Saturday, 26 January 2013
Mengapa Perempuan Amerika Boleh Maju Berperang. Jika tak ikut berperang, karir militer mereka mandeg
Bila pernah menonton film "G.I Jane," Anda pasti terpikat dengan peran Demi Moore sebagai seorang perempuan yang berjuang mati-matian menjadi prajurit tempur bagi pasukan khusus AS. Dengan berkepala plontos dan postur berotot, dia harus menjalani berbagai cobaan dari para instruktur laki-laki - mulai dari pelecehan ringan hingga dihajar habis-habisan - sebelum akhirnya bisa berlaga di medan tempur sungguhan.
Film garapan Ridley Scott itu sudah lama ditayangkan, yakni pada 1997. Butuh belasan tahun lagi bagi para perempuan Amerika bahwa menjadi pasukan tempur di garis depan bukan di film semata, melainkan sudah menjadi peluang nyata untuk menjalani dan merasakannya sendiri.
Pemerintah AS kini sudah membolehkan perempuan untuk berlaga di garis depan peperangan menjadi prajurit tempur. Bagi kalangan pejuang hak-hak perempuan, ini adalah suatu terobosan karena selama ini kaum hawa hanya dipandang sebelah mata di dunia kemiliteran. Jenjang karir mereka tidak bisa berkembang seperti laki-laki lantaran tidak punya pengalaman bertempur.
Diumumkan di Gedung Pentagon, Washington DC, pada Kamis sore waktu setempat, Menteri Pertahanan Leon Panetta mengatakan bahwa kebijakan ini sekaligus mencabut larangan resmi yang dibuat pada 1994 atas keikutsertaan perempuan di garis depan pertempuran.
Menhan Panetta rupanya sudah menampung banyak keluhan dari para perempuan mengenai mandeknya karir mereka di kemiliteran. "Saya secara fundamental yakin bahwa militer kita [AS] akan lebih efektif bila kesuksesan semata-mata diukur dari kemampuan dan kualifikasi serta kinerja," kata Panetta kepada para wartawan, seperti dikutip stasiun berita BBC.
Dia mengumumkan kebijakan baru pemerintah itu bersama dengan Ketua Gabungan Para Kepala Staf Militer AS, Jenderal Martin Dempsey. Panetta mengingatkan kebijakan ini pantas dikeluarkan mengingat perjuangan dan pengorbanan kaum perempuan Amerika di medan perang dalam beberapa tahun terakhir sudah terbukti, terutama bersamaan dengan operasi militer AS di Irak dan Afganistan.
"Mereka bertugas, mereka terluka, dan mereka juga gugur bersama yang lain. Kini waktunya untuk mengakui realitas itu," kata Panetta, sambil mengingatkan bahwa hingga kini 152 perempuan Amerika yang berseragam tentara gugur di Irak dan Afganistan, walau mereka tidak berlaga di garis depan.
Walau pemerintah sudah membolehkan, tidak berarti para perempuan serta merta bisa langsung ikut dinas tempur di semua kesatuan. Ada beberapa unit militer yang masih butuh proses beberapa tahun untuk penyesuaian.
Beberapa kesatuan tahun ini sudah siap menerima perempuan masuk ke unit tempur. Namun, ada beberapa satuan - terutama pasukan elit seperti Navy Seals dan Delta Force - yang masih butuh waktu.
Namun, Menhan Panetta - yang tahun ini segera pensiun - meminta semua petinggi militer untuk membuat laporan dan menyerahkannya pada 15 Mei mendatang dalam penyesuaian proses menerima dan mempersiapkan perempuan sebagai prajurit tempur. Panetta berharap semua kesatuan bisa seluruhnya siap mulai 2016.
