Hari belum terang. Masih pukul tiga pagi Waktu Indonesia Timur. Senin 1 Agustus 2011 itu sebuah angkutan umum melaju. Dari arah Yotefa di Jayapura menuju Arso kabupaten Keerom. Arso itu penuh kampung transmigran. Kawasan yang cukup rata ketimbang Jayapura yang berlembah bukit.
Tak ada yang janggal. Angkutan itu melaju seperti hari yang sudah-sudah. Tapi ketika melaju di jalan menurun di kampung Nafri mobil itu mendadak berhenti. Tak bisa melaju. Terhalang batang-batang kayu yang melintang di jalan.
Sang sopir kaget. Juga para penumpang. Sebab tak ada hujan badai yang menumbangkan kayu-kayu itu ke jalan. Kekagetan itu berubah kenggerian, ketika sejumlah orang yang menenteng bedil dan kapak mendadak muncul. Di keremangan pagi itu susah menghitung berapa banyak kawanan ini. Cuma bisa mengira sekitar 10 orang. Mereka muncul dari belakang angkutan.
Kampung Nafri yang dirimbuni pohon kelapa nan teduh, pagi itu tersaput kenggerian. "Terjadi penganiayaan, penembakan terhadap masyarakat yang ada di dalam angkutan," kata Kepala Divisi Humas Markas Besar Polri, Irjen Anton Bachrul Alam di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Senin 1 Agustus 2011.
Gerombolan itu memberondong pintu kanan mobil dengan 16 peluru. Mengenai sejumlah orang. Mereka luka parah. Yang belum tertembus peluru berusaha kabur. Tapi disabet parang dan kapak. Sebagian mengalami luka robek.
Para pembunuh yang mengamuk seperti sapi gila itu juga menghabisi nyawa dua penumpang Toyota Hilux DS 5851 AD yang juga melintas di tempat kejadian. Mereka tewas dibantai di dalam mobil dengan cara dibacok. Nyawa prajurit TNI dari Batalyon Infantri 756 Senggi, Pratu Dominikus Kerap, yang melintas di lokasi kejadian juga melayang.
Salah seorang warga yang menumpang taksi berplat DS 7117 A juga tewas dibunuh. Kemarahan gerombolan ini menewaskan empat orang, sejumlah orang luka berat dan dua orang luka ringan. "Semua korban sipil kecuali satu TNI, tapi dia sedang pakai pakaian preman," kata Anton.
Apa motif gerombolan ini memang belum jelas. Polisi bilang motifnya adalah untuk mengganggu ketenangan masyarakat. Sebab dari aksi pagi buta itu, mereka tampaknya tidak menyasar kelompok tertentu.
Tapi siapa mereka juga belum dipastikan. Namun, polisi menemukan petunjuk: bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang tertancap di tempat kejadian perkara (TKP). “Mereka menancapkan bendera OPM di TKP,” tambah Anton.
Selain bendera bintang kejora berukuran 1x2 meter, polisi juga menemukan empat selongsong peluru . “Dilihat dari selongsong, biasanya peluru dari senjata laras panjang,''ujar juru bicara Polda Papua. Juga ditemukan tiga tombak kayu, 3 anak panah, 2 buah parang, dan 1 tulang Kasuari.
Dia menambahkan, polisi telah memeriksa lebih dari 5 saksi dalam kasus penghadangan dan penembakan itu. Polisi dibantu TNI masih berada di lokasi kejadian untuk melakukan pengejaran. Benarkah OPM belum pasti memang. Sejumlah tokoh OPM, seperti Moses Weror di Madang PNG, belum bisa dikontak VIVAnews.com.
Tapi kampung Nafri, entah kenapa menjadi salah satu titik paling didih di porpinsi paling timur itu. Kampung itu terletak di dekat kota Jayapura. Ini satu-satunya jalan masuk dan keluar Jayapura menuju kawasan transmigrasi di Arso dan perbatasan dengan Papua Nugini (PNG). Kampung ini terletak di pinggir laut.
