Selembar surat seruan yang sempat bikin heboh itu akhirnya ditempelkan di tempat terbuka di Lhokseumawe, Senin 7 Januari 2012. Sejumlah orang berseragam pegawai negeri, memasang kertas itu di sejumlah titik. Sontak, aturan kota di Aceh bagian utara itu lalu jadi bahan perbincangan “panas”.
Judul kertas itu “Seruan Bersama”. Empat tokoh penting di kota itu menekennya: Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota Lhokseumawe Saifuddin Yunus, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Lhokseumawe Tgk H Asnawi Abdullah, dan Ketua Majelis Adat Aceh, Kota Lhokseumawe Tgk H Usman Budiman.
Ada empat pasal dalam seruan itu, tapi yang paling menohok adalah Pasal 1, yang bunyinya: “Perempuan dewasa yang dibonceng sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang kecuali dengan kondisi terpaksa (darurat).”
Resmilah sudah, mulai hari itu, para perempuan di kota gas Lhokseumawe itu, tak boleh lagi dibonceng dengan duduk mengangkang.
“Ini bentuk keprihatinan pemerintah Kota Lhokseumawe,” ujar Suaidi. Dia melihat maraknya warga tidak lagi peduli budaya dan adat istiadat Aceh. Banyak pasangan terutama bukan muhrim berpelukan, dan bermesraan saat berkendara di jalan. Salah satu solusinya, ya itu tadi: perempuan dilarang duduk mengangkang ketika membonceng.
Tapi kata Suaidi, tak berarti setiap perempuan membonceng tak boleh mengangkang. “Ada pengecualian yang dianggap darurat,” ujarnya. Misalnya, perempuan bawa anak atau barang belanjaan. Atau pada saat darurat ke rumah sakit. “Dalam keadaan begitu boleh duduk mengangkang,” kata dia.
Aturan ini, kata sang walikota, baru berbentuk seruan. Jadi, masih percobaan selama tiga bulan. Karena hanya berbentuk seruan, maka tak ada sanksi. Jika berjalan baik, Suaidi akan meningkatkannya menjadi peraturan wali kota, atau bahkan peraturan daerah.
Dia juga tak pusing dengan “Kalau misalnya nanti setelah jadi peraturan walikota minta dibatalkan, kami akan mempertanyakan juga, sebab menurut kami ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” kata Suaidi. Dia pertama kali mengusulkan “larangan mengangkang” ini dalam sebuah acara dakwah di Lapangan Hira’ Lhokseumawe di malam pergantian tahun 2012 ke 2013.
Lalu, apakah “seruan bersama” ini dipatuhi?
Keesokan harinya, sejumlah televisi melaporkan, sebagian perempuan di Lhokseumawe masih membonceng mengangkang. “Kami tidak setuju. Susah itu,” kata seorang mahasiswi yang diwawancara stasiun televisi antv.
Alasannya, sulit jika dibonceng harus duduk menyamping. Apalagi buat anak perempuan di bawah umur. “Bisa-bisa jatuh,” ujarnya.
Memang ada risiko sendiri dengan duduk menyamping. Seorang pelatih keselamatan berkendara di Jakarta, Jusri Pulubuhu, membenarkan pendapat mahasiswi itu. Seharusnya sebelum aturan dibuat, kata Jusri, aspek keselamatan harus lebih dulu diperhatikan, sebelum soal estetika, norma, dan agama.
“Dengan penumpang duduk menyamping kestabilan dan keseimbangan akan berkurang. Itu berbahaya," kata Jusri, yang jadi training director di Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC).
Selain tak aman, duduk menyamping juga tak ergonomis. Jusri berharap aturan dibonceng posisi menyamping tak diterapkan. Itu sangat berbahaya di jalan raya. "Jalan raya kini telah menjadi ladang pembantaian massal," kata dia.
Tentu saja, aturan itu memancing banyak reaksi. Sejumlah situs asing, bahkan menulisnya sebagai bagian cerita lucu. Media otomotif international Jalopnik misalnya memberikan judul yang meledek: "Where Is The Worst Place In The World To Be A Woman Motorist?" Artinya "Di manakah tempat terburuk di dunia bagi wanita pengendara sepeda motor?"
Jawabannya ya apalagi kalau bukan salah satu kota di Aceh itu.
Diskriminasi perempuan
Peraturan yang “lucu” tapi mengekang perempuan itu rupanya kerap terjadi di daerah. Koordinator Pemantauan Kebijakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Jafar, misalnya mencatat pernah ada 154 perda yang diskriminatif bagi perempuan. Dia mengutip data itu dari Komnas Perempuan. “Perda itu bertentangan dengan HAM. Ia mengekang ruang gerak perempuan,” ujar Wahyudi, Rabu pekan lalu.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada September 2012 lalu, pernah mencatat 282 kebijakan di daerah yang tak peduli hak perempuan. Bahkan sampai merenggut nyawa kaum hawa.
