Survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) sempat menjadi perbincangan hangat di jagad politik nasional, pekan lalu. LSI menjaring suara 223opinion leader (pemuka pendapat) dari berbagai latar belakang, dan menanyakan calon presiden pilihan mereka untuk 2014 nanti.
Temuan menariknya. Prof. Dr. Mahfud MD, misalnya, mendapatkan skor tertinggi, dari sekian nama tokoh nasional. Ada pula nama Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Sri Mulyani, Hidayat Nur Wahid, dan Agus Martowardojo. Nama Prabowo Subianto, yang sedang diusung Partai Gerindra, masuk di deretan bawah. Para responden itu ditanya dari soal korupsi, kemampuan memimpin, sampai ke isu pelanggaran HAM.
Survei opinion leader ini memang unik. Responden adalah para tokoh yang kerap tampil mengemukakan pendapat. Mereka dinilai mengetahui lebih banyak informasi ketimbang masyarakat umum. Berjumlah 223 orang, para responden terdiri dari wartawan, pemimpin bisnis, tokoh LSM dan organisasi kemasyarakatan, dosen, pengacara, dan lainnya.
Lalu, mengapa sejumlah tokoh justru tak masuk hitungan para opinion leaders? Peneliti Utama LSI Dr Saiful Mujani menjawab pertanyaan Arfi Bambani dariVIVAnews dalam sebuah wawancara pekan lalu. Berikut petikannya:
Survei opinion leaders ini menyiratkan kesenjangan persepsi antara masyarakat secara umum dengan tokoh-tokoh masyarakat (opinion leader). Apakah ini fenomena umum atau khusus pada waktu tertentu seperti sekarang saja?
Pada dasarnya gap itu situasional. Sepanjang ada kesenjangan informasi politik atau kesenjangan dalam memanipulasi informasi politik di masyarakat maka gap itu akan terjadi. Sepanjang ada monopoli informasi tentang tokoh-tokoh nasional maka gap itu akan muncul. Sebaliknya, bila kesenjangan atau manipulasi informasi politik itu dapat ditekan maka gap antara sikap dan pilihan politik kelompok masyarakat yang lebih mengerti seperti opinion leaderdan masyarakat pada umumnya akan menjadi kecil atau bahkan tidak akan muncul.
Informasi politik di masyarakat, khususnya tentang partai dan tokoh-tokoh nasional yang terkait dengan calon presiden, sejauh ini lebih banyak unsur manipulasinya dibanding informasinya. Misalnya dalam bentuk iklan. Mengapa manipulasi karena “informasi” itu diciptakan sedemikian agar partai atau tokoh tertentu muncul dan yang lain hilang. Atau informasi itu diciptakan oleh orang yang punya uang dan yang tertarik politik. Tokoh-tokoh partai yang populer itu kan umumnya muncul karena iklan atau mobilisasi atau karena pernah menjadi pejabat publik nasional. Ini sumber kemacetan politik karena masyarakat luas hanya tahu tokoh yang pernah menjadi presiden atau wakil presiden, atau yang pernah menjadi calon presiden. Kalau ini yang terjadi maka kemandegan politik tak bisa dihindarkan. Tokoh nasional dikenal luas bisa juga karena iklan, mobilisasi, dan akibatnya hanya tokoh yang mampu bayar iklan dan membayar mobilisasi yang dikenal publik nasional meskipun tokoh itu sebenarnya tidak berkualitas. Ini sumber masalah mengapa politik kita menjadi mahal karena orang tidak berkualitas dipaksakan agar didukung rakyat.
Gap antara penilaian opinion leader dan massa nasional itu tidak akan terjadi bila iklan atau mobilisasi itu dilakukan untuk seorang tokoh atau pemimpin partai yang memang kualitasnya bagus. Gap itu terjadi karena mobilisasi dan rekayasa informasi dilakukan untuk seorang tokoh atau calon presiden yang tidak bagus. Ada pemaksaan di situ. Akibatnya politik menjadi mahal. Coba kalau partai atau siapapun mendukung tokoh yang berkualitas pasti ongkos untuk sosialisasinya dapat ditekan dan politik jadi lebih murah, dan ujungnya tekanan untuk korupsi menjadi rendah karena modal yang dikeluarkan untuk sosialisasi untuk menjadi presiden tidak banyak.
Kalau calonnya memang berkualitas, membanggakan, saya yakin banyak rakyat akan membantu mensosialisasikan tanpa harus dibayar. Orang-orang yang punya uang akan banyak yang bantu secara sukarela. Akan ada iuran politik massa. Akan ada partisipasi dalam bentuk uang recehan. Itu yang terjadi pada Obama misalnya. Obama tidak kaya, tapi dana untuk sosialisasinya paling banyak, lebih banyak dari Romney misalnya, karena sumbangan sukarela dari warga. Warga menjadi lebih mau berpartisipasi karena sosok Obama yang dinilai bagus. Kita bisa meniru dari pengalaman Obama yang positif itu. Mengapa tidak.
Temuan menarik dari survei-survei LSI adalah, baik opinion leader dan masyarakat umum, sebenarnya menginginkan kualitas yang sama dari seorang tokoh, namun mereka memiliki aspirasi tokoh yang berbeda? Apa yang terjadi?
Betul. Saya ingin tekankan di sini, bahwa opinion leader maupun massa pemilih nasional menilai integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas sebagai kriteria sangat penting yang harus dimiliki oleh seorang presiden. Pengamat bergelar doktor, jendral, pengusaha nasional, ataupun pemimpin redaksi media massa sama dengan rakyat secara nasional menilai bahwa jujur atau amanah, tidak pernah melanggar hukum atau moral atau etik, tidak pernah melanggar hak-hak asasi manusia berat seperti menculik aktivis politik ketika ia berada dalam kekuasaan, adalah syarat-syarat minimal yang harus dimiliki seorang presiden. Kriteria ini bukan dibuat sembarang oleh kami di LSI, tapi kriteria yang biasa digunakan dalam studi perilaku memilih di mana-mana di dunia. Apakah kriteria itu valid secara empiris? Sangat valid karena hampir semua rakyat Indonesia menilai kriteria itu sangat penting bagi seorang presiden. Saya bangga ternyata rakyat punya norma yang bagus untuk politik.
Tidak ada yang tendensius dalam kriteria ini sebagaimana dituduhkan petinggi Partai Gerindra. Itu kriteria umum dan dasar, dan valid secara empiris. Kalau kita tidak menggunakan kriteria itu justeru kami jadi tendensius, ada apa?
Saya menilai justeru petinggi Gerindra itu yang tendensius. Mereka memaksakan agar bersih dari tindakan kriminal dan pelanggaran HAM berat hilang dari kriteria agar Prabowo tidak dipersoalkan dalam pencapresannya karena dia punya track record buruk dalam masalah HAM ketika ia menjadi bagian elite Orde Baru Suharto dulu. Mengapa sih harus memaksakan Prabowo seperti tidak ada lagi orang di negeri ini?
Apakah memang nyawa orang itu tidak penting? Tidak ada gunanya kesejahteraan, kemajuan ekonomi, atau apapun yang kita upayakan kalau tidak ada nyawa manusia. Bagaimana mungkin Prabowo bicara tentang kesejahteraan rakyat, kesejahteraan petani, padahal menghargai nyawa saja tidak?
Orang mungkin bertanya apa betul Prabowo terlibat penculikan? Prabowo sendiri mengakui dia bertanggung jawab atas penculikan itu. Dewan kehormatan ABRI juga memberhentikan atau mempercepat pensiun Letnan Jendral Prabowo dari seharusnya karena dia dinilai bertanggung jawab atas penculikan aktivis mahasiswa itu. Itu fakta sejarah. Masa presiden kita, yang hanya satu itu, cacat track-record?
Mengapa Prabowo lebih dipilih rakyat ketimbang Machfud atau Djoko Suyanto misalnya karena rakyat pada umumnya tidak tahu track-record Prabowo itu, sedangkan opinion leader tahu track-record itu sehingga tidak memilihnya. Di samping itu, Prabowo sudah beriklan di mana-mana, sudah melakukan mobilisasi opini, sudah pernah menjadi calon wakil presiden pada 2009 sehingga rakyat familiar dengan dia dan karena itu dia punya kesempatan untuk dipilih oleh rakyat yang umumnya tidak tahu track-record itu.
Sementara Machfud misalnya, tidak pernah beriklan secara massif, tidak pernah menjadi calon wakil presiden, tidak pernah melakukan mobilisasi, dan karena itu sangat sedikit dari rakyat yang tahu dia. Bagaimana rakyat bisa memilih orang sementara aware saja dengan orang itu tidak.
Sementara itu opinion leader tahu Prabowo dan juga tahu Machfud, dan ternyata mereka memilih Machfud bukan Prabowo karena Machfud dinilai lebih berkualitas dibanding Prabowo. Karena itu bila rakyat tahu baik Machfud maupun Prabowo atau Aburizal misalnya, maka dalam situasi seperti itu Machfud akan memenangkan pilpres 2014.
Temuan menariknya. Prof. Dr. Mahfud MD, misalnya, mendapatkan skor tertinggi, dari sekian nama tokoh nasional. Ada pula nama Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Sri Mulyani, Hidayat Nur Wahid, dan Agus Martowardojo. Nama Prabowo Subianto, yang sedang diusung Partai Gerindra, masuk di deretan bawah. Para responden itu ditanya dari soal korupsi, kemampuan memimpin, sampai ke isu pelanggaran HAM.
Survei opinion leader ini memang unik. Responden adalah para tokoh yang kerap tampil mengemukakan pendapat. Mereka dinilai mengetahui lebih banyak informasi ketimbang masyarakat umum. Berjumlah 223 orang, para responden terdiri dari wartawan, pemimpin bisnis, tokoh LSM dan organisasi kemasyarakatan, dosen, pengacara, dan lainnya.
Lalu, mengapa sejumlah tokoh justru tak masuk hitungan para opinion leaders? Peneliti Utama LSI Dr Saiful Mujani menjawab pertanyaan Arfi Bambani dariVIVAnews dalam sebuah wawancara pekan lalu. Berikut petikannya:
Survei opinion leaders ini menyiratkan kesenjangan persepsi antara masyarakat secara umum dengan tokoh-tokoh masyarakat (opinion leader). Apakah ini fenomena umum atau khusus pada waktu tertentu seperti sekarang saja?
Pada dasarnya gap itu situasional. Sepanjang ada kesenjangan informasi politik atau kesenjangan dalam memanipulasi informasi politik di masyarakat maka gap itu akan terjadi. Sepanjang ada monopoli informasi tentang tokoh-tokoh nasional maka gap itu akan muncul. Sebaliknya, bila kesenjangan atau manipulasi informasi politik itu dapat ditekan maka gap antara sikap dan pilihan politik kelompok masyarakat yang lebih mengerti seperti opinion leaderdan masyarakat pada umumnya akan menjadi kecil atau bahkan tidak akan muncul.