Tak banyak warga pendatang di sini. Umumnya penduduk asli Papua. Meski penduduk asli di situ terkenal ramah, orang sering takut lewat daerah ini. Apalagi sendirian. Sebab kenggerian sering kali terjadi. Minggu 28 November 2010, misalnya, gerombolan orang tidak dikenal juga mencegat warga yang lewat di pagi hari.
Mereka menembak warga dengan bedil. Satu orang tewas dan sejumlah orang luka parah dan sekarat. Yang menggerikan adalah bahwa menurut Polda Papua, kawanan ini menenteng SS1, senjata yang tergolong canggih. Sempat beredar kabar bahwa para penyerang itu bukan OPM tapi sipil bersenjata. Siapa mereka belum jelas juga.
19 Orang tewas korban bentrok Ilaga
Papua belakangan ini kian memanas. Selain penembakan brutal di Nafri itu, juga terjadi kerusuhan di Ilaga, Kabupaten Puncak. Kerusuhan itu meletik semenjak Sabtu 30 Juli 2011. Puncak kerusuhan itu terjadi Minggu 31 Juli 2011, sekitar pukul 07.00 WIT.
Semula dikabarkan bahwa 17 korban tewas. Tapi hingga Senin sore, jumlah nyawa melayang sudah mencapai 19 orang. Beruntung, "Saat ini situasi sudah terkendali," kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Anton Bachrul Alam di Mabes Polri, Senin 1 Agustus 2011.
Anton memastikan bahwa kepolisian telah menurunkan satu pleton Brimob untuk menjaga lokasi bentrok. Jenazah korban bentrokan sudah dikembalikan ke keluarga untuk dimakamkan. "Polisi sedang melakukan olah TKP, mengumpulkan barang bukti dan saksi-saksi, kemudian akan dilanjutkan dengan pemeriksaan tersangka," kata dia.
Anton memastikan bahwa kepolisian telah menurunkan satu pleton Brimob untuk menjaga lokasi bentrok. Jenazah korban bentrokan sudah dikembalikan ke keluarga untuk dimakamkan. "Polisi sedang melakukan olah TKP, mengumpulkan barang bukti dan saksi-saksi, kemudian akan dilanjutkan dengan pemeriksaan tersangka," kata dia.
Kerusuhan di Ilaga dipicu proses tahapan Pilkada di kabupaten hasil pemekaran itu. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat menyebutkan bahwa ada dualisme rekomendasi dari partai Gerindra, untuk dua pasangan calon bupati.
''Ada dua rekomendasi yang dikeluarkan partai Gerindra, yakni untuk pasangan calon bupati Elvis Tabuni-Yosia Tembak dan Simon Alom-Heri Kosnai. Inilah yang kemudian memicu terjadinya bentrok, karena saling klaim mengklaim,''ujar anggota KPU Puncak, Herianus Pakage kepada wartawan di Jayapura.
KPUD Puncak, lanjutnya, membuka pendaftaran calon bupati pada 24-30 Juli 2011. Lalu kedua pasangan mendaftar. ''Awalnya, proses pendaftaran berjalan lancar, namun di akhir pendaftaran, bentrok kedua kubu terjadi,'' jelasnya.
Pasangan Elvis Tabuni-Yosia Tembak mendaftar pada 26 Juli dengan rekomendasi DPC Gerindra Puncak. Lantas, 30 Juli, giliran pasangan Simon Alom-Heri Kosnai yang mendaftar dengan membawa rekomendasi DPP Gerindra. Kedua kubu saling tak terima. Polisi lantas berupaya menghalau, tapi kedua massa tetap bentrok. Pada kerusuhan Sabtu 30 Juli 2011, empat orang tewas terkena tembakan aparat.
''Ada dua rekomendasi yang dikeluarkan partai Gerindra, yakni untuk pasangan calon bupati Elvis Tabuni-Yosia Tembak dan Simon Alom-Heri Kosnai. Inilah yang kemudian memicu terjadinya bentrok, karena saling klaim mengklaim,''ujar anggota KPU Puncak, Herianus Pakage kepada wartawan di Jayapura.
