Saturday, 9 February 2013
Satelit Titan Lebih Layak Huni Dibanding Mars
SELAMA ini, banyak orang berpikir bahwa Mars adalah planet yang paling layak dihuni setelah bumi. Bisa dipahami memang, sebab Mars adalah planet yang paling sering digembar-gemborkan memiliki potensi untuk mendukung kehidupan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa ada tempat lain yang lebih mirip bumi sehingga bisa dikatakan lebih layak huni.
Dr Dirk Schulze-Makuch, guru besar pada School of Earth and Environmental Sciences dari Washington State University dalam publikasinya di jurnal Astrobiologi edisi Desember 2011, menyatakan bahwa Titan, bulan planet Saturnus, adalah benda langit paling layak huni, mengalahkan planet merah, Mars.
Selama ini, Titan yang permukaannya dingin dan berselimut kabut itu disebut-sebut oleh para astronom sebagai bumi purba.
Dalam Indeks Daya Dukung Kehidupan Planet yang dikembangkan, seperti diuraikan Nature, 23 Desember 2011, Titan meraih skor tertinggi. Bumi memiliki indeks 1. Sementara Titan adalah 0,64, diikuti Mars (0,59), disusul Europa yang merupakan bulan Jupiter (0,47). Dua eksoplanet yang dinyatakan layak huni adalah Gliese 581 g (0,49) dan Gliese 581d (0,43).
Indeks Daya Dukung Kehidupan Planet itu dikembangkan berdasarkan beberapa kriteria. Beberapa di antaranya adalah keberadaan batuan, air, energi, material organik, dan jarak planet dari bintangnya. Titan punya potensi layak huni sebab terbukti memiliki air dan energi.
Satelit Alam Saturnus
Titan merupakan salah satu dari 31 buah satelit alam milik Saturnus. Satelit ini ditemukan astronom berkebangsaan Belanda, Christian Huygens, pada 25 Maret 1655. Titan merupakan satelit terbesar yang mengorbit Saturnus. Setengah darinya tersusun oleh es dan setengahnya lainnya material bebatuan. Lapisan bebatuan berada di pusat satelit hingga radius 1.700 km. Di atas bebatuan terdapat lapisan kristal es hingga permukaan satelit radius 2.575 km.
Titan lebih besar dari bulan (satelit bumi) dan planet Merkurius. Untuk satelit alam, hanya Ganymade ñsatelit Yupiter-- yang berdiameter lebih besar: 112 km.
Titan bermassa seperseratus ribu massa bumi dan berjarak 1,2 juta km dari Planet Saturnus, atau tiga kali jarak bulan ke bumi. Tekanan atmosfernya 1,6 kali bumi, sama seperti tekanan di lantai dasar kolam renang.
Titan amat menarik minat astronom karena merupakan satu-satunya satelit alam di tata surya yang diketahui memiliki awan setebal 300 km, misterius dan menyerupai atmosfer planet.
Menurut Dr Taufiq Hidayat dari Program Studi Astronomi ITB, komposisi atmosfer Titan yang didominasi oleh nitrogen dan elemen-elemen hidrokarbon lain yang membentuk warna jingga pada permukaannya, memunculkan spekulasi bahwa permukaan Titan mirip dengan bumi kita di usia mudanya. Kemiripan lain antara atmosfer Titan dan bumi adalah adanya siklus gas, di mana bumi memiliki siklus hidrologi (air), sementara Titan memiliki siklus metana dan etana. "Harapannya, dengan mengamati atmosfer Titan, akan didapatkan gambaran mengenai bagaimana cara kerja atmosfer bumi pada zaman dahulu hingga mencapai komposisinya sekarang," ujar Taufiq.
Begitu tebalnya lapisan atmosfer itu sehingga menghasilkan hujan berupa cairan mirip gasolin. Sementara oksigen membeku dalam wujud es cair di permukaannya. Komposisi kimia itulah yang menjadi tujuan terbesar penelitian dikarenakan kemungkinan tersusun dari sejumlah senyawa yang berada di atmosfer bumi primordial. Kandungan organik pada senyawa kimia yang ditemukan mengindikasikan bahwa lingkungan di Titan memungkinkan munculnya bentuk kehidupan.
