Sunday, 29 December 2013

Alasan Uruguay Melegalkan Ganja. Parlemen Uruguay memutuskan bahwa ganja halal di negara itu

Foto ilustrasiSetelah dua tahun berdebat sengit, akhirnya parlemen Uruguay memutuskan melalui voting bahwa ganja halal di negara itu, termasuk budidayanya. Pemerintah Uruguay berdalih bahwa ini cara yang efektif untuk menekan angka kriminalitas dan memutus rantai pemasukan bandar ilegal.

Voting yang menghasilkan kemenangan 16-13 itu langsung disambut kemeriahan oleh ribuan orang pro-legalisasi ganja di depang gedung kongres. Di sana, mereka membawa atribut berbentuk daun ganja dan bendera Jamaika, sambil menghisap lintingan mariyuana.

Presiden Uruguay Jose Mujika dalam pidatonya di radio mengatakan negara telah gagal dalam perang melawan peredaran narkoba. Untuk itu, ketimbang berperang menggunakan alat keamanan seperti polisi, tentara dan penjara, negara akan mengatur sendiri peredaran ganja melalui alat birokrasi.

Berdasarkan skema peraturan yang akan digodok dalam 120 hari ke depan, negara akan bertindak sebagai "pusat", yaitu menjual dan mengatur peredaran tanaman bernama latin Cannabis Sativa ini.

Diperkirakan diterapkan April tahun depan, Uruguay akan menguasai industri mariyuana, mulai dari pembibitan hingga konsumsi.

Sekitar 120.000 orang di Uruguay merokok ganja, setidaknya sekali setahun, menurut Dewan Narkotika Nasional Uruguay, seperti dikutip Huffington Post. Dari ratusan ribu ini, 75.000 di antaranya menghisap ganja setiap pekan, dan 20.000 lainnya setiap hari.

Diperkirakan, ada 22 ton mariyuana terjual di negara itu setiap tahunnya. Nilainya antara US$30-40 juta per tahun.

Memang sejak lama warga Uruguay bebas menghisap ganja. Namun dalam undang-undang baru ini, mereka boleh menanamnya sendiri di rumah. Setiap tahunnya, warga Uruguay boleh menanam enam pot ganja, atau sebanyak 480 gram.

Warga juga boleh membuat klub menghisap ganja yang terdiri dari 15 hingga 45 orang. Klub ini boleh menanam 99 pot ganja per tahun. Sebelumnya, konsumsi ganja memang bebas di negara berpenduduk 3,3 juta orang ini. Namun budidaya dan penjualannya dilarang.

Kendati dibebaskan, namun warga Uruguay hanya boleh membeli ganja di apotek-apotek resmi milik pemerintah. Pembelian haruslah warga berusia 18 tahun keatas dan dibatasi hanya 40 gram per bulan.

Memang telah ada negara-negara yang memperbolehkan warganya menghisap ganja, yang terkenal adalah Belanda dan Portugal. Namun negara-negara ini hanya menerapkan dekriminalisasi atau tidak mengkriminalkan pengguna ganja dengan kadar tertentu.

Pemerintah Uruguay akan menjual ganja kualitas terbaik dengan harga murah. Tujuannya, agar pembeli tidak beralih pada pengedar ilegal. Menurut kepala pemberantasan narkoba Uruguay, Julio Calzada, kemungkinan pemerintah akan menjual ganja kering antara US$1-2,50 (Rp13.000-29.000) per gramnya.

"Satu gram cukup untuk membuat dua atau tiga linting kurus ganja," kata dia, dikutip dari harian El Pais. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan ganja kualitas buruk di pasaran gelap yang mencapai US$5 (Rp59.000).

Akibat Kalah Perang
Menurut laporan lembaga Release-Drugs The Law and Human Right, cara melegalkan ganja oleh beberapa negara diambil lantaran perang mereka terhadap narkotika gagal total. Selain itu, negara juga merugi karena telah menghabiskan jutaan dollar setiap tahunnya untuk mengatasi problematika narkoba.

Tahun 2011, kebijakan dekriminalisasi pengguna ganja mendapat dukungan kuat dari Komisi Global Kebijakan Narkotika yang saat itu mengeluarkan laporan Perang terhadap Narkoba. Dalam laporan itu dikatakan, dunia telah gagal mengatasi penyebaran narkoba.

Belanda disebut-sebut sebagai pionir kebijakan dekriminalisasi ganja, dengan dibebaskannya konsumsi ganja di warung-warung kopi sejak tahun 1976.

Secara teknis, legislasi Belanda masih mengkriminalkan pengguna narkoba. Tapi peraturannya sangat longgar, pengguna dan pemilik ganja adalah prioritas paling bawah dalam upaya penegakan hukum di negara tersebut.

Tidak banyak yang tahu bahwa Portugal lebih "ekstrem" lagi dalam kebebasan menggunakan narkoba. Sejak tahun 2001, Portugal adalah negara Eropa pertama yang mendekriminalisasi, tidak hanya pengguna ganja, tapi juga kokain, heroin dan sabu.