Informasi politik di masyarakat, khususnya tentang partai dan tokoh-tokoh nasional yang terkait dengan calon presiden, sejauh ini lebih banyak unsur manipulasinya dibanding informasinya. Misalnya dalam bentuk iklan. Mengapa manipulasi karena “informasi” itu diciptakan sedemikian agar partai atau tokoh tertentu muncul dan yang lain hilang. Atau informasi itu diciptakan oleh orang yang punya uang dan yang tertarik politik. Tokoh-tokoh partai yang populer itu kan umumnya muncul karena iklan atau mobilisasi atau karena pernah menjadi pejabat publik nasional. Ini sumber kemacetan politik karena masyarakat luas hanya tahu tokoh yang pernah menjadi presiden atau wakil presiden, atau yang pernah menjadi calon presiden. Kalau ini yang terjadi maka kemandegan politik tak bisa dihindarkan. Tokoh nasional dikenal luas bisa juga karena iklan, mobilisasi, dan akibatnya hanya tokoh yang mampu bayar iklan dan membayar mobilisasi yang dikenal publik nasional meskipun tokoh itu sebenarnya tidak berkualitas. Ini sumber masalah mengapa politik kita menjadi mahal karena orang tidak berkualitas dipaksakan agar didukung rakyat.
Gap antara penilaian opinion leader dan massa nasional itu tidak akan terjadi bila iklan atau mobilisasi itu dilakukan untuk seorang tokoh atau pemimpin partai yang memang kualitasnya bagus. Gap itu terjadi karena mobilisasi dan rekayasa informasi dilakukan untuk seorang tokoh atau calon presiden yang tidak bagus. Ada pemaksaan di situ. Akibatnya politik menjadi mahal. Coba kalau partai atau siapapun mendukung tokoh yang berkualitas pasti ongkos untuk sosialisasinya dapat ditekan dan politik jadi lebih murah, dan ujungnya tekanan untuk korupsi menjadi rendah karena modal yang dikeluarkan untuk sosialisasi untuk menjadi presiden tidak banyak.
Kalau calonnya memang berkualitas, membanggakan, saya yakin banyak rakyat akan membantu mensosialisasikan tanpa harus dibayar. Orang-orang yang punya uang akan banyak yang bantu secara sukarela. Akan ada iuran politik massa. Akan ada partisipasi dalam bentuk uang recehan. Itu yang terjadi pada Obama misalnya. Obama tidak kaya, tapi dana untuk sosialisasinya paling banyak, lebih banyak dari Romney misalnya, karena sumbangan sukarela dari warga. Warga menjadi lebih mau berpartisipasi karena sosok Obama yang dinilai bagus. Kita bisa meniru dari pengalaman Obama yang positif itu. Mengapa tidak.
Temuan menarik dari survei-survei LSI adalah, baik opinion leader dan masyarakat umum, sebenarnya menginginkan kualitas yang sama dari seorang tokoh, namun mereka memiliki aspirasi tokoh yang berbeda? Apa yang terjadi?
Betul. Saya ingin tekankan di sini, bahwa opinion leader maupun massa pemilih nasional menilai integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas sebagai kriteria sangat penting yang harus dimiliki oleh seorang presiden. Pengamat bergelar doktor, jendral, pengusaha nasional, ataupun pemimpin redaksi media massa sama dengan rakyat secara nasional menilai bahwa jujur atau amanah, tidak pernah melanggar hukum atau moral atau etik, tidak pernah melanggar hak-hak asasi manusia berat seperti menculik aktivis politik ketika ia berada dalam kekuasaan, adalah syarat-syarat minimal yang harus dimiliki seorang presiden. Kriteria ini bukan dibuat sembarang oleh kami di LSI, tapi kriteria yang biasa digunakan dalam studi perilaku memilih di mana-mana di dunia. Apakah kriteria itu valid secara empiris? Sangat valid karena hampir semua rakyat Indonesia menilai kriteria itu sangat penting bagi seorang presiden. Saya bangga ternyata rakyat punya norma yang bagus untuk politik.
Tidak ada yang tendensius dalam kriteria ini sebagaimana dituduhkan petinggi Partai Gerindra. Itu kriteria umum dan dasar, dan valid secara empiris. Kalau kita tidak menggunakan kriteria itu justeru kami jadi tendensius, ada apa?