Jumlah itu meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009, ada 154 Perda yang dianggap mendiskreditkan perempuan. Tahun 2010 ada 189, dan pada 2011 ada 207 kebijakan.
Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menyebut perda diskriminatif itu tersebar di 100 kabupaten di 28 provinsi. "Dari Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur, masih tetap menjadi enam provinsi yang kabupatennya masih gemar menerbitkan kebijakan daerah diskriminatif," kata Andy.
Dia menambahkan, dari 282 Perda, sekitar 207 di antaranya langsung mendiskriminasi perempuan. Sebanyak 60 kebijakan memaksakan cara berbusana dan ekspresi keagamaan, 96 kebijakan mengkriminalkan perempuan lewat pengaturan prostitusi, dan 38 kebijakan membatasi ruang gerak perempuan lewat aturan jam malam dengan mewajibkan perempuan didampingi bila bepergian. Dalam soal bekerja, ada tujuh aturan yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam menikmati hak mereka sebagai pekerja.
Andy menyebut sejumlah kasus. Ada seorang ibu rumah tangga di Tangerang, Banten, Lilis Lisdawati ditangkap oleh satpol PP karena diduga sebagai pekerja seks komersial. Lilis stres karena tekanan psikologis, akibat stigma masyarakat menganggapnya sebagai PSK. Akibatnya, Lilis meninggal pada 2009.
Dia menambahkan, dari 282 Perda, sekitar 207 di antaranya langsung mendiskriminasi perempuan. Sebanyak 60 kebijakan memaksakan cara berbusana dan ekspresi keagamaan, 96 kebijakan mengkriminalkan perempuan lewat pengaturan prostitusi, dan 38 kebijakan membatasi ruang gerak perempuan lewat aturan jam malam dengan mewajibkan perempuan didampingi bila bepergian. Dalam soal bekerja, ada tujuh aturan yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam menikmati hak mereka sebagai pekerja.
Andy menyebut sejumlah kasus. Ada seorang ibu rumah tangga di Tangerang, Banten, Lilis Lisdawati ditangkap oleh satpol PP karena diduga sebagai pekerja seks komersial. Lilis stres karena tekanan psikologis, akibat stigma masyarakat menganggapnya sebagai PSK. Akibatnya, Lilis meninggal pada 2009.
Di Langsa, Aceh, Andy menuturkan, seorang perempuan menjadi korban penerapan aturan diskriminatif. Remaja Aceh ini bunuh diri, diduga akibat malu setelah ditangkap Polisi Syariat Islam Aceh, Waliyatul Hisbah, 3 September 2012 lalu. Dia menambahkan, remaja itu ditangkap Polisi Syariah karena kedapatan keluar rumah pada malam hari. Diduga, Putri tak dapat menanggung malu setelah ditangkap, dan dicap sebagai pelacur.
Di Kota Tasikmalaya, ada peraturan daerah mewajibkan pegawai perempuan mengenakan rok. Aturan itu terdapat dalam Peraturan Daerah Tasikmalaya No. 12 Tahun 2009 tentang Tata Nilai.
Di Sumatera Barat, peneliti di Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, bahkan menyebut hampir di setiap kabupaten dan kota ada peraturan daerah diskriminatif. Peraturan itu terlalu mencampuri urusan pribadi warga negara. Di Padang, misalnya, Wali Kota mengeluarkan surat edaran mengatur kewajiban mengenakan busana muslim.
Anehnya, meski kasus diskriminatif ini sudah banyak contohnya, kata Andy, pemerintah di pusat nyaris tak pernah membatalkan aturan semacam itu. “Sampai saat ini belum ada informasi pembatalan kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas oleh Kemendagri," kata Andy.
Wahyudi dari Elsam juga menyatakan hal senada. Kebanyakan perda yang dihapuskan Kemendagri adalah berurusan dengan investasi dan retribusi. Soal perda yang dikriminatif, hampir tak terdengar ada pembatalan. Sebetulnya, ada jalur lain membatalkan perda yakni melalui uji material ke Mahkamah Agung. Tapi, tampaknya itu tak terlalu efektif.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat MA Ridwan Mansyur menyebutkan, pada 2012, ada 52 pengajuan uji material perda ke MA. Sementara 2011 ada 50 perkara dan 2010, 61 perkara. “Tapi, untuk sampai ada keputusan, butuh waktu antara tiga sampai sepuluh bulan”, ujar Ridwan.
Bukan ajaran Islam
Tapi Kementerian Dalam Negeri mengklaim, sepanjang 2012, kementerian itu membatalkan 173 perda dari 3.000 yang dievaluasi. Sisanya, ada yang lolos evaluasi, dan ada yang perlu dikoreksi agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Pekerjaan ini tak mudah, kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, awal Januari 2013 ini. Tiap hari, minimal satu perda muncul dari 497 kabupaten, atau dari kota atau provinsi. Gamawan menyatakan, evaluasi satu perda itu makan waktu 14 hari.
