Monday 9 December 2013

Setelah Nelson Mandela Berpulang

Nelson Mandela
Berita Kamis malam itu mengejutkan Afrika Selatan (Afsel) dan dunia. Nelson Mandela tutup usia di rumahnya di Johannesburg. Warga langsung tumpah ruah ke jalan-jalan, isak tangis membahana di seantero negeri.

Warga -beberapa hanya mengenakan piyama- berbondong-bondong datang ke rumah Mandela di distrik Houghton usai berita kematian tersebar pukul 20.50. Mereka menyalakan lilin, menangis, dan berdoa. Beberapa terlihat menari, bukan berduka, melainkan merayakan kehidupan mantan presiden Afsel itu.

"Dia adalah ikon perdamaian. Dia berjuang untuk negeri ini, untuk rakyat, saya sangat menghormatinya. Kematiannya adalah kehilangan besar bagi negeri ini," kata seorang warga kepada kantor berita Sky News, Jumat 6 Desember 2013.

Tidak hanya di Afsel, orang-orang juga berkumpul di beberapa kota di dunia. Salah satunya di Lapangan Trafalgar di London, Inggris, dan di depan patungnya di Washington, Amerika Serikat.

Sesaat setelah pengumuman kematian oleh Presiden Jacob Zuma, ucapan belasungkawa berdatangan dari para pemimpin dunia. Di PBB, Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon melakukan hening cipta. "Mandela adalah raksasa keadilan dan inspirasi yang merakyat," kata Ban, dikutip CNN.

Di Gedung Putih, Presiden Amerika Serikat Barack Obama tidak ketinggalan mengucapkan dukanya. Banjir ucapan selamat terus berdatangan. Mulai dari pemimpin negara hingga para selebritis dan atlet terkenal dunia.

Indonesia juga tidak ketinggalan. Ucapan belasungkawa disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.

Menurut kantor berita SAPA, jasad pria berusia 95 tahun ini telah dipindahkan ke rumah sakit militer di Pretoria. Dia rencananya akan dibalsem untuk dua-tiga hari ke depan. Upacara mengenang Mandela di stadion bola Johannesburg.

Barulah pekan depan -antara Jumat atau Sabtu- tokoh anti apartheid ini akan diterbangkan untuk dikuburkan di kampung halamannya, Qunu. Sementara itu, bendera setelah tiang akan terus berkibar di Afsel.

Dalam beberapa bulan terakhir, kondisi Mandela memang terus menurun. Juni lalu, dia dilarikan ke rumah sakit akibat infeksi paru-paru, kondisinya kritis. Dia dipindahkan ke rumahnya pada 1 September lalu. Kamarnya disulap menjadi unit perawatan intensif (ICU), dengan alat penopang kehidupan yang terus bekerja.

Penyakit paru ini telah diidapnya sejak di penjara Pulau Robben, tempatnya mendekam selama 27 tahun.

Lahir pada 18 Juli 2918 di klan Madiba di kota Mvezo, Mandela kecil diberi nama Rolihlahla, yang dalam istilah Xhosa, berarti "pembuat kekacauan". Nama Nelson disematkan oleh guru SD Qunu tempatnya belajar.

Dia sempat kuliah di Universitas College of Fort Hare mengambil jurusan sejarah. Namun dikeluarkan akibat terlibat unjuk rasa. Dia kemudian meraih gelar sarjana hukum di Universitas Afrika Selatan dan kembali ke Fort Hare untuk ikut prosesi wisuda di tahun 1943.

Mandela kabur ke Johannesburg tahun 1941 karena ingin dikawin paksa. Di kota ini, penggemar tinju ini kuliah di Universitas Witwatersrand mengambil jurusan hukum tahun 1943. Dia keluar dari kampus itu tahun 1948 karena kekurangan biaya.

Di kampus dengan beragam etnis itu, Mandela melihat situasi Afrika yang radikal, liberal, rasis dan diskriminatif. Dari sinilah sikap anti apartheidnya muncul.

Setelah serangkaian demonstrasi dan aksi, dia divonis seumur hidup pada Pengadilan Rivonis tahun 1962 karena percobaan menggulingkan pemerintahan. Dia dibebaskan tahun 1990 berkat lobi internasional dan desakan dari dalam negeri.

Tahun 1993, bersama dengan Presiden Afsel kala itu F.W. de Klerk, Mandela meraih penghargaan Nobel perdamaian atas perannya menghapuskan sistem dominasi kulit putih dan diskriminasi kulit hitam, apartheid.

Pria yang gemar memakai baju batik -atau disebut Madiba shirt di Afsel- ini terpilih jadi presiden pada tahun 1990 hingga 1999. Usai kepemimpinannya, Mandela mengumpulkan para pemimpin dunia di bawah bendera The Elders. Selain itu, dia juga kerap turun membantu Afsel mengatasi penyebaran AIDS dan mempromosikan perdamaian dunia.

Saat menjabat presiden, dia disenangi karena kelugasannya dalam bersikap. Salah satunya saat mengkritik kebijakan George W Bush di Irak saat Presiden AS itu berkunjung ke Afsel tahun 2003. Dia mengatakan bahwa Bush adalah "presiden yang tidak bisa berpikir dengan benar."

Dicap Teroris

Kendati hubungan dengan Amerika dan Inggris terlihat baik-baik saja, namun ironisnya Mandela ternyata dicap teroris oleh dua negara itu. Label teroris ini baru dicabut Inggris pada tahun 2006 dan Amerika tahun 2008.

Masuknya Mandela dalam daftar teroris Barat tahun 1980an karena kepemimpinannya dalam UmKhonto we Sizwe (MK), sayap militan ANC (Kongres Nasional Afrika). Selain itu, dia juga dicap komunis karena Uni Soviet sangat dekat dengan ANC. Partai Komunis Afrika Selatan juga merupakan sekutu dekat ANC.

Tahun 1961, MK melakukan serangan bom dan sabotase terhadap fasilitas pemerintahan apartheid. Dalam pengadilannya, Mandela mengaku bersalah atas 156 kekerasan publik, termasuk pengeboman, salah satunya di stasiun kereta Johannesburg yang menewaskan orang tidak berdosa.  Mandela dipenjara 27 tahun akibat tindakan tersebut.

"ANC adalah tipikal organisasi teroris. Semua orang yang berpikir partai ini akan menjalankan pemerintahan di Afrika Selatan berarti mereka telah hidup di negeri dongeg," kata Perdana Menteri Inggris kala itu, Margaret Thatcher tahun 1987.

Kendati masa lalunya yang kelam, namun di bawah Mandela, ekonomi Afsel mengalami kemajuan. Mandela yakin betul, perekonomian yang kuat berhubungan erat dengan perkembangan politik negara. Berakhirnya sistem apartheid berarti terbukanya kesempatan yang luas bagi warga kulit hitam untuk bekerja.

Pertumbuhan ekonomi Afsel meningkat dari kurang dari 1,5 persen dari tahun 1980 dan 1994, menjadi 3 persen dari 1995 ke 2003. Pendapatan rata-rata warga kulit putih Afsel meningkat 62 persen dari 1993 hingga 2008, menurut ahli ekonomi dari Universitas Cape Town Murrah Leibbrandt.

Peningkatan pendapatan terbesar dialami oleh warga kulit hitam dalam periode yang sama, yaitu 93 persen. Kesempatan memperoleh pendidikan juga meningkat. Jumlah angka pelajar meningkat dari 50 persen menjadi 70 persen dari 1994 hingga 2005.

Afsel juga menjadi mitra penting bagi negara tetangga. Investasi regional di Afsel saja sekitar 70 persen. Impor meningkat dari US$16,3 miliar tahun 1993 menjadi US$68,7 miliar tahun 2006.

Namun dia punya kesalahan fatal karena lambat dalam kampanye penanganan HIV/AIDS yang mengurangi peluang hidup rakyat Afsel. Tahun 1993, hanya empat persen dari wanita hamil HIV positif di negara itu. Jumlah ini meningkat 28 persen 10 tahun kemudian. Sekarang satu dari 10 populasi di negara itu HIV-positif.

Selepas Mandela

Namun kemajuan ekonomi Afsel tidak dirasakan seluruh rakyat. Pengentasan diskriminasi di negara itu ternyata belum juga usai. Jurang pemisah antara kulit hitam dan putih masih lebar.