Saya menilai justeru petinggi Gerindra itu yang tendensius. Mereka memaksakan agar bersih dari tindakan kriminal dan pelanggaran HAM berat hilang dari kriteria agar Prabowo tidak dipersoalkan dalam pencapresannya karena dia punya track record buruk dalam masalah HAM ketika ia menjadi bagian elite Orde Baru Suharto dulu. Mengapa sih harus memaksakan Prabowo seperti tidak ada lagi orang di negeri ini?
Apakah memang nyawa orang itu tidak penting? Tidak ada gunanya kesejahteraan, kemajuan ekonomi, atau apapun yang kita upayakan kalau tidak ada nyawa manusia. Bagaimana mungkin Prabowo bicara tentang kesejahteraan rakyat, kesejahteraan petani, padahal menghargai nyawa saja tidak?
Orang mungkin bertanya apa betul Prabowo terlibat penculikan? Prabowo sendiri mengakui dia bertanggung jawab atas penculikan itu. Dewan kehormatan ABRI juga memberhentikan atau mempercepat pensiun Letnan Jendral Prabowo dari seharusnya karena dia dinilai bertanggung jawab atas penculikan aktivis mahasiswa itu. Itu fakta sejarah. Masa presiden kita, yang hanya satu itu, cacat track-record?
Mengapa Prabowo lebih dipilih rakyat ketimbang Machfud atau Djoko Suyanto misalnya karena rakyat pada umumnya tidak tahu track-record Prabowo itu, sedangkan opinion leader tahu track-record itu sehingga tidak memilihnya. Di samping itu, Prabowo sudah beriklan di mana-mana, sudah melakukan mobilisasi opini, sudah pernah menjadi calon wakil presiden pada 2009 sehingga rakyat familiar dengan dia dan karena itu dia punya kesempatan untuk dipilih oleh rakyat yang umumnya tidak tahu track-record itu.
Sementara Machfud misalnya, tidak pernah beriklan secara massif, tidak pernah menjadi calon wakil presiden, tidak pernah melakukan mobilisasi, dan karena itu sangat sedikit dari rakyat yang tahu dia. Bagaimana rakyat bisa memilih orang sementara aware saja dengan orang itu tidak.
Sementara itu opinion leader tahu Prabowo dan juga tahu Machfud, dan ternyata mereka memilih Machfud bukan Prabowo karena Machfud dinilai lebih berkualitas dibanding Prabowo. Karena itu bila rakyat tahu baik Machfud maupun Prabowo atau Aburizal misalnya, maka dalam situasi seperti itu Machfud akan memenangkan pilpres 2014.
Tantangan bagi Machfud, dan tokoh-tokoh lain, yang dinilai berkualitas oleh orang yang tahu atau opinion leader, seperti Dahlan, Sri Mulyani, Djoko Suyanto, Endiartono Sutarto, adalah membantu rakyat nasional tahu tokoh-tokoh ini, bahwa mereka bagus dan pantas menjadi presiden. Rakyat punya hak tahu siapa tokoh-tokoh berkualitas untuk presiden. Tugas siapa ini? Tugas KPU, tugas partai, dan mungkin tugas siapa saja yang peduli dengan bangsa ini.
Sejumlah nama yang terpuruk di survei opinion leader ini diketahui memiliki elektabilitas tinggi dalam survei umum, lalu LSI menyatakan ada problem "kualitas" sehingga tak dilirik para opinion leader, jangan-jangan rakyat umum memang tak butuh "kualitas" itu?
Tidak butuh kualitas tidak sama dengan tidak tahu kualitas. Dalam survei nasional, seperti telah disinggung di atas, rakyat sangat membutuhkan pemimpin yang bersih dari korupsi dan dari cacat hukum dan etik atau moral, yang amanah, yang tegas, yang pluralis. Itu jelas. Masalahnya, rakyat nasional karena tidak mendapat informasi merata tentang tokoh-tokoh nasional itu, tidak tahu mana tokoh yang berkualitas dan mana tokoh yang tidak berkualitas. Dalam situasi seperti itu, babi pun, kata orang Islam, halal di makan. Kalau orang Islam tahu ada ayam pasti dia tidak akan makan babi. Kalau rakyat tahu ada tokoh lain yang berkualitas pasti dia tidak akan memilih tokoh yang tidak berkualitas.