Gamawan mengakui, sebagian besar perda bermasalah itu berkaitan dengan retribusi, pajak dan perizinan. Misalnya, ada perda yang mengatur kewenangan yang sebenarnya jatah pemerintah pusat. Akibatnya, terpaksa perda itu dibatalkan.
Misalnya, soal pajak dan retribusi. Untuk urusan ini, kata Gamawan, tak boleh ada inisatif membebani orang dengan pajak dan retribusi di luar yang diatur UU Nomor 28 tahun 2009. “Jadi daerah tak bisa suka-suka. Karena ingin meningkatkan pendapatan asli daerah, lalu menambah-nambah jenis pajaknya,” ujar Gamawan.
Di Kalimantan Barat misalnya, ada perda soal pengendalian dan pengaturan kendaraan asing yang dibatalkan Kementerian Dalam Negeri. Kendaraan asing berkeliaran di Kalimantan Barat, sementara pemerintah daerah gigit jari, tak bisa menambah penghasilan lewat pajak atau retribusi.
Perda itu, kata Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Kalimantan Barat, Syarif Izhar Asyuri, juga berfungsi sebagai pencegah penyelundupan kendaraan dari Malaysia ke Indonesia. “Pihak DPRD maupun Pemprov Kalimantan Barat curiga penolakan ini disebabkan permainan elite melindungi bisnis pengguna mobil asing yang berkeliaran di Kalbar,” kata Syarif.
Terlepas dari tuduhan Syarif, warga Kalimantan Barat pun menikmati mobil murah serta bebas pajak karena memakai pelat Malaysia. Hanya dengan harga antara Rp5 juta sampai Rp35 juta, warga bisa membawa pulang mobil Malaysia ke Kalimantan Barat.
“Warga di sini memakainya untuk kebutuhan pergi ke ladang,” kata Gaspar, warga Dusun Tikul Batu, Desa Nanga Kantuk, Kecamatan Empanang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang terletak di perbatasan dengan Malaysia. “Kami di sini memakai mobil Malaysia tidak bayar pajak,” katanya.
Lalu bagaimana dengan perda-perda yang mendiskriminasi?
Gamawan sendiri mengaku hati-hati mengenai itu. “Kami sangat hati-hati mengevaluasi perda-perda yang sangat sensitif. Jangan ada komentar kelompok-kelompok tertentu yang menganggap evaluasi kita ini seolah-olah mengabaikan aspirasi daerah, kondisi lokal, apa yang disebut dengan the living of the people, kadang-kadang ada berargumentasi seperti itu,” kata mantan Gubernur Sumatera Barat itu.
Soal “larangan membonceng mengangkang” misalnya, Gamawan menyatakan, “Kalau perempuan dijadikan alasan, tidak tepat. Tapi kalau untuk memelihara tradisi yang hidup di masyarakat suatu daerah, barangkali tidak ada masalah," kata Gamawan di Istana Bogor, Senin 7 Januari 2013.
Apakah perempuan tak boleh mengangkang ketika berkendaraan itu Islami?
Apakah perempuan tak boleh mengangkang ketika berkendaraan itu Islami?
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Aqil Siradj, menyebutnya lelucon dan tidak penting. "Soal naik motor mengangkang itu kan bukan suatu prinsip. Yang prinsip adalah menutup aurat," kata Said Aqil di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu, 9 Januari 2013.
"Islam tak melarang seperti itu. Islam melarang membuka aurat. Asal menutup aurat, mau mengangkang atau tidak, itu bukan urusan Islam," dia menegaskan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin pun menyatakan, larangan membonceng mengangkang itu bukan bagian ajaran Islam seperti yang dimaui Wali Kota Lhokseumawe. Din menyarankan Wali Kota Lhokseumawe meninjau kembali peraturan itu. Sebab, nilai dan norma yang berkembang di masyarakat kini telah berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
"Islam tak melarang seperti itu. Islam melarang membuka aurat. Asal menutup aurat, mau mengangkang atau tidak, itu bukan urusan Islam," dia menegaskan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin pun menyatakan, larangan membonceng mengangkang itu bukan bagian ajaran Islam seperti yang dimaui Wali Kota Lhokseumawe. Din menyarankan Wali Kota Lhokseumawe meninjau kembali peraturan itu. Sebab, nilai dan norma yang berkembang di masyarakat kini telah berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Din mengatakan, sesuatu yang dulu dianggap tak sopan, bisa jadi kini sudah tak lagi. Begitu juga sebaliknya. "Apakah sekarang perempuan yang duduknya tidak mengangkang dianggap etis, atau tidak etis, saya tidak tahu. Tetapi, marilah kita melihat kehidupan modern mengalami perubahan," ujar Din.
No comments:
Post a Comment