KPUD Puncak, lanjutnya, membuka pendaftaran calon bupati pada 24-30 Juli 2011. Lalu kedua pasangan mendaftar. ''Awalnya, proses pendaftaran berjalan lancar, namun di akhir pendaftaran, bentrok kedua kubu terjadi,'' jelasnya.
Pasangan Elvis Tabuni-Yosia Tembak mendaftar pada 26 Juli dengan rekomendasi DPC Gerindra Puncak. Lantas, 30 Juli, giliran pasangan Simon Alom-Heri Kosnai yang mendaftar dengan membawa rekomendasi DPP Gerindra. Kedua kubu saling tak terima. Polisi lantas berupaya menghalau, tapi kedua massa tetap bentrok. Pada kerusuhan Sabtu 30 Juli 2011, empat orang tewas terkena tembakan aparat.
Tidak terima, Minggu 31 Juli kubu Simon Alom melakukan penyerangan dan sebanyak 14 pendukung Elvis Tabuni, tewas. ''Kedua kubu bentrok dengan menggunakan parang, tombak dan panah,'' kata Herianus.
Sampai saat ini situasi Ilaga Puncak masih mencekam. ''Kami anggota KPU memutuskan turun ke Jayapura karena situasi masih tegang, sekaligus untuk berkoordinasi dengan KPU Provinsi apakah menunda proses tahapan pilkada atau melanjutkannya,''kata dia. Jika tidak ada kerusuhan, KPU akan melangsungkan tahapan verifikasi pasangan calon pada Senin 1 Agustus.
Herianus Pakage melanjutkan, bentrok itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan KPU, karena dualisme rekomendasi pasangan calon, adalah urusan internal partai. ''Kami hanya mengimbau, dualisme
rekomendasi itu diselesaikan secara internal oleh partai,''imbuhnya.
Sampai saat ini situasi Ilaga Puncak masih mencekam. ''Kami anggota KPU memutuskan turun ke Jayapura karena situasi masih tegang, sekaligus untuk berkoordinasi dengan KPU Provinsi apakah menunda proses tahapan pilkada atau melanjutkannya,''kata dia. Jika tidak ada kerusuhan, KPU akan melangsungkan tahapan verifikasi pasangan calon pada Senin 1 Agustus.
Herianus Pakage melanjutkan, bentrok itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan KPU, karena dualisme rekomendasi pasangan calon, adalah urusan internal partai. ''Kami hanya mengimbau, dualisme
rekomendasi itu diselesaikan secara internal oleh partai,''imbuhnya.
Ditemui terpisah, Partai Gerindra membantah jadi penyebab bentrok berdarah. “'Partai Gerindra hanya merekomendasi satu pasangan calon yakni Simon Alom-Heri Kosnai sebagai calon bupati yang diusung. Rekomendasi terhadap mereka langsung dikeluarkan Gerindra pusat,'' ujar Wakil Ketua Partai Gerindra Provinsi Papua, yang juga ketua DPC Gerindra kabupaten Puncak, Amir Mahmud Madubun kepada wartawan, Senin 1 Agustus di Jayapura.
Menurut dia, sesuai dengan aturan partai, calon kepala daerah yang diusung bertarung di Pilkada, harus mendapat rekomendasi DPP Gerindra. Dan Simon Alom sudah mendapatkannya secara resmi. ''Yang diusung secara resmi oleh Partai Gerindra hanya Simon Alom,''singkatnya.
Terkait kerusuhan yang terjadi, lanjutnya, akibat dari sikap KPUD Puncak yang bertindak tidak netral. ''Gerindra hendak mendaftarkan pasangan Simon Alom-Heri Kosnai, tapi KPUD Puncak menolak, dengan alasan, ada dualisme rekomendasi. Mestinya, dalam tahapan pendaftaran, semua yang mendaftar harus diterima dulu, baru kemudian diverifikasi. Jika hasil verifikasi persyaratan tidak memenuhi aturan, baru dianggap tidak lolos.”
Menurut dia, sesuai dengan aturan partai, calon kepala daerah yang diusung bertarung di Pilkada, harus mendapat rekomendasi DPP Gerindra. Dan Simon Alom sudah mendapatkannya secara resmi. ''Yang diusung secara resmi oleh Partai Gerindra hanya Simon Alom,''singkatnya.
Terkait kerusuhan yang terjadi, lanjutnya, akibat dari sikap KPUD Puncak yang bertindak tidak netral. ''Gerindra hendak mendaftarkan pasangan Simon Alom-Heri Kosnai, tapi KPUD Puncak menolak, dengan alasan, ada dualisme rekomendasi. Mestinya, dalam tahapan pendaftaran, semua yang mendaftar harus diterima dulu, baru kemudian diverifikasi. Jika hasil verifikasi persyaratan tidak memenuhi aturan, baru dianggap tidak lolos.”
"Tapi, yang terjadi, saat kami mendaftarkan pasangan yang diusung partai secara resmi, KPU menolak dengan alasan, ada dualism rekomendasi, sehingga harus diselesaikan dulu secara partai. KPU kan
sudah kerja tidak sesuai aturan," kata dia.
Menurut Madubun, yang juga menyaksikan kerusuhan antar dua kubu itu, karena sikap KPUD Puncak yang tidak netral, memancing emosi pendukung kedua kubu. ''Saat itu kami hanya diterima KPUD di halaman di luar pagar, tiba-tiba sekelompok massa dari pendukung pasangan calon Elvis Tabuni menyerang massa pendukung Simon Alom. Polisi mencoba menghalau, dengan mengeluarkan tembakan, tapi malah korban jatuh sebanyak empat orang, ''ungkapnya.
Ketika bentrok terjadi, lanjut dia, pihaknya berupaya menyelamatkan diri dari tempat kejadian, ke pos polisi terdekat. ''Karena situasi tiba-tiba tidak tekendali, kami pun ketakutan,''imbuhnya.
Setelah bentrok hari pertama dengan menewaskan empat warga, bentrok susulan kembali tejadi Minggu pagi yang menewaskan 15 warga. Selain itu rumah dan mobil milik Elvis Tabuni juga ikut dibakar massa. "Kami juga ketakutan, pasalnya untuk keluar dari Ilaga hanya bisa dengan pesawat, dan baru Senin pagi kami bisa keluar menuju Timika," ungkapnya.
Gerindra, tambah dia, akan menggungat KPUD Puncak secara hukum, karena telah bertindak menyimpang dari aturan. ''Kami akan gugat KPU Puncak karena bekerja diluar mekanisme aturan yang ditetapkan,''imbuhnya
sudah kerja tidak sesuai aturan," kata dia.
Menurut Madubun, yang juga menyaksikan kerusuhan antar dua kubu itu, karena sikap KPUD Puncak yang tidak netral, memancing emosi pendukung kedua kubu. ''Saat itu kami hanya diterima KPUD di halaman di luar pagar, tiba-tiba sekelompok massa dari pendukung pasangan calon Elvis Tabuni menyerang massa pendukung Simon Alom. Polisi mencoba menghalau, dengan mengeluarkan tembakan, tapi malah korban jatuh sebanyak empat orang, ''ungkapnya.
Ketika bentrok terjadi, lanjut dia, pihaknya berupaya menyelamatkan diri dari tempat kejadian, ke pos polisi terdekat. ''Karena situasi tiba-tiba tidak tekendali, kami pun ketakutan,''imbuhnya.
Setelah bentrok hari pertama dengan menewaskan empat warga, bentrok susulan kembali tejadi Minggu pagi yang menewaskan 15 warga. Selain itu rumah dan mobil milik Elvis Tabuni juga ikut dibakar massa. "Kami juga ketakutan, pasalnya untuk keluar dari Ilaga hanya bisa dengan pesawat, dan baru Senin pagi kami bisa keluar menuju Timika," ungkapnya.
Gerindra, tambah dia, akan menggungat KPUD Puncak secara hukum, karena telah bertindak menyimpang dari aturan. ''Kami akan gugat KPU Puncak karena bekerja diluar mekanisme aturan yang ditetapkan,''imbuhnya
No comments:
Post a Comment