Apakah problem kesenjangan ini karena penetrasi informasi yang berbeda? Jika iya, apakah ini problem di media massa?
Seperti sudah saya jelaskan di atas bahwa sekarang ada kesenjangan dan manipulasi dan monopoli informasi politik. Manipulasi dan monopoli itu terutama dalam iklan dan atribut-atribut politik. Dalam demokrasi itu sah saja, tapi demokrasi kita akan buruk dan pada akhirnya rakyat tidak akan percaya pada demokrasi karena ternyata demokrasi hanya saluran bagi orang-orang buruk, hanya karena mereka punya uang. Kita harus perbaiki keadaan ini karena kalau rakyat sudah tidak peduli dengan demokrasi masalahnya akan menjadi lebih dasar. Rakyat akan toleran terhadap diktator, padahal diktator di mana-mana menyengsarakan rakyat, atau tidak bisa bertahan. Kita lihat di mana-mana gejala ini. Orde Baru pun tidak bisa bertahan karena diktator sangatcostly.
Sejumlah nama yang terpuruk di survei opinion leader ini diketahui memiliki elektabilitas tinggi dalam survei umum, lalu LSI menyatakan ada problem "kualitas" sehingga tak dilirik para opinion leader, jangan-jangan rakyat umum memang tak butuh "kualitas" itu?
Tidak butuh kualitas tidak sama dengan tidak tahu kualitas. Dalam survei nasional, seperti telah disinggung di atas, rakyat sangat membutuhkan pemimpin yang bersih dari korupsi dan dari cacat hukum dan etik atau moral, yang amanah, yang tegas, yang pluralis. Itu jelas. Masalahnya, rakyat nasional karena tidak mendapat informasi merata tentang tokoh-tokoh nasional itu, tidak tahu mana tokoh yang berkualitas dan mana tokoh yang tidak berkualitas. Dalam situasi seperti itu, babi pun, kata orang Islam, halal di makan. Kalau orang Islam tahu ada ayam pasti dia tidak akan makan babi. Kalau rakyat tahu ada tokoh lain yang berkualitas pasti dia tidak akan memilih tokoh yang tidak berkualitas.
Apakah problem kesenjangan ini karena penetrasi informasi yang berbeda? Jika iya, apakah ini problem di media massa?
Seperti sudah saya jelaskan di atas bahwa sekarang ada kesenjangan dan manipulasi dan monopoli informasi politik. Manipulasi dan monopoli itu terutama dalam iklan dan atribut-atribut politik. Dalam demokrasi itu sah saja, tapi demokrasi kita akan buruk dan pada akhirnya rakyat tidak akan percaya pada demokrasi karena ternyata demokrasi hanya saluran bagi orang-orang buruk, hanya karena mereka punya uang. Kita harus perbaiki keadaan ini karena kalau rakyat sudah tidak peduli dengan demokrasi masalahnya akan menjadi lebih dasar. Rakyat akan toleran terhadap diktator, padahal diktator di mana-mana menyengsarakan rakyat, atau tidak bisa bertahan. Kita lihat di mana-mana gejala ini. Orde Baru pun tidak bisa bertahan karena diktator sangatcostly.
Walapun banyak warga yang belum puas, hasil demokrasi sekarang lumayan bagus, jauh lebih bagus dari hasil Orde Baru. Lihat tingkat pertumbuhan kita sekarang, pendapatan per kapita, rasio hutang kita, angka melek hurup, tingkat harapan hidup, kebebasan berpendapat, pengakuan dunia, semuanya jauh di atas capaian zaman Orde Baru. Ini buah demokrasi, dan kita tidak boleh set back.
Survei opinion leader LSI ini dilakukan atas 24 nama, apakah ada peluang nama baru muncul dan justru menjadi pemuncak?
Penting saya jelaskan terlebih dahulu. Mengapa 24 nama itu? Banyak sekali orang atau tokoh nasional yang bisa kita pertimbangkan untuk menjadi calon presiden padahal presiden hanya satu, calonnya nanti mungkin tidak lebih dari 3. Karena itu tidak sembarangan kita menentukan calon.
Pertama, karena yang bisa mencalonkan presiden adalah partai politik maka ketua, tokoh inti, atau tokoh yang dinilai dekat dengan partai yang ada di parlemen sekarang harus menjadi kriteria bagaimana kita memilih tokoh-tokoh untuk dinilai oleh orang yang mengerti (opinion leader). Maka harus masuk nama Megawati (PDIP), Aburizal (Golkar), Anas Urbaningrum (Demokrat), Hidayat Nurwahid (PKS), Hatta Rajasa (PAN), Muhaimin Iskandar (PKN), Prabowo Subianto (Gerindra), Suryadarma Ali (PPP), Wiranto (Hanura).
Survei opinion leader LSI ini dilakukan atas 24 nama, apakah ada peluang nama baru muncul dan justru menjadi pemuncak?
Penting saya jelaskan terlebih dahulu. Mengapa 24 nama itu? Banyak sekali orang atau tokoh nasional yang bisa kita pertimbangkan untuk menjadi calon presiden padahal presiden hanya satu, calonnya nanti mungkin tidak lebih dari 3. Karena itu tidak sembarangan kita menentukan calon.
Pertama, karena yang bisa mencalonkan presiden adalah partai politik maka ketua, tokoh inti, atau tokoh yang dinilai dekat dengan partai yang ada di parlemen sekarang harus menjadi kriteria bagaimana kita memilih tokoh-tokoh untuk dinilai oleh orang yang mengerti (opinion leader). Maka harus masuk nama Megawati (PDIP), Aburizal (Golkar), Anas Urbaningrum (Demokrat), Hidayat Nurwahid (PKS), Hatta Rajasa (PAN), Muhaimin Iskandar (PKN), Prabowo Subianto (Gerindra), Suryadarma Ali (PPP), Wiranto (Hanura).
Di samping itu, kita harus memasukkan tokoh partai baru yang dalam survei nasional menunjukan gejala mendapat suara signifikan, maka kita masukan Surya Paloh di mana partainya, Nasdem, terlihat sudah masuk ke papan tengah partai politik nasional. Selain itu beberapa tokoh yang kami amati dan nilai dekat dengan partai-partai itu, terutama Demokrat. Selain Anas, ada sejumlah tokoh nasional yang kami amati berada dalam lingkaran dekat pusat kekuasaan Demokrat dan cukup dibicarakan di elite Demokrat. Maka masuk nama Djoko Suyanto, Pramono Edhie Wibowo, Ani Yudhoyono, Chaerul Tanjung, Gita Wiryawan, dan Agus Martowardoyo. Untuk Demokrat banyak yang disebut karena SBY dipastikan tidak maju lagi, dan Anas juga belum menentu kasusnya, dan belum ada tokoh lain yang sangat menonjol.
Di PDIP, selain Megawati, Puan Maharani kami pertimbangkan karena posisinya di partai yang sangat strategis setelah Megawati, dan nature dari politik internal PDIP sendiri.
Di PDIP, selain Megawati, Puan Maharani kami pertimbangkan karena posisinya di partai yang sangat strategis setelah Megawati, dan nature dari politik internal PDIP sendiri.
Setelah itu, di Nasdem, selain Surya Paloh, ada Endiartono Sutarto yang sebelumnya telah menyatakan siap kalau ada yang mencalonkan.