Namun temperatur permukaan Titan saat ini begitu rendah minus 178 derajat C (minus 289 derajat F), hanya 4 derajat di atas titik jenuh metana, karena jauhnya jarak dari matahari. Meskipun suhu serendah ini kurang memungkinkan munculnya kehidupan, ada pandangan bahwa bentuk kehidupan tetap saja berpeluang muncul di dalam danau hidrokarbon yang hangat akibat pemanasan internal Titan. Jikalau nantinya Titan terbukti tidak memiliki bentuk kehidupan sebagaimana yang diperkirakan, maka pemahaman mengenai interaksi kimia di situ akan membantu manusia memahami lingkungan awal bumi.
Titan ósatu setengah kali ukuran bulanó mengorbit Saturnus selama 16 hari. Adapun kecepatan rotasinya, yaitu mengitari porosnya sendiri, 16 hari juga. Artinya, kecepatan rotasi dan orbit Titan adalah sama. Jadi, misalnya kita ada di Saturnus, maka yang terlihat hanya setengah bagian Titan saja. Kondisi ini persis sama seperti halnya, jika melihat bulan dari bumi. Karena tekanan gravitasinya sangat besar, pusat satelit ini masih panas. Sama seperti bumi dengan inti planetnya yang sangat panas.
Teleskop Radio
Pengamatan permukaan Titan sangat sulit karena lapisan atmosfernya yang sangat tebal. Kedalaman atmosfer hanya bisa diamati pada rentang gelombang radio, hanya sebagian pada rentang gelombang inframerah, dan tidak bisa diamati pada rentang gelombang visual. Karena itu, informasi satelit ini masih sedikit meskipun penelitian telah dilakukan lebih dari dua dasawarsa.
Selama itu, telah muncul spekulasi adanya interaksi radiasi ultraviolet matahari dengan metana yang berada di lapisan teratas atmosfer Titan. Reaksi fotokimia mengakibatkan terbentuknya smog dan akhirnya mengakibatkan hujan hidrokarbon dalam wujud padat dan cair dalam jumlah besar.
Penemuan terbaru kondisi Titan menggunakan teleskop radio raksasa berdiamater 305 m di Observatorium Arecibo, Brasil, memicu spekulasi adanya danau hidrokarbon dalam wujud cair. Hal ini berdasarkan pantulan yang hanya bisa dilakukan oleh permukaan datar.
Pengamatan dilakukan November dan Desember 2001 dan 2002. Sinyal radar dipancarkan ke Titan dan kembali ke bumi selama 2, 25 jam. Observatorium Arecibo dioperasikan pada panjang gelombang 13 cm (2,380 Mhz) dengan daya mendekati 1 megawatt (setara 1.000 pemanas listrik). Selain Teleskop Arecibo, secara bersamaan digunakan juga teleskop Robert C Byrd Green Bank 100 m untuk menerima pantulan.
Ternyata, sinyal radar dipantulkan oleh permukaan Titan yang berwujud cair seperti cahaya matahari yang jatuh pada lautan di bumi. Meskipun lapisan bawah permukaan Titan berwujud es air (water ice), reaksi senyawa kimia kompleks di atmosfernya menghasilkan etana, metana cair, dan hidrokarbon padat, yang menutupi sebagian permukaan es Titan. Beberapa tahun lalu telah dibuat hidrokarbon buatan yang mirip hidrokarbon padat Titan, yaitu Titan Tholin, di laboratorium oleh tim yang dipimpin Carl Sagan, astronom karismatik dari Cornell University.
Akhirnya, melalui misi Cassini-Huygens yang diluncurkan pada 15 Oktober 1997 dengan menggunakan roket Titan-IVB/Centaur, dari Cape Canaveral, Florida, AS dan menelan biaya 3,25 miliar dolar AS tersebut, diharapkan informasi lengkap tentang satelit alam Titan yang misterius tidak lama lagi akan diketahui. Pertanyaan-pertanyaan besar seperti mungkinkah Titan layak untuk dihuni, tidak terlalu lama lagi bakal bisa terjawab. Pemahaman atas awal mula munculnya kehidupan dan sejarah awal bumi, mudah-mudahan menjadikan manusia semakin bijaksana dalam menjaga dan memelihara kehidupan di planet kita ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment