Penanggulangan teror dirasa tidak cukup dilakukan dengan
penangkapan dan penjara. Sebab, akar permasalahannya ada di pemikiran.
Banyak pemikiran radikal berkembang diikuti sejumlah aksi radikal.
"Kita harus luruskan pemikiran radikal yang menjadi akar teror. Ini
tidak bisa dilakukan dengan senjata. Ini hanya bisa dilakukan dengan
dialog para ulama. Makanya, kita mendatangkan ulama dari Mesir dan
Jordania," kata Kepala Badan BNPT, Ansyaad Mbai, saat diskusi 'Menangani
radikal terorisme di Indonesia', di Hotel Sahid, Jakarta, Sabtu malam, 7
Desember 2013.
BNPT mendatangkan tiga ulama dari Mesir dan Jordania. Di negaranya,
mereka terkenal sebagai ulama mantan tokoh penting Jamaah Islamiyah
(JI). Jamaah Islamiyah merupakan organisasi yang sering dikaitkan dengan
aksi teroris di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Mereka yang didatangkan adalah Syekh Hisyam al-Najjar dan Syekh
Najib Ibrahim. Keduanya mantan tokoh penting Jamaah Islamiah dari Mesir.
Kemudian, Syekh Ali Hasan al-Khalaby, tokoh dari Jordania.
"Ketiganya sengaja didatangkan, karena fatwa mereka yang sering dijadikan jargon para teroris di Indonesia," kata Ansyaad.
Dialog dengan ABB
BNPT meminta bantuan ketiga tokoh ini untuk datang dan berdialog
dengan para tokoh JI di Indonesia. Minggu 8 Desember, ketiganya
diberangkatkan ke LP Nusakambangan untuk menemui para terpidana
terorisme yang tengah menjalani masa hukuman di sana. Di antaranya, Abu
Bakar Ba'asyir (ABB).
Ansyaad menjelaskan, dialog itu akan berlangsung selama dua hari.
Selanjutnya, mereka akan berdialog dengan terpidana kasus yang sama di
Lapas Cipingan, Jakarta, selama satu hari. Setelah itu, BNPT akan
memfasilitasi ketiga mantan JI Mesir dan Jordania itu untuk berdiskusi
di sejumlah kampus di Indonesia.
"Kita berharap, para ulama ini bisa meluruskan dan memberi
penjelasan pikiran radikal. Pikiran radikal ini yang menjadi pemicu
terjadinya berbagai tindakan teroris seperti peledakan bom. Sedangkan
tindakan hukum petugas, tidak meredakan semangat jihad yang salah di
pikiran para teroris," kata Ansyaad.
Data Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan, napi teroris yang
menjalani hukuman di Lapas Nusakambangan berjumlah 41 orang. Salah
satunya Abu Bakar Ba'asyir yang menghuni LP Pasir Putih.
BNPT melakukan pendekatan untuk mengundang para tokoh ini sejak
satu tahun lalu. Di antara yang pernah didatangkan untuk berdialog
dengan para narapidana itu adalah Wakil Menteri Agama Nasarudin Umar.
"Saya pernah mencoba berdialog dan berdiskusi dengan mereka. Saya
tidak didengar. Mungkin dianggap kafir, karena mewakili pemerintah atau
dianggap terlalu muda dan kurang pemahaman," kata Nasarudin, Sabtu 7
Desember.
Ia sangat berharap para ulama yang sering dijadikan referensi
berbagai kelompok teroris di Indonesia dapat meluruskan. Pendekatan
deradikalisasi ini, terutama menyasar pada pola pikir.
Perang Pemikiran
Syekh Hisyam al-Najjar menjelaskan, ada kesalahan dalam menangni
para teroris. Yakni, selama ini pemerintah Indonesia terpaku pada
penanganan dalam konteks perlawanan terbuka dengan mengejar dan
menangkap terus menerus para teroris.
"Penangkapan para teroris tidak akan menghentikan penyerangan dan
pengeboman. Penanganan para teroris adalah menjelaskan apa yang ada di
dalam pikiran mereka. Selama pikiran radikal belum berubah, upaya teror
akan terus terjadi," kata dia.
Hal senada disampaikan Ali Hasan al-Halaby. Dia lantas
mempertanyakan peran para ulama Indonesia. "Kemana para ulama? Di mana
para ulama? Memberi masukan untuk meluruskan pemikiran radikal adalah
tugas ulama. Pikiran radikal tidak bisa dilawan hanya dengan penangkapan
dan senjata. Ini perlu peran ulama yang memberikan pencerahan terus
menerus," katanya.
Menurut Ansyaad Mbai, terhitung sejak 2000, sudah 900 orang
ditangkap terkait dugaan aksi teror. 600 di antaranya divonis bersalah
dan dihukum penjara beberapa tahun, hingga yang terberat eksekusi mati.
"Kenyataannya itu tidak efektif, teror terus terjadi hingga kini."
Sementara itu, data kepolisian, sejak tahun 2000 hingga 30 April
2013, dipaparkan bahwa terjadi penangkapan sebanyak 845 orang. Dari
jumlah itu, 83 orang di antaranya meninggal dunia, pelaku bom bunuh diri
11 orang, dan dieksekusi mati ada lima orang.
Kemudian, ada enam orang yang divonis seumur hidup dan 65 orang
dikembalikan ke keluarganya. Sedangkan yang masih dalam proses
penyidikan ada 10 orang, persidangan 47 orang, dan vonis pengadilan 618
orang.
Jaringan teror di Indonesia saat ini, menurut kepolisian, diduga
terkait aktivitas Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar
Ba'asyir. JAT dibentuk ABB pada 2008, setelah JI dinyatakan sebagai
organisasi terlarang di Indonesia usai vonis Abu Dujana pada Agustus
2008.
Proses radikalisasi dibangun oleh kelompok radikal, sebelum melaksanakan serangan terorisme.
Pemahaman-pemahaman radikal yang sering disalahgunakan antara lain: konsep dan makna jihad, thogut, fa'i, ightiyalat, i'dad, dan masjid dhiror. Media radikalisasi biasanya menggunakan internet, media cetak, elektronik, dan media lingkungan sosial.
Rekrutmen berjalan seiring dengan proses radikalisasi, di mana para
anggota yang direkrut biasanya dibaiat seorang amir (pemimpin) dalam
kelompok tersebut. Keluarga pada umumnya tidak mengetahui aktivitas
tersebut, karena dilakukan secara tersembunyi.
Sementara itu, program deradikalisasi yang dilakukan BNPT merupakan
evolusi tahap lanjut dari upaya penangkalan aksi teror di Indonesia.
Kepolisian membagi evolusi strategi penganggulangan teror di Indonesia sejak 1945-2013 sebagai berikut :
- Periode 1945-1966 (Orde Lama), menggunakan pendekatan militer.
Ketika itu, operasi militer digunakan untuk menangkal Darul Islam
(Tentara Islam Indonesia), PRRI, Permesta, dan RMS.
- Periode 1966-1998 (Orde Baru), strategi yang menonjol adalah
intelijen dengan dibentuknya badan ekstra yudisial, yaitu Bakortanas dan
Kopkamtib.
No comments:
Post a Comment