Selasa pagi, 29 Maret 2011, Irzen Octa tak punya firasat apa pun. Dia pamit kepada istrinya pergi ke kantor. Segar bugar, pagi itu Octa meninggalkan rumahnya di kawasan Perumahan Budi Indah, Tangerang, Banten.
Sang istri, Esi Ronaldi, juga melepas suaminya dengan enteng meski baru sehari sebelumnya ada peristiwa yang mengusik hatinya. Dua lelaki berbadan tegap berwajah sangar datang ke rumahnya mencari Octa. Yang dicari ketika itu tak ada di tempat.
"Kalau ada waktu, nanti aku temui di kantornya saja," Esi menirukan Octa saat berpamitan.
Dan setelah itu, suami Esi yang adalah juga Sekretaris Jenderal Partai Pemersatu Bangsa, tak lagi pernah pulang ke rumah.
***
Sang istri, Esi Ronaldi, juga melepas suaminya dengan enteng meski baru sehari sebelumnya ada peristiwa yang mengusik hatinya. Dua lelaki berbadan tegap berwajah sangar datang ke rumahnya mencari Octa. Yang dicari ketika itu tak ada di tempat.
"Kalau ada waktu, nanti aku temui di kantornya saja," Esi menirukan Octa saat berpamitan.
Dan setelah itu, suami Esi yang adalah juga Sekretaris Jenderal Partai Pemersatu Bangsa, tak lagi pernah pulang ke rumah.
***
Siang itu juga, sekitar pukul 10.08 WIB, Octa mendatangi kantor kedua tamu tadi. Letaknya di lantai lima, Menara Jamsostek, Jl. Gatot Subroto, Jakarta. Ini tak lain adalah kantor Citibank Cabang Menara Jamsostek. Di situ, kepada petugas sekuriti Octa minta bertemu Boy Yanto Tambunan, salah satu tamu itu yang rupanya adalah karyawan outsourcing Citibank. Tak berapa lama menunggu, mereka bertemu.
Tujuan Octa sudah pasti. Dia ingin mengklarifikasi tagihan kartu kreditnya yang membengkak. Dalam versi Octa, utangnya hanya Rp60 juta, namun bank asal Amerika Serikat ini menagih Rp100 juta.
Pukul 11.20 WIB, Octa dibawa ke Ruang Cleo. Ini rupanya bukan sembarang ruangan. Ini adalah salah satu ruang interogasi bagi nasabah yang tagihannya masuk kategori lampu kuning, atau bahkan merah.
Begitu dia masuk, di dalam sudah ada tiga juru tagih lain. Semua sangar. Mereka adalah Aries Lukman, Donald, dan Hendry. Atas perintah Boy, ketiganya menginterogasi secara bergantian.
Tak puas mendengar penjelasan Octa, Aries marah. Dia menggebrak meja. Saat itu juga Donald menendang dan memukul Octa. Tak berapa lama kemudian, Octa merintih kesakitan. Kepalanya sakit. Tapi tetap saja, ketiganya membentak-bentak.
Pukul 12.10 WIB, dua karyawan di kantor itu, Nur Apriliani dan Rosdianah, melihat kejadian itu dari luar ruangan. "Octa sudah tergeletak di lantai," kata Apriliani, seperti ditirukan Kapolres Jakarta Selatan, Komisaris Besar Gatot Edi Pramono. "Kaki terbujur dan mulut mengeluarkan busa."
Diberi tahu Apriliani, Aries malah tertawa. Beberapa saat kemudian, Aries mengambil telepon genggam Octa dan menghubungi Tubagus, teman korban. Hingga Tubagus datang, sekitar pukul 13.35, Octa masih tergeletak di lantai Ruang Cleo. Baru setelah itu, dia dilarikan ke Rumah Sakit TNI AL Mintohardjo, Bendungan Hilir. Diperiksa dokter, Octa sudah tak bernyawa.
Jazad Octa langsung dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk diotopsi. Hasilnya sangat mengejutkan. Kematian Octa disimpulkan akibat pecahnya pembuluh darah otak. Di jazadnya juga ditemukan tanda-tanda mati lemas kekurangan oksigen. Selain itu juga ada berbagai kejanggalan lain, seperti lebam pada bagian belakang tubuh, rahang yang kaku, luka lecet pada sekat hidung, kedua lubang hidung mengeluarkan darah, dan tubuh kebiru-biruan.
"Pada mayat laki-laki berusia 50 tahun ini ditemukan luka bekas kekerasan benda tumpul," dinyatakan dokter forensik dr. Ade Firmansyah dalam dokumen otopsi.
***
Utang tetap utang. Utang adalah kewajiban yang harus dilunasi, apa pun keadaannya. Begitu kira-kira prinsip Hercules—jagoan penguasa Tanah Abang era 80-an dan pemilik usaha penagihan. Buat dia, orang yang tak bayar utang seperti Octa sama saja dengan penipu. "Matilah si tukang tipu," kata dia kepada Edy Haryadi dari VIVAnews. "Ini bahasa saya."
Di mata Hercules, kematian seringkali menjadi resiko tak terelakkan dari bisnis penagihan utang. Sebagai debt collector, dalam keadaan tertentu, bila tak membunuh, ya mereka yang dibunuh. Hercules tak setuju bila polisi melindungi pengutang.
"Saat saya ditagih utang, apa betul bila saya minta perlindungan polisi? Kan tidak. Ini urusan saya harus bayar utang." Selagi debt collector tak menyentuh nasabah, menurutnya tak bisa polisi turun tangan. "Kalau boleh seperti itu, saya akan utang banyak-banyak. Habis itu, kalau ada orang menagih, saya minta perlindungan polisi," katanya.
Hercules bercerita kenapa juru tagih utang bisa sampai membunuh. Dia mencontohkan saat menagih utang di kawasan Kemang, Jakarta, pada 2001 silam. Dia dan anak buahnya beberapa kali mendatangi nasabah yang berutang. Namun, tagihan tak dilunasi juga. Lama-kelamaan, si pengutang yang justru petantang-petenteng menggunakan bantuan preman.
Tujuan Octa sudah pasti. Dia ingin mengklarifikasi tagihan kartu kreditnya yang membengkak. Dalam versi Octa, utangnya hanya Rp60 juta, namun bank asal Amerika Serikat ini menagih Rp100 juta.
Pukul 11.20 WIB, Octa dibawa ke Ruang Cleo. Ini rupanya bukan sembarang ruangan. Ini adalah salah satu ruang interogasi bagi nasabah yang tagihannya masuk kategori lampu kuning, atau bahkan merah.
Begitu dia masuk, di dalam sudah ada tiga juru tagih lain. Semua sangar. Mereka adalah Aries Lukman, Donald, dan Hendry. Atas perintah Boy, ketiganya menginterogasi secara bergantian.
Tak puas mendengar penjelasan Octa, Aries marah. Dia menggebrak meja. Saat itu juga Donald menendang dan memukul Octa. Tak berapa lama kemudian, Octa merintih kesakitan. Kepalanya sakit. Tapi tetap saja, ketiganya membentak-bentak.
Pukul 12.10 WIB, dua karyawan di kantor itu, Nur Apriliani dan Rosdianah, melihat kejadian itu dari luar ruangan. "Octa sudah tergeletak di lantai," kata Apriliani, seperti ditirukan Kapolres Jakarta Selatan, Komisaris Besar Gatot Edi Pramono. "Kaki terbujur dan mulut mengeluarkan busa."
Diberi tahu Apriliani, Aries malah tertawa. Beberapa saat kemudian, Aries mengambil telepon genggam Octa dan menghubungi Tubagus, teman korban. Hingga Tubagus datang, sekitar pukul 13.35, Octa masih tergeletak di lantai Ruang Cleo. Baru setelah itu, dia dilarikan ke Rumah Sakit TNI AL Mintohardjo, Bendungan Hilir. Diperiksa dokter, Octa sudah tak bernyawa.
Jazad Octa langsung dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk diotopsi. Hasilnya sangat mengejutkan. Kematian Octa disimpulkan akibat pecahnya pembuluh darah otak. Di jazadnya juga ditemukan tanda-tanda mati lemas kekurangan oksigen. Selain itu juga ada berbagai kejanggalan lain, seperti lebam pada bagian belakang tubuh, rahang yang kaku, luka lecet pada sekat hidung, kedua lubang hidung mengeluarkan darah, dan tubuh kebiru-biruan.
"Pada mayat laki-laki berusia 50 tahun ini ditemukan luka bekas kekerasan benda tumpul," dinyatakan dokter forensik dr. Ade Firmansyah dalam dokumen otopsi.
***
Utang tetap utang. Utang adalah kewajiban yang harus dilunasi, apa pun keadaannya. Begitu kira-kira prinsip Hercules—jagoan penguasa Tanah Abang era 80-an dan pemilik usaha penagihan. Buat dia, orang yang tak bayar utang seperti Octa sama saja dengan penipu. "Matilah si tukang tipu," kata dia kepada Edy Haryadi dari VIVAnews. "Ini bahasa saya."