Di samping pertimbangan partai dan kedekatan dengannya, juga mempertimbangkan pendapat masyarakat secara nasional yang bisa dilihat dari serangkaian survei nasional. Nama-nama yang disebut secara spontan untuk presiden Indonesia 2014 kami masukkan. Nama-nama itu cukup sering disebut secara spontan adalah Jusuf Kalla, Machfud MD, Dahlan Iskan, Sri Mulyani, dan Sutiyoso di samping nama-nama yang sudah populer di atas seperti Megawati dan Prabowo.
Begitulah bagaimana nama 24 itu muncul.
Ada yang bertanya mengapa Jokowi, Anies Baswedan, Irman Gusman, Oma Irama, dll., tidak dimasukan ke dalam daftar yang harus dinilai.
Seleksi nama-nama sebelum dinilai oleh opinion leader itu berlangsung pada Januari-Mei. Persiapan survei bulan Juni, dan surveinya sendiri antara Juli-September 2012. Pada waktu itu mempertimbangkan nama-nama itu, Januari-Mei, nama-nama yang ditanyakan kepada saya itu bukan ketua partai, bukan orang yang dibacarakan di internal partai, dan tidak muncul di jawaban spontan atau top of mind survei nasional. Jadi apa alasan kami untuk memasukan nama itu? Harus diingat bahwa dalam survei itu jumlah pertanyaan tentang kualitas sebanyak 7, dan yang paling valid 5. Dengan jumlah nama 24 saja, kita mengajukan pertanyaan sebanyak 148. Sangat banyak, dan ini menyiksaopinion leader. Tapi sukur mereka bersedia.
Dalam survei yang akan datang bisa kita pertimbangkan nama-nama lain. Pada dasarnya kita ingin menggali seluas-luasnya agar kita punya calon terbaik. Tapi juga kita harus realistis. Tidak bisa sekonyong-konyong orang di luar partai, yang tidak punya pengalaman sama sekali sebagai pejabat publik, tidak pernah muncul di top of mind survei nasional, dipaksakan harus dipertimbangkan. LSI bukan tong sampah
Di samping pertimbangan partai dan kedekatan dengannya, juga mempertimbangkan pendapat masyarakat secara nasional yang bisa dilihat dari serangkaian survei nasional. Nama-nama yang disebut secara spontan untuk presiden Indonesia 2014 kami masukkan. Nama-nama itu cukup sering disebut secara spontan adalah Jusuf Kalla, Machfud MD, Dahlan Iskan, Sri Mulyani, dan Sutiyoso di samping nama-nama yang sudah populer di atas seperti Megawati dan Prabowo.
Begitulah bagaimana nama 24 itu muncul.
Ada yang bertanya mengapa Jokowi, Anies Baswedan, Irman Gusman, Oma Irama, dll., tidak dimasukan ke dalam daftar yang harus dinilai.
Seleksi nama-nama sebelum dinilai oleh opinion leader itu berlangsung pada Januari-Mei. Persiapan survei bulan Juni, dan surveinya sendiri antara Juli-September 2012. Pada waktu itu mempertimbangkan nama-nama itu, Januari-Mei, nama-nama yang ditanyakan kepada saya itu bukan ketua partai, bukan orang yang dibacarakan di internal partai, dan tidak muncul di jawaban spontan atau top of mind survei nasional. Jadi apa alasan kami untuk memasukan nama itu? Harus diingat bahwa dalam survei itu jumlah pertanyaan tentang kualitas sebanyak 7, dan yang paling valid 5. Dengan jumlah nama 24 saja, kita mengajukan pertanyaan sebanyak 148. Sangat banyak, dan ini menyiksaopinion leader. Tapi sukur mereka bersedia.
Dalam survei yang akan datang bisa kita pertimbangkan nama-nama lain. Pada dasarnya kita ingin menggali seluas-luasnya agar kita punya calon terbaik. Tapi juga kita harus realistis. Tidak bisa sekonyong-konyong orang di luar partai, yang tidak punya pengalaman sama sekali sebagai pejabat publik, tidak pernah muncul di top of mind survei nasional, dipaksakan harus dipertimbangkan. LSI bukan tong sampah
No comments:
Post a Comment