Bahkan, Pemilu 9 April
lalu mulai menunjukkan siapa-siapa saja politikus, yang selama ini
menguasai Senayan, harus tersingkir. Ini dialami para politisi dari
Partai Demokrat, yang perolehan suaranya anjlok.
Ada pula ironi yang
dialami politisi top dari "kubu pemenang" Pemilu Legislatif, Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Walau sudah keluar modal lebih
dari semiliar, dia sudah pasrah bakal tergusur dari DPR karena perolehan
suara partainya tidak sebesar yang ditargetkan.
Tidak hanya mereka, para
petahana (incumbent) dari partai-partai lain juga terancam harus angkat
kaki dari DPR maupun DPRD karena raihan suara yang minim. Nama-nama
beken dari Golkar, PKS, dan Hanura pun harap-harap cemas soal posisi
mereka di DPR.
Hitung cepat (quick
count) versi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network menempatkan PDI
Perjuangan unggul dalam perolehan suara pemilihan legislatif dengan
19,77 persen, dibayangi Golkar di urutan kedua dengan 14,61 persen dan
di posisi ketiga Partai Gerindra dengan perolehan suara 11,80 persen.
Selanjutnya diikuti Partai Demokrat 9,73 persen, PKB 9,07 persen, PAN 7,47 persen, PPP 7,08 persen, PKS 6,61 persen, Nasdem 6,24 persen, Hanura 5,26 persen, PBB 1,36 persen, dan PKPI 0,97 persen.
Sementara itu, menurut hasil hitung cepat Saiful Mujani Research and Consulting (SRMC), PDIP mendapat 18,9 persen, Golkar 14,88 persen, Gerindra 11,93 persen, Demokrat 10,02 persen, PKB 9,08 persen, PAN 7,7 persen, PKS 6,9 persen, PPP 6,3 persen, Nasdem 6,6 persen, Hanura 5,2 persen, PBB 1,4 persen dan PKPI 1,0 persen.
Dari perolehan suara itu, SRMC memprediksi PDIP akan memperoleh jatah paling sedikit 105 kursi dan paling banyak 117 kursi di DPR. Disusul Golkar 85-97 kursi, Gerindra 69-78 kursi, Demokrat 57-68 kursi, PKB 42-52 kursi, PAN 38-48 kursi, PKS 35-45 kursi, Nasdem 31-34 kursi, PPP 27 kursi, Hanura 16-27 kursi, PBB 0 kursi dan PKPI 0 kursi.
Selanjutnya diikuti Partai Demokrat 9,73 persen, PKB 9,07 persen, PAN 7,47 persen, PPP 7,08 persen, PKS 6,61 persen, Nasdem 6,24 persen, Hanura 5,26 persen, PBB 1,36 persen, dan PKPI 0,97 persen.
Sementara itu, menurut hasil hitung cepat Saiful Mujani Research and Consulting (SRMC), PDIP mendapat 18,9 persen, Golkar 14,88 persen, Gerindra 11,93 persen, Demokrat 10,02 persen, PKB 9,08 persen, PAN 7,7 persen, PKS 6,9 persen, PPP 6,3 persen, Nasdem 6,6 persen, Hanura 5,2 persen, PBB 1,4 persen dan PKPI 1,0 persen.
Dari perolehan suara itu, SRMC memprediksi PDIP akan memperoleh jatah paling sedikit 105 kursi dan paling banyak 117 kursi di DPR. Disusul Golkar 85-97 kursi, Gerindra 69-78 kursi, Demokrat 57-68 kursi, PKB 42-52 kursi, PAN 38-48 kursi, PKS 35-45 kursi, Nasdem 31-34 kursi, PPP 27 kursi, Hanura 16-27 kursi, PBB 0 kursi dan PKPI 0 kursi.
Modal Banyak
Meski PDIP menjadi
pemenang pileg versi hasil hitung cepat, tidak menjamin Eva Kusuma
Sundari kembali lolos ke parlemen. Politikus PDIP yang kini duduk di
Komisi III DPR RI itu kembali maju menjadi caleg DPR RI untuk daerah
pemilihan Jawa Timur VI dengan nomor urut 3. Di dapilnya Eva bersaing
dengan rekan separtainya, seperti Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung dan
mantan Bupati Blitar Djarot Saiful Hidayat.
"Peluang saya kecil. Saya duga karena serangan fajar," kata Eva saat dihubungi VIVAnews, Kamis 17 April 2014.
Eva mengaku sudah menghabiskan uang kampanye sekitar Rp1,5 miliar. Uang tersebut dia rogoh dari koceknya sendiri dengan cara yang lurus, dan bukan hutang. Dia mendapat informasi, sejumlah caleg bahkan harus menggelontorkan uang hingga Rp10 miliar untuk biaya kampanye.