Walaupun dalam sepuluh tahun terakhir Afsel kerap menggembar-gemborkan keseimbangan di bawah jargon "memperkuat ekonomi kulit hitam", namun nyatanya negara ini masih merupakan salah satu yang paling timpang masyarakatnya. Kulit putih masih mendominasi perekonomian.

Tahun 1993, pendapatan kulit putih sembilan kali lipat lebih besar dari kulit hitam. Tahun 2008, jumlah ini hanya turun sedikit, kurang dari delapan kali lipat lebih besar.

Reuters menuliskan, satu dari tiga orang kulit hitam adalah pengangguran. Sementara hanya satu dari 20 kulit putih yang menganggur.

Program pengentasan kemiskinan juga berjalan lambat. Hanya enam persen rumah kulit putih yang tidak dialiri air bersih. Sementara sepertiga warga etnis Afrika tidak memiliki akses air.

Ketimpangan bahkan bisa terlihat di pemukiman tempat Mandela tinggal di Houghton. Rumah-rumah orang kaya di wilayah itu kebanyakan milik kulit putih. Kulit hitam, hanya jadi pembantu, satpam atau tukang kebun.

"Mandela melakukan terlalu jauh dalam berbuat baik pada komunitas non-hitam, bahkan di beberapa kasus mengorbankan kulit hitam. Itu terlalu baik," kata Presiden Zimbabwe, Robert Mugabe dalam dokumenter yang ditayangkan stasiun televisi Afsel Mei 2013 lalu.

Setahun terakhir, Afsel dilanda mogok kerja besar para karyawan industri pertambangan dan manufaktur, menyebabkan pertumbuhan GDP tersendat. Kuartal ketiga tahun ini, ekonomi Afsel hanya tumbuh 0,7 persen dari kuartal sebelumnya. Bandingkan dengan pertumbuhan 3,2 persen di kuartal kedua.

"Mandela terus mengatakan: 'Saya di sini untuk rakyat, saya adalah pelayan negara.' Tapi apa yang dia lakukan? Dia tandatangani dokumen yang memperbolehkan kulit putih menguasai tambang dan pertanian. Dia tidak melakukan apapun untuk orang miskin di negara ini," kata warga, Majozi Pilane, 49.

Hal ini juga disampaikan oleh mantan istrinya sendiri, Winnie Madikizela-Mandela, dalam wawancara tahun 2010 dengan penulis buku V.S. Naipaul. Dia mengatakan, Mandela berubah setelah menjalani hukuman penjara 27 tahun.

"Mandela masuk penjara saat menjadi revolusioner muda yang membara. Tapi coba lihat dia sekarang. Mandela mengecewakan kita. Dia menyetujui kesepakatan yang buruk bagi kulit hitam. Secara ekonomi kita (kulit hitam) masih tertinggal. Ekonomi hanya untuk kulit putih," kata Winnie.

Mandela bukanlah malaikat. Tapi tidak bisa dipungkiri, sosoknya jadi kebanggaan dan pahlawan pembela orang yang termarjinalkan. Ketiadaan Mandela di samping mereka, dikhawatirkan akan membuat jurang pemisah hitam dan putih semakin dalam.

"Sekarang tanpa Madiba, saya seperti tidak lagi punya kesempatan. Orang kaya akan semakin kaya, dan melupakan kami. Orang miskin diabaikan. Lihat politisi kita sekarang, mereka tidak ada yang seperti Madiba," kata Joseph Nkosi, 36, warga Alexandra, Johannesburg.

Menjawab rasa pesimistis ini, mantan uskup Cape Town Desmond Tutu mengatakan bahwa sikap pwesimistis itu malah merendahkan warisan Mandela.

"Mengatakan bahwa Afrika Selatan mungkin akan kacau -seperti yang diprediksi beberapa orang- akan merusak warisan Madiba," kata Tutu dalam pernyataannya.

"Matahari akan tetap terbit besok, lusa dan seterusnya. Mungkin memang tidak seterang kemarin, tapi kehidupan harus terus berjalan," lanjutnya.

No comments:

Post a Comment