan alirannya kali," kata dia. Setelah akad nikah, rombongan berjubah itu langsung pergi ke Ciamis. "Katanya mau menghadiri tabligh akbar Abu Bakar Baasyir."
Semenjak saat itulah Abdul Ghofur tidak pernah bertemu Syarif lagi. Sang ayah ini kemudian bertemu  lagi dengan anaknya itu, sesudah dia menjadi mayat, Jumat pekan lalu itu

No comments:

Post a Comment