"Kampanye lurus itu maksudnya benar-benar ke lapangan dan bertemu dengan pemilih, bukan hanya tim sukses," kata dia. Eva mengaku sudah turun ke dapilnya, Jawa Timur VI, sejak 6 bulan sebelum pemilu untuk bertemu dengan calon pemilih di Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Blitar. S
Anggota Komisi Hukum DPR ini pun menyampaikan kemungkinannya kembali ke Senayan sangat kecil. Eva trauma suaranya hancur setelah ada caleg yang siram uang ke pemilih menjelang penyoblosan, 9 April lalu.
Meski begitu, Eva tak mau menyalahkan calon pemilih yang lebih tertarik pada uang, ketimbang janji dan kontrak politik selama lima tahun. "Saya menyalahkan sistem pemilu kita. Saat Pemilu 2004, tidak parah begini," ujarnya.
Menurutnya, sistem Pemilu 2009 dan 2014 mengubah tingkah laku partai politik, caleg, dan pemilih. Saat ini, caleg yang populer dan banyak uanglah yang bisa memenangkan pertarungan. "Partai politik pun akhirnya mencari pengusaha dan artis yang tingkat keterpilihannya tinggi," terang Eva.
Setali tiga uang, rekan Eva di Komisi III dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ahmad Yani juga terancam tergusur dari kursi dewan. Yani yang merupakan caleg PPP nomor urut 1 dapil Sumatera Selatan 1 itu masih optimis bisa kembali merebut kursi parlemen. Dia mengklaim ada di posisi keempat dari 8 kursi yang diperebutkan.
"Cuma saya merasakan betul pemilu ini dibanding dulu. Transaksinya luar biasa. Belum siap demokrasi langsung," kata Yani
Yani mengaku masih menemukan banyak pelanggaran jelang pencoblosan 9 April lalu. Diantaranya manipulasi suara, mobilisasi massa yang dilakukan oleh oknum pejabat pemda sampai politik uang. Bahkan politikus yang dikenal vokal itu berniat mundur sebagai anggota DPR RI bila proses pemilu dilakukan dengan cara-cara kotor.
"Kita tidak bisa mendapat anggota yang baik kalau dalam suasana seperti sekarang ini. Bahkan saya yakin tingkat korupsi semakin meningkat dibandingkan 2009. Saya meyakinkan betul, karena mereka harus mengembalikan uang. Nggak ada demokrasi, mabokrasi kita ini. Penyelenggara pemilunya juga kacau," paparnya.
Sementara itu, dua politisi Golkar, Nudirman Munir dan Tantowi Yahya masih optimistis bisa kembali melenggang ke Senayan. Nudirman yang maju sebagai caleg Golkar dari dapil Sumatera Barat II nomor urut 2 itu mengakui perolehan suaranya tahun 2014 ini tidak signifikan seperti tahun 2009 lalu. Bahkan di beberapa daerah yang semula menjadi lumbung suaranya justru kini berimbang.
"Saya melihat di tempat-tempat tertentu menang, tidak terpengaruh. Ada yang menang ada yang kalah. Di Cikariang (Kab Agam) itu saya menang, di Kab Pasaman tadinya saya menang sekarang fifty-fifty," ujar Nudirman.
Anggota Komisi III DPR itu menyesalkan masih terjadinya politik uang yang dilakukan secara masif dan terang-terangan. Dia khawatir orang-orang yang terpilih di parlemen nanti, adalah mereka yang dipilih karena uang dan popularitasnya semata, bukan karena kualitasnya. Meski begitu, mantan Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR itu pasrah dengan pilihan rakyat.
"Ya kalau gagal mau ngapain kita sudah berusaha, kita serahkan Allah SWT. Mau ngotot bukan zamannya lagi, kita minta ke Mabes Polri untuk bertindak bila ada kecurangan. Itu aja harapan kita kedepan," ujarnya.
Adapun Tantowi Yahya, caleg Golkar nomor urut satu yang maju dari Dapil III DKI Jakarta yang meliputi, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Kepulauan Seribu sangat yakin perolehan suaranya saat ini paling tinggi dibandingkan caleg Partai Golkar lainnya.
"Perolehan suara saya tertinggi dibanding teman-teman caleg Golkar," kata Tantowi, Kamis 17 April 2014. Di dapil ini, kursi DPR RI yang diperebutkan sebanyak 8 kursi.
Anggota Komisi 1 DPR itu mengaku sudah melakukan sosialisasi sejak lama. Dengan popularitasnya saat ini, ditambah intensitasnya dalam menyosialisasikan diri, Tantowi yakin akan dipilih masyarakat.
"Modal saya kan populer. Saya turun ke masyarakat jauh lebih lama dibanding teman sesama partai. Bahkan lebih lama dari caleg manapun. Saya punya jaringan. Di Jakarta Barat, di Jakarta Utara, mesin saya kuat," Tantowi menjelaskan.
