Friday, 8 March 2013

Mengapa Harga Properti RI Terus Meroket

Harga properti di Jakarta dan Bali meroket tertinggi di dunia sepanjang 2012.
Krisis ekonomi yang menimpa Eropa berimbas positif ke kawasan Asia Pasifik. Tidak hanya mendorong investasi masuk, namun juga meningkatkan harga properti di Asia Pasifik.

Konsultan properti mewah asal London, Knight Frank, dalam "The Wealth Report 2013" yang dikutip VIVAnews, Jumat 8 Maret 2013 menunjukkan dua kota di Indonesia, Jakarta dan Bali, tercatat mengalami kenaikan harga properti paling tinggi sepanjang 2012.

Harga properti di Jakarta melonjak 38 persen dan harga properti di Bali naik 21 persen sepanjang 2012. Lonjakan harga properti di dua kota Indonesia itu mengalahkan berbagai kota-kota elite lainnya seperti Dubai yang melonjak 20 persen, Miami meningkat 19,5 persen, dan Sao Paulo yang naik 14 persen.

Namun, harga rata-rata properti di Jakarta dan Bali masih kalah dibandingkan kota-kota tetangga. Seperti harga rata-rata properti di Singapura mencapai US$25.200-27.800 per meter persegi.

"Sedangkan harga rata-rata properti di Jakarta dan Bali masih kalah jauh dibandingkan Singapura dan Kuala Lumpur," kata Senior Manager Research Knight Frank Indonesia, Hasan Pamudji, saat dihubungi VIVAnews.

Hasan menjelaskan penyebab pertama adalah terbatasnya suplai tanah di Jakarta dan Bali, sedangkan permintaan untuk bangunan properti baru sangat tinggi. Ia menjelaskan tanah di Jakarta sudah sangat terbatas, khususnya daerah elit.

Sedangkan permintaan akan rumah baru di daerah-daerah elit seperti  Kelapa Gading, Pondok Indah, Menteng, kawasan jalan Brawijaya, dan jalan Sriwijaya sangat tinggi. Sedangkan meroketnya harga properti di Bali didorong oleh tingginya harga properti jenis villa, yang disediakan khusus untuk turis.

"Kita lihat tanah masih ada yang kosong namun terbatas karena tidak bisa dikembangkan dan tidak digunakan. Ini membuat harga tanah menjadi mahal di tengah permintaan tinggi," katanya.

Pertumbuhan kawasan elit, katanya, tidak seimbang dengan tumbuhnya kelas menengah Indonesia yang subur. Jumlah orang kaya Indonesia diperkirakan berlipat pada 2020 mendatang. "Daerah elit sudah padat, tidak bisa dikembangkan lagi," katanya.
Mendorong gelembung?
Tingginya lonjakan harga properti di Indonesia tentu mengkhawatirkan sejumlah pihak akan terjadinya gelembung (bubble) properti di Indonesia. Dikhawatirkan, jika gelembung properti tersebut pecah dapat memunculkan krisis ekonomi seperti 1997 silam akibat kredit macet.

Kajian Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia terakhir, yang dikutipVIVAnews, menjelaskan bubble property atau penggelembungan properti adalah keadaan di mana terjadi kenaikan harga properti secara tidak wajar. Kewajaran dari peningkatan harga berlaku secara bertahap seiring dengan meningkatnya tingkat inflasi atau pendapatan.

Jika cepatnya pergerakan harga terus dibiarkan, akan terjadi pecahnya kondisi "Bubble Property" yang menjadikan harga-harga properti jatuh diikuti dengan ambruknya ekonomi secara menyeluruh sehingga akan menimbulkan masalah nasional berupa resesi ekonomi.

Salah satu pemicu bubble adalah derasnya aliran modal masuk dari luar negeri, yang akan menjadikan Indonesia kelimpahan akan dana. Kelimpahan modal ini yang merupakan suatu peluang bagi para pelaku investasi, sedangkan investasi yang paling cepat daya serapnya adalah industri properti baik residensial maupun komersial.

Kemungkinan terjadinya bubble property di Indonesia perlu menjadi perhatian bagi seluruh pihak terkait, guna menghindari terjadinya over supply dan penyaluran kredit yang terlalu massif pada industri properti yang dapat berakibat krisis yang terjadi di tahun 1997.

Hasil kajian Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) Bank Indonesia pada Triwulan I-2011 menunjukkan pemberian kredit properti oleh perbankan juga tergolong kecil yakni sekitar 14 persen dari total kredit perbankan.

Kondisi ini berbeda sebelum krisis ekonomi 1997/1998 yang porsi kredit propertinya mencapai 20 persen. Perbankan nasional saat ini cukup selektif dalam memberikan kredit properti untuk mengantisipasi kredit macet seperti yang terjadi pada 1997/1998.

"Secara umum belum dapat disimpulkan telah terjadi bubble pada harga properti di Indonesia," kesimpulan hasil kajian DPNP.

Selain itu, Bank Indonesia juga telah mengeluarkan kebijakan untuk mencegah terjadinyabubble harga properti. Bank Indonesia pada Maret 2012 lalu menetapkan loan to value (LTV) bank dalam memberikan kredit sebesar 70 persen bagi rumah tipe 70 ke atas.

Nasabah yang mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR) untuk rumah tipe 70 ke atas harus menyediakan uang muka (down payment) sebesar 30 persen. Menteri Keuangan, Agus Martowardojo waktu itu menjelaskan kenaikan uang muka ini untuk menyeleksi debitur yang sehat.

Senior Manager Research Knight Frank Indonesia, Hasan Pamudji juga berpandangan sama. Walaupun harga properti di Jakarta dan Bali meroket, ia memprediksi pasar properti di Indonesia belum mendekati bubble, karena pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2013 ini masih positif. Berbagai pengamat memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh di atas enam persen.

Hasan menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat ini memberikan multiplier effect, salah satunya adalah tumbuhnya kelas menengah di Indonesia. Hal ini menyebabkan semakin banyak masyarakat Indonesia yang membutuhkan hunian juga ikut meningkat.

"Harga properti di Indonesia tergantung ekonomi Indonesia. Ekonomi berkembang maka bisnis properti masih bagus," ujarnya.

Selain itu, walaupun harga properti di Indonesia meroket tinggi, namun harganya masih kalah jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Kuala Lumpur dan Singapura.

No comments:

Post a Comment