Para penggunanya tidak akan dipenjara, melainkan dirujuk ke pusat rehabilitasi yang dianggap lebih murah ketimbang dibui.

Lembaga think-tank Cato Institute tahun 2009, dilansir TIME, mengeluarkan laporan yang mengejutkan soal langkah Portugal ini. Usai kebijakan ini diterapkan, jumlah pengguna mariyuana di bawah usia 15 tahun di Portugal adalah yang terendah di antara negara-negara Uni Eropa, yaitu 10 persen.

Menurut laporan Cato, antara 2001 dan 2006 di Portugal, penghisap ganja usia sekolah, kelas tujuh dan sembilan, menurun dari 14,1 persen menjadi 10,6 persen. Pengguna usia remaja juga menurun.

Pengguna heroin antara usia 16-18 tahun turun dari 2,5 persen menjadi 1,8 persen. Pengidap HIV baru di antara pengguna narkoba turun 17 persen antara 1999 dan 2009, dan kematian akibat heroin berkurang setengahnya.

Jumlah orang yang menjalani terapi penyembuhan kecanduan meningkat dari 6.040 menjadi 14.877 orang setelah dekriminalisasi. Anggaran untuk petugas pemberantas narkoba juga bisa dihemat, dialihkan ke perawatan pecandu narkoba.

Kontroversial

Keputusan beberapa negara ini bukannya tanpa kontroversi. Dalam survei oleh Equipos Consultores, 58 persen warga Uruguay menentang rencana pemerintah tersebut. Jumlah ini turun dari survei Juni lalu yaitu 68 persen penentang.

Para penentangnya mengatakan bahwa dibebaskannya mariyuana akan membuka pintu bagi penggunaan narkoba lainnya. "Bersaing dengan bandar narkoba dengan menawarkan mariyuana harga murah hanya akan memperluas pasar narkoba yang berefek negatif bagi kesehatan publik," kata Senator Alfredo Solari.

Para pendukung legalisasi ganja berdalih bahwa menghisap ganja sangat sedikit pengaruhnya terhadap kesehatan, dibanding rokok dan alkohol. Selain itu, ganja diyakini memiliki manfaat untuk pengobatan parkinson, epilepsi atau glaukoma.

Namun menurut Karen Tandy, pejabat di Badan Pemberantasan Narkoba Amerika Serikat dalam artikelnya di Police Chief Magazine, 2005 lalu, itu hanya mitos belaka. Menurutnya, mariyuana bukanlah obat, melainkan sumber penyakit, itulah kenapa Asosiasi Medis Amerika menolak memasukkannya dalam kategori farmasi.

"Komunitas medis dan ilmiah memutuskan bahwa menghisap mariyuana berbahaya bagi kesehatan, bukan penyembuh. Tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan merokok ganja menyembuhkan pasien. Bahkan, Badan Obat dan Makanan tidak menyetujui pengobatan dengan cara dihisap (seperti merokok), karena ini adalah cara yang buruk untuk memasukkan obat," ujar Tandy.

Tahun 2009 lalu, program investigasi BBC menunjukkan bahwa efek ganja lebih merugikan ketimbang alkohol. Dalam penyelidikan tersebut, efek alkohol akan hilang dalam beberapa jam, tapi cannabis bisa membuatmu teler hingga berhari-hari.

"Dalam salah satu studi terhadap 150 pengguna jangka panjang cannabis (orang yang merokok setidaknya enam kali seminggu dalam dua tahun), 66 persen mengaku ingatan mereka menurun, hampir 50 persen tidak mampu konsentrasi pada tugas yang sulit, dan 43 persen tidak mampu berpikir jernih," tulis Christian Today yang mengutip BBC.
Laman ini juga menuliskan bahwa argumen bahwa legalisasi ganja bisa menambah pemasukan bisa dipatahkan. Salah satunya dengan menjadikan legalisasi alkohol sebagai pembandingnya.
Di Amerika Serikat, ongkos pemerintah untuk mengurusi masalah yang berkaitan dengan alkohol, mulai dari rehabilitasi pecandu, kerusakan infrastruktur atau biaya pengadilan, bisa memakan dana hingga US$185 miliar. Padahal, pemasukan pajak dari minuman alkohol hanya sekitar US$14,5 miliar, 12 kali lebih kecil dibanding kerugiannya.

Mariyuana juga diyakini berkaitan erat dengan tindak kejahatan. Hal ini dibuktikan oleh Gil Kerlikowske, direktur pengendalian narkoba di Gedung Putih, dalam wawancara di laman McClatchy DC, Mei lalu.

Dia mengatakan, studi menunjukkan delapan persen pria dewasa yang ditahan atas tindak kriminal di Sacramento, California, tahun lalu, positif menggunakan setidaknya satu jenis obat-obatan ilegal. Mariyuana adalah narkoba yang paling banyak ditemukan terkandung atau 54 persen dari mereka yang tertangkap.

No comments:

Post a Comment