Caleg Demokrat Berguguran
Dari 10 partai yang lolos ambang batas parlemen, Partai Demokrat lah yang paling banyak kehilangan kursi di DPR. Dengan perolehan suara yang sekitar 9-10 persen versi hitung cepat, partai berlambang mercy itu diprediksi hanya memperoleh 57-68 kursi di parlemen. Jatah tersebut menurun drastis dari perolehan kursi Demokrat pada pemilu 2009 lalu sebanyak 148 kursi.
Sejumlah nama politikus beken Demokrat terancam tidak akan lolos ke Senayan. Bahkan sesama caleg Demokrat harus bertarung untuk mendapatkan satu kursi tersisa untuk tetap eksis di Senayan. Diantara nama-nama beken politikus Demokrat yang gagal kembali duduk di DPR adalah Ketua DPR RI Marzuki Alie, Ketua Komisi VII Sutan Bhatoegana, Anggota Komisi III Ruhut Sitompul, Anggota Komisi II Ramadhan Pohan dan Wakil Ketua Komisi IX Nova Riyanti Yusuf.
Dihubungi VIVAnews, Marzuki Alie mengaku sudah menduga sejak awal bahwa perolehan suaranya pada pileg tahun 2014 akan anjlok. Penyebabnya kata Marzuki karena memang dia tidak berkampanye di daerah pemilihannya, yakni dapil DKI Jakarta III.
"Saya kan fokusnya menaikkan suara Partai Demokrat, jadi keliling seluruh Indonesia. Saya tidak mengurusi dapil saya sendiri," kata Marzuki yang ditempatkan Demokrat di nomor urut 1 itu. Sehingga, dia sudah menduga tidak lolos ke Senayan.
Marzuki mengaku tak punya pilihan karena kondisi Partai Demokrat di mata publik sedang hancur. "Demokrat kan sedang di-bully media karena kasus korupsi. Saya tidak bisa hanya memikirkan pribadi saya," imbuhnya.
Lagi pula, Marzuki mengaku pernah mengatakan kepada pers bahwa dia memang tidak akan melaju ke Senayan lagi.
Dapil III DKI Jakarta yang disebut dapil neraka itu melingkupi Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Kepulauan Seribu. Di sini sejumlah pesohor memperebutkan suara. Antara lain: Farhat Abbas (Demokrat), politisi PPP Achmad Dimyati Natakusumah, Nashrullah alias Matsolar (PPP), dan pengacara TPM Poso, Nurlan (PPP).
Lain halnya dengan Marzuki Alie, Ruhut Sitompul justru sudah punya ancang-ancang bila tak lagi terpilih sebagai anggota DPR RI. Ruhut yang maju dari dapil Sumatera Utara 1 itu mengatakan, jika calon presiden yang didukung oleh partainya menang pada pemilihan presiden dan wakil presiden, maka dia akan mendapat kursi jaksa agung.
"Siapa tahu presiden yang kami dukung menang, nanti aku jadi jaksa agung atau menteri hukum dan HAM, lebih keren mana. Jadi harus begitu cara berpikirnya," ujar Ruhut berseloroh.
Tapi politikus Partai Demokrat itu masih optimistis bisa melenggang ke Senayan pada periode 2014-2019. Anggota Komisi Hukum itu mengklaim mendapatkan suara tertinggi dibanding dua koleganya di Demokrat Sutan Bhatoegana dan Ramadhan Pohan. Ruhut, Sutan, dan Ramadhan Pohan sama-sama maju dari daerah pemilihan Sumatera Utara I.
"Sampai sekarang bagus, masih aku yang tertinggi. Ada sekitar 20 ribu suara, kan belum masuk semua, tapi aku yang paling tinggi. Di Dapil aku hampir di semua TPS (tempat pemungutan suara) aku yang pimpin," ujar Ruhut, Kamis, 17 April 2014.
Kolega Ruhut yang juga satu dapil Sumut 1, Sutan Bhatoegana jatuh bangun mempertahankan suaranya untuk bisa eksis di DPR. Meski harus bertarung dengan Ruhut dan Ramadhan Pohan untuk memperebutkan satu kursi ke Senayan, Ketua Komisi VII DPR RI itu tetap optimistis.
"Begini, yang saya investigasi laporan perolehan Demokrat turun. Tapi kalau dilihat capaian orang per orang mestinya saya teratas," kata Sutan.
Sutan menduga ada permainan dalam pengambilan suara di dapilnya. Dia mengaku sudah menurunkan tim untuk melakukan investigasi dan telah menemukan barang bukti terkait adanya praktik curang itu. "Menurut tim saya, suara saya besar. Mudah-mudahan dalam dua hari ini sudah selesai (hasil investigasi tim)," ujarnya.
Ketua DPP Demokrat itu juga tidak khawatir bila tak lagi duduk di Senayan. Baginya, siapapun bisa menjadi anggota dewan yang terhormat, asalkan jujur, bersih dan amanah. "Saya nggak takut. Saya ini pengusaha, kembali jadi pengusaha nggak masalah," kata dia.
No comments:
Post a Comment