Di mata Hercules, kematian seringkali menjadi resiko tak terelakkan dari bisnis penagihan utang. Sebagai debt collector, dalam keadaan tertentu, bila tak membunuh, ya mereka yang dibunuh. Hercules tak setuju bila polisi melindungi pengutang.
"Saat saya ditagih utang, apa betul bila saya minta perlindungan polisi? Kan tidak. Ini urusan saya harus bayar utang." Selagi debt collector tak menyentuh nasabah, menurutnya tak bisa polisi turun tangan. "Kalau boleh seperti itu, saya akan utang banyak-banyak. Habis itu, kalau ada orang menagih, saya minta perlindungan polisi," katanya.
Hercules bercerita kenapa juru tagih utang bisa sampai membunuh. Dia mencontohkan saat menagih utang di kawasan Kemang, Jakarta, pada 2001 silam. Dia dan anak buahnya beberapa kali mendatangi nasabah yang berutang. Namun, tagihan tak dilunasi juga. Lama-kelamaan, si pengutang yang justru petantang-petenteng menggunakan bantuan preman.
"Kalau sudah begini kita adu kecepatan. Ternyata orang itu kalah. Kalau saya kalah cepat, orang itu yang membunuh saya," katanya. "Saat itu lawan saya mati dua, termasuk nasabah. Saya masuk rumah sakit, dapat beberapa jahitan."
Lagi dia menekankan, dalam situasi seperti itu kalau tidak membunuh, dialah yang pasti dibunuh. (Baca wawancara khusus Hercules).
Berbeda dengan penjelasan blak-blakan itu, perusahaan jasa penagihan utang di kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, membantah anggapan bahwa debt collector identik dengan‘death collector’. "Jangankan memukul, menyentuh nasabah saja tak boleh," kata Direktur PT Metro Lintas, David Ballo, di kantornya.
David menuturkan, antikekerasan adalah bagian prosedur kerja yang ditetapkan pihak bank sebagai pengguna jasa dan manajemen perusahaan sebagai agen penagih. Perusahaan pun diaudit berkala, memastikan prosedur penagihan berjalan sebagaimana disepakati. "Bank akan mengaudit per enam bulan atau bahkan tiga bulan sekali," katanya.
Soalnya, penggunaan kekerasan akan mempengaruhi reputasi bank. Ini biasanya tak disukai pemakai jasa mereka. Meski demikian, David mengaku tak selamanya saat di lapangan debt collector bisa dikontrol. Tapi, dia mengatakan, perusahaan akan menindak tegas setiap anak buahnya yang menyalahi aturan. "Saat ada keluhan nasabah, langsung kami tindaklanjuti," katanya.
David menerangkan Metro Lintas memiliki kode etik yang harus dipatuhi karyawannya saat menagih. Antara lain, juru tagih harus menjaga sopan-santun saat mengunjungi nasabah. Mereka tak boleh bertamu antara pukul 21.00-06.00 WIB, dan dilarang masuk ke dalam rumah nasabah dengan menggedor pintu maupun mengancam. Saat perundingan, juru tagih juga dilarang melakukan kekerasan, seperti menteror, memukul, menampar, atau menendang nasabah dan keluarganya.
***
Debt collector punya penjelasan, nasabah punya keluhan.
Deputi Gubernur BI Budi Rochadi mengatakan selama ini BI memang kerap menerima pengaduan masyarakat. Sebagai regulator perbankan, BI biasanya memanggil bank dimaksud untuk mengatasinya. "Selama ini begitu. kami panggil bank itu, kami selesaikan," kata Budi.
Budi mengakui penggunaan jasa debt collector memang lumrah dalam perbankan nasional. Apalagi, setelah Kredit Tanpa Agunan (KTA) menjamur seperti sekarang.
Berbeda dengan penjelasan blak-blakan itu, perusahaan jasa penagihan utang di kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, membantah anggapan bahwa debt collector identik dengan‘death collector’. "Jangankan memukul, menyentuh nasabah saja tak boleh," kata Direktur PT Metro Lintas, David Ballo, di kantornya.
David menuturkan, antikekerasan adalah bagian prosedur kerja yang ditetapkan pihak bank sebagai pengguna jasa dan manajemen perusahaan sebagai agen penagih. Perusahaan pun diaudit berkala, memastikan prosedur penagihan berjalan sebagaimana disepakati. "Bank akan mengaudit per enam bulan atau bahkan tiga bulan sekali," katanya.
Soalnya, penggunaan kekerasan akan mempengaruhi reputasi bank. Ini biasanya tak disukai pemakai jasa mereka. Meski demikian, David mengaku tak selamanya saat di lapangan debt collector bisa dikontrol. Tapi, dia mengatakan, perusahaan akan menindak tegas setiap anak buahnya yang menyalahi aturan. "Saat ada keluhan nasabah, langsung kami tindaklanjuti," katanya.
David menerangkan Metro Lintas memiliki kode etik yang harus dipatuhi karyawannya saat menagih. Antara lain, juru tagih harus menjaga sopan-santun saat mengunjungi nasabah. Mereka tak boleh bertamu antara pukul 21.00-06.00 WIB, dan dilarang masuk ke dalam rumah nasabah dengan menggedor pintu maupun mengancam. Saat perundingan, juru tagih juga dilarang melakukan kekerasan, seperti menteror, memukul, menampar, atau menendang nasabah dan keluarganya.
***
Debt collector punya penjelasan, nasabah punya keluhan.
Deputi Gubernur BI Budi Rochadi mengatakan selama ini BI memang kerap menerima pengaduan masyarakat. Sebagai regulator perbankan, BI biasanya memanggil bank dimaksud untuk mengatasinya. "Selama ini begitu. kami panggil bank itu, kami selesaikan," kata Budi.
Budi mengakui penggunaan jasa debt collector memang lumrah dalam perbankan nasional. Apalagi, setelah Kredit Tanpa Agunan (KTA) menjamur seperti sekarang.
BI sendiri mengakomodasi peran debt collector dalam peraturan penagihan utang. Meski tak disebutkan eksplisit sebagai ‘debt collector’, celah itu dibukakan bank sentral melalui istilah ‘pihak ketiga’ dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) 11/11/PBI/2009 dan Surat Edaran BI (SEBI) 11/10/DASP tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.
Aturan itu menyebutkan penggunaan jasa pihak ketiga hanya bisa dilakukan jika kualitas kartu kredit masuk kategori diragukan atau macet. Cara penagihan ditetapkan tidak boleh dengan cara melanggar hukum, termasuk melakukan tindakan kriminal. Pihak ketiga juga diatur hanya bisa menagih menurut beberapa tahap.
Aturan itu menyebutkan penggunaan jasa pihak ketiga hanya bisa dilakukan jika kualitas kartu kredit masuk kategori diragukan atau macet. Cara penagihan ditetapkan tidak boleh dengan cara melanggar hukum, termasuk melakukan tindakan kriminal. Pihak ketiga juga diatur hanya bisa menagih menurut beberapa tahap.
Pertama, nasabah yang terlambat membayar harus dihubungi pegawai bank terlebih dulu. Jika nasabah masih mangkir, barulah bank menghubungi debt collector dan menyerahkan data nasabah. Setelah itu, debt collector tidak dibolehkan langsung menagih. Menurut aturan, mereka hanya boleh mendatangi rumah nasabah untuk meminta mereka datang ke kantor bank untuk menyelesaikan kewajiban. Jika ini tak jalan juga, barulah debt collectorboleh menagih dan menerima pembayaran langsung ke konsumen.
Kematian Octa membuktikan aturan itu tak jalan.
Kematian Octa membuktikan aturan itu tak jalan.
Dewan Perwakilan Rakyat pun berpikir ulang. Wakil rakyat meminta bank sentral merevisi aturan penagihan piutang oleh pihak ketiga. Setelah melalui rapat panjang pada 5-6 April, Komisi Keuangan dan Perbankan DPR merekomendasikan BI untuk melarang semua bank menggunakan jasa debt collector sampai diterbitkan peraturan baru.
Membacakan kesimpulan hasil rapat kerja dengan BI, Citibank, dan Kepolisian RI, Jumat pekan lalu, Wakil Ketua Komisi XI DPR, Ahsanul Kosasi menegaskan, "Perbankan harus melakukan penagihan langsung kepada nasabah. Tanpa melalui perantara."
Membacakan kesimpulan hasil rapat kerja dengan BI, Citibank, dan Kepolisian RI, Jumat pekan lalu, Wakil Ketua Komisi XI DPR, Ahsanul Kosasi menegaskan, "Perbankan harus melakukan penagihan langsung kepada nasabah. Tanpa melalui perantara."
No comments:
Post a Comment