Sunday, 24 February 2013

Anas Urbaningrum, dari Harrier Hingga Monas

Title #2
Drama seputar status Anas Urbaningrum berakhir dengan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Umum Partai Demokrat itu sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek Hambalang, Bogor. Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, meneken surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Ketua Umum Partai Demokrat itu.

Juru Bicara KPK, Johan Budi, mengungkapkan, Anas diduga menerima sesuatu yang berkaitan dengan jabatannya saat menjadi anggota DPR. "Bisa benda dan uang," kata Johan dalam konferensi pers di kantor KPK, Jumat malam, 22 Februari 2013.

KPK pun menjerat Anas dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai informasi, "pemberian" dalam Pasal 12 huruf a UU ini mencakup arti yang luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Saat ditanya apakah Anas dijerat kasus korupsi terkait mobil Toyota Harrier, Johan tak mau menjawab. "Saya tidak bicara materi," katanya.

Selain menetapkan tersangka, KPK juga mencegah Anas ke luar negeri untuk kepentingan penyidikan. Terhitung mulai 22 Februari, Anas dilarang bepergian ke luar negeri selama enam bulan.

Dalam kesempatan itu, Johan menampik penetapan Anas ini bermuatan politik atau atas desakan dari orang-orang tertentu. Dalam mengusut kasus, imbuhnya, KPK tidak mengarah dan mentargetkan seseorang jadi tersangka. "Semua tergantung alat bukti. Penanganan kasus ini tidak ada kaitannya dengan partai atau urusan politik."

Kenapa baru sekarang menetapkan Anas sebagai tersangka? "Karena baru sekarang kami menemukan yang disebut dua alat bukti yang cukup itu. Ini bukan karena pesanan, bukan karena intervensi."

Usai penetapan Anas sebagai tersangka, pengacara merapatkan barisan. Salah satu pengacara Anas, Firman Wijaya, langsung meluncur ke kediaman Anas di Duren Sawit, Jakarta Timur, Jumat malam. "Kami berkoordinasi dulu. Belum bisa memberikan komentar," kata Firman.
Namun, Firman sempat menyampaikan kekecewaannya pada KPK yang menetapkan kliennya sebagai tersangka. "Ada situasi abnormal dalam penegakan hukum di Indonesia," kata dia.
Dia menilai harusnya KPK menyelesaikan kasus beredarnya dokumen draf sprindik yang mencantumkan Anas sebagai tersangka. "Harusnya itu diselesaikan dulu," tegasnya.
Sabtu siang, Anas akan memberi keterangan pers seputar status hukumnya tersebut di kantor DPP Partai Demokrat.
Keterangan Anas ini akan sangat ditunggu tak hanya wartawan, tapi juga kader Demokrat. Seperti diketahui, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan semua kader, termasuk ketua umum, meneken Pakta Integritas.
Dalam pakta itu, poin kedelapan: Saya sebagai tersangka, terdakwa atau terpidana saya bersedia mengundurkan diri dan siap menerima sanksi pemecatan dari dewan kehormatan partai.
Janji Gantung di Monas Jauh sebelum kasus ini naik ke penyidikan, Anas pernah sesumbar siap digantung di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, jika terbukti menerima uang dari proyek Hambalang.

"Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di monas (monumen nasional)," tegas Anas, Jumat 9 Maret 2012.
Pernyataan ini muncul setelah mantan rekan sejawatnya di Demokrat, Muhammad Nazaruddin, bertubi-tubi menuding Anas menerima uang dari proyek Hambalang.

Saat itu, Anas menegaskan, pernyataan Nazaruddin adalah fitnah yang sengaja dibuat untuk menjatuhkannya.

Janji ini pernah ditanyakan kembali oleh wartawan saat Anas menghadiri acara donor darah dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) di kantor Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Timur, Rabu 20 Februari lalu. Anas enggan menjawab lebih banyak soal ini. "Sampeyan tulis apa saja boleh kalau itu."

Saat kembali didesak wartawan, Anas menjawab, "Sekarang saya tanya balik, memang sampeyan ada harapan itu?"

"Tidak," kata wartawan. "Ya udah itu jawaban saya," imbuh Anas.

Nyanyian Nazaruddin

Sejak dikejar KPK pada 2011 lalu, Nazaruddin terus "bernyanyi" mengenai keterlibatan Anas dalam megaproyek Hambalang bernilai Rp2,5 triliun. Menurut Nazar, Anas lah yang mengatur proyek tersebut.
Hingga ditangkap dan diadili di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Nazar konsisten dengan nyanyiannya. Tak hanya itu, Nazar pun menuding Anas menerima Rp100 miliar dari proyek Pusat Pendidikan Latihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) itu.
Sejumlah Rp50 miliar dari duit itu, kata Nazaruddin, dipakai untuk pemenangan Anas di Kongres 2010. Juga membayar Tim Konsultan Anas sebagai calon Presiden. Dana dari Hambalang dan proyek Wisma Atlet itulah, kata Nazar, yang digunakan Anas membeli suara di kongres Bandung.
Tak hanya itu, Nazaruddin pun menyerang Anas dengan sangkaan gratifikasi. Kasus ini yang sempat mencuat beberapa waktu lalu saat draf sprindik Anas yang belum resmi, beredar di tangan wartawan.
Kasus gratifikasi yang menjerat Anas itu diduga adalah pemberian mobil Toyota Harrier dari mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Mobil itu diduga diberikan Nazaruddin pada tahun 2009, saat Anas masih duduk di DPR. Pemberian mobil senilai Rp650 juta ini pernah diungkapkan oleh pengacara Nazaruddin, OC Kaligis.

Anas semula membantah tudingan pemberian Toyota Harrier ini. Dia membantah bahwa mobil mewah berpelat nomor B 15 AUD itu miliknya. Namun, Polda Metro Jaya memastikan mobil tersebut merupakan mobil Anas Urbaningrum. Belakangan, saat dicecar wartawan terkait pemberian mobil tersebut, Anas justru bertanya, "Apa salahnya?".
Dalam jumpa pers, 19 Februari lalu, pengacara menegaskan, mobil Harrier itu dibeli tunai dengan uang Anas. Dan, dibeli dari Nazaruddin.
"Kepemilikan mobil Harrier oleh Anas merupakan transaksi jual-beli biasa. Sebagai pembeli, Anas menunjukkan itikad baik dengan membayar uang muka dan angsuran sesuai kesepakatan," kata Firman di Jakarta, Selasa, 19 Februaro 2013.

Firman merinci, pembelian mobil Harrier oleh kliennya dimulai dari pembayaran uang muka dan cicilan pertama sebesar Rp200 juta pada Agustus 2009. Lalu, cicilan kedua sebesar Rp75 juta pada Februari 2010.

Pada akhir Mei 2010, setelah Kongres Partai Demokrat di Bandung, Anas mendapat pertanyaan dari rekan sejawat dan mendengar kabar bahwa mobil Harrier tersebut adalah pemberian Nazaruddin kepada Anas. Anas memutuskan untuk mengembalikan mobil itu kepada Nazaruddin.
Namun, saat itu Nazar menolak dengan alasan rumahnya sudah penuh dengan mobil dan tak ada tempat lagi. Akhirnya, Nazar minta agar mobil dijual saja untuk dikembalikan dalam bentuk uang.

Pada Juli 2010, Anas meminta Nurachmad, Staf Ahli Anas di DPR RI, untuk menjual mobil itu. Mobil djual ke showroom di Kemayoran seharga Rp500 juta. Lalu, uang hasil penjualan mobil itu diserahkan kepada Nazaruddin melalui ajudannya bernama Iwan pada 17 Juli 2010. "Atas inisiatif Nurachmad, dibuat tanda terima yang ditandatangani oleh Iwan sebagai bukti serah-terima," terang Firman.

No comments:

Post a Comment