Beragam Tanggapan
Kebijakan ini disambut hangat oleh Presiden Barack Obama, yang baru dilantik untuk periode kedua pada 20 Januari 2013. Dia menyebutkan sebagai langkah yang bersejarah. "Terobosan ini mencerminkan pengabdian yang berani dan patriotik kaum perempuan selama lebih dari dua ratus tahun sejarah Amerika dan peran perempuan yang sangat diperlukan dalam militer masa kini," lanjut Obama.
Terobosan yang diumumkan pemerintah itu tidak lepas dari upaya hukum sejumlah perempuan berseragam militer dalam menuntut keadilan untuk berkarya dan berkarir. Pada November 2012, empat perempuan menggugat secara hukum Departemen Pertahanan soal larangan kaum hawa menjadi prajurit tempur. Langkah itu dianggap inkonstitusional.
Salah seorang penggugat, Kapten Zoe Bedell, mengaku bahwa larangan itu telah membuat dia tidak bisa melanjutkan jenjang karir yang lebih tinggi sebagai personel Marinir AS. Selama perang di Irak dan Afganistan, perempuan prajurit AS hanya bertugas sebagai tenaga pendukung, entah itu personel medis, polisi militer dan staf intelijen.
Ada yang bekerja sampai ke garis depan pertempuran, namun tidak secara resmi ditugaskan ke sana. Itulah mengapa karir perempuan prajurit seperti Bedell tidak sampai berkembang, sedikit sekali dari mereka yang bisa menjadi perwira tinggi berpangkat jenderal. Dari 1,4 juta personel militer aktif AS, hanya 14% berjenis kelamin perempuan.
Hingga 2012, BBC mencatat, sudah lebih dari 800 perempuan prajurit AS yang luka-luka dan lebih dari 150 tewas di Irak dan Afganistan. Salah satu yang luka fatal adalah Tammy Duckworth.
Kedua kakinya terpaksa diamputasi setelah helikopter Black Hawk yang dia piloti ditembak jatuh oleh musuh saat berdinas di Irak pada 2004. Pensiun dari dunia militer dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel, Duckworth sempat aktif di organisasi veteran perang sebelum akhirnya sukses menjadi anggota DPR dan dilantik pada 3 Januari 2013.
Para perempuan prajurit AS tentu menyambut baik kebijakan baru pemerintah mereka. Mayor Mary Hegar, pilot helikopter untuk Garda Nasional Udara California, menyebutnya sebagai "lompatan jauh ke depan."
Dia turut bergabung dalam kelompok American Civil Liberties dalam menuntut pemerintah memberi kesempatan setara kepada perempuan yang berdinas militer, termasuk menjadi prajurit tempur. Kini, Hegar menunggu seberapa serius para jenderal dan komandan militer menindaklanjuti keputusan dari Pentagon. "Akan ada penghalang-penghalang di masa depan," lanjut Hegar, seperti dikutip kantor berita Reuters.
Namun tidak semua perempuan Amerika yang senang dengan pengumuman pemerintah itu. Kelompok konservatif Concerned Women for America Legislative Action Committee menilai langkah tersebut bisa mengurangi kualitas militer dalam melindungi AS.
"Militer kita tidak bisa terus-terusan memilih eksperimentasi sosial dan pembenaran politis di atas kesiapan tempur," kata Penny Nance sebagai pemimpin kelompok.
Seorang perempuan yang menjadi perwira Angkatan Laut AS, Suzanne Lachelier, mengingatkan bahwa tanpa diberi tugas sebagai prajurit tempur, para kaum hawa yang bertugas di Afganistan dan Irak sudah menjalani tugas yang berbahaya dan mempertaruhkan nyawa mereka.
"Banyak dari kami menjadi sasaran utama musuh karena mereka ingin memutus pasokan logistik, sedangkan kaum kami rata-rata bertugas sebagai supir truk maupun pilot pesawat pembawa logistik yang harus terbang rendah. Itu tugas berbahaya yang membuat mereka jadi target," kata Lachelier, yang berdinas di belakang meja sebagai konsultan hukum di Angkatan Laut.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment