Saturday, 26 January 2013

Sumber Petaka Banjir Jakarta. Dari vila di Puncak sampai sungai dangkal. Apa aksi selanjutnya?

Tri Susanto, dan tiga rekannya sibuk mematikan panel listrik di basement satu di Gedung United Overseas Bank (UOB), Kamis pagi, pekan lalu. Hujan mengguyur Jakarta sejak malam. Di pekarangan gedung 48 lantai itu, air mulai tergenang. Para pekerja listrik  itu harus bekerja cepat, agar kabel basah tak membawa petaka.
Baru saja kelar, Tri dan kawan-kawannya kaget. Dari luar, air menerjang ke basement itu, seperti ditumpahkan dari bejana raksasa. Coklat. Keruh. Tiap sudut  ruang bawah itu disapu air, yang lalu mengucur ke empat lapis kolong lainnya.  Sebentar lagi, pikir Tri, empat tingkat ruang bawah itu pasti jadi kolam raksasa.
Tanpa pikir panjang, Tri dan rekannya lari menyelamatkan diri. Mereka berkejaran dengan derasnya gelombang air. Ketiganya berhenti berlari, ketika melihat seorang pengemudi terjebak. Mobilnya terhalang tembok. Tri dan rekannya menolong dengan menarik mobil itu pakai selang hidran.
Tapi Tri dan tiga temannya itu justru diseret arus. Tri dan Tito Fitrianto terdampar di pojok. Dua rekan lain, tetap di tengah koridor, dan beruntung bisa meraih tali yang diulurkan petugas keamanan. “Dua teman saya berhasil selamat, dan keluar dari basement satu," kata Tri kepada VIVAnews di rumahnya, Cilodong, Depok, Kamis 23 Januari 2013.
Saat itu, Tri dan Tito terancam tamat. Air sudah setinggi leher. Tri panik, karena tak bisa berenang. Ruang basement itu gelap. Tito mencari jalan keluar melalui salah satu cerobong. Tapi Tri tertinggal. "Saya menangis, dan bilang ke Tito supaya tidak meninggalkan saya," ujar Tri dengan mata berkaca-kaca.
Tri meraba setiap benda. Dia mencari jalan menuju tangga eskalator. Dia menyelam. "Butuh empat kali percobaan bagi agar bisa menyelam, karena saya tidak bisa berenang, dan nafas sudah mulai sesak," ujarnya. Tri akhirnya selamat, setelah dia merangkak menaiki tangga eskalator itu.
Tapi dua cleaning service lain yang terjebak, Abdul Arif Agus dan Hardianto Eko alias Eris, tak seberuntung Tri dan Tito.  Kedua orang itu ditemukan dalam kondisi tak lagi bernyawa.
Hari itu banjir membenam Jakarta. Ibukota dalam kondisi darurat.
Kombinasi ekstrem
Hujan deras mengguyur pekan lalu itu membuat debit air melonjak. Kanal Banjir Barat di Jalan Latuharhary, Menteng, tak kuat menahan arus. Tanggul buatan tahun 2002 itu pun jebol.
Itu sebabnya, air meluber di jalan utama Jakarta, dan menerjang sampai menyisakan tragedi di Gedung UOB itu.
Jalan Jenderal Sudirman dan MH Thamrin tenggelam. Kawasan Dukuh Atas hingga Sarinah menjadi 'sungai'. Gedung pencakar langit dikepung air bah. Lalu lintas lumpuh. Bahkan, air menorobos “ring 1” Istana Negara.
Menteri Koordinator Kesejahteraan, Agung Laksono, pun menyatakan Jakarta Siaga I. Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, menetapkan tanggap darurat bencana banjir sampai 27 Januari.
Selain menggasak jantung Ibu Kota, banjir melumpuhkan kawasan utara Jakarta. Waduk Pluit meluap merendam rumah warga. Sedikitnya 4.000 jiwa di Kelurahan Pluit kebanjiran. Begitu juga daerah elit Kelapa Gading. Jalan Boulevard Raya depan Mal Kelapa Gading terendam sekitar satu meter.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, Muhamad Hasan, mengatakan banjir lima tahunan itu adalah kombinasi hujan ekstrem, dan kondisi sungai Ibukota yang tak lagi memadai.
Misalkan, kata dia, Rabu malam itu hujan turun sampai 218 milimeter. Itu mendekati puncak hujan pada 2007, yang mencapai 220 milimeter.  Gawatnya lagi, kali ini durasinya lebih lama.
Di Depok, Bogor dan Puncak, hujan juga turun menggila, tiga hari mengucur dengan curah 100 milimeter. Di Pintu Air Katulampa, air membuncah. “Jakarta tak siap menerima beban itu," kata Hasan.  Air kiriman itu pun lolos karena sistem drainase yang buruk. Sedimentasi yang parah, membuat sungai kian dangkal.
Hasan juga menjelaskan, sejumlah waduk juga tak berfungsi baik. Sebagian besar menjadi dangkal. Sedimen Kanal Banjir Barat kian tebal. Pintu air Manggarai turun mencapai 760 senti, masuk siaga tiga. Perbaikan permanen baru dilakukan jika turun mencapai 750 senti.
Jebolnya tanggul di Latuharhary adalah akibat daerah itu menjadi bagian hulu Kanal Banjir Barat. Terjangan air paling kuat di sana. "Selain itu, masih pakai tanggul tanah," ujar Direktur Sungai dan Pantai Direktorat Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, Pitoyo Subandrio. Tanggul jebol itu, kata dia, akan segera diganti.
Ada empat lokasi yang patut diwaspadai, kata Pitoyo. Antara lain, Stasiun Tanah Abang. Di sana, ada penurunan tanggul, dan dicemaskan penampungan air bisa tak maksimal. Lalu kali dekat Season City. Ada jalan inspeksi untuk lalu lintas umum di sana, dan itu sudah retak.
Kali Ciliwung pun kini hanya mampu menampung air hingga 50 persen, akibat bantaran kali itu sudah padat oleh pemukiman.
Kurang pengawasan
Banjir tak hanya terjadi di aliran sungai Ciliwung melalui Kanal Banjir Barat. Tapi juga di sejumlah daerah yang dilindungi oleh Kanal Banjir Timur. Contohnya Kelapa Gading, Jakarta Utara. Juga daerah perindustrian Pulogadung. Kawasan ini kebanjiran meski telah dilindungi KBT.
Pengamat Perkotaan Yayat Supriatna, menilai tak berfungsinya KBT dan KBB karena soal pengawasan dan perawatan. Bisa juga akibat volume kanal tak terlalu besar. Apalagi, diganggu oleh hal-hal lain. "Saya melihat kala itu ada pekerjaan konstruksi terkait reklame," kata Yayat.
Dia mengatakan, penanganan struktural saja tak akan mempan untuk soal banjir. Misalnya, soal drainase yang tidak optimal. Hal itu sebagian besar akibat tersumbat, alias penyempitan karena banyaknya sampah.
Pendekatan struktural tanpa aspek penataan ruang di kawasan hulu Ciliwung itu, Yayat menabahkan, tak akan efektif. Apalagi sodetan. Soalnya, air yang tumpah di Puncak membawa efek tambahan run off . KBT dan KBB pun tak kuat menampung limpahan air. Tengoklah, kata Yayat, apalagi kini sedimentasi amat tinggi di kedua tempat itu.
Artinya, kata Yayat, pendekatan non struktural, yang melibatkan masyarakat perlu diperbesar. Sejak zaman Belanda, pendekatan struktural  itu gagal terus. Selain itu, perlu dibuat peta mikrodrainase di Jakarta lebih rapi. Apalagi, kini pemukiman kian pesat berkembang.
Bagi pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago, soal solusi banjir sudah kerap dibicarakan. Pemerintah tinggal mewujudkan rencana itu. "Sekarang kita tinggal menunggu aksinya saja," kata dia. Dia menyarankan, ada pembagian peran antara pemerintah pusat dan DKI untuk mengatasi banjir.
Misalnya, daerah aliran sungai itu adalah urusan pemerintah pusat. Termasuk mengeruk sungai, dan memelihara waduk. Lalu Pemprov DKI mengurusi warga, dan relokasi untuk menormalisasi sungai.
Rencana Jokowi
Semua itu, kata Andrinof, sangat tergantung peran gubernur. Lalu apa langkah Jokowi?
Sang gubernur DKI Joko Widodo, melihat faktor terpenting penyebab banjir adalah adaunya intensitas hujan yang tinggi. Dengan menjamurnya vila-vila di hulu, kata Jokowi, daya serap air semakin kecil.  "Percuma kita buat sisi KBT dan lainnya, kalau itu tidak dibenahi," ujarnya.
Itu sebabnya, tahun ini Pemprov DKI tak lagi banyak menunggu. Kata Jokowi, mereka akan konsentrasi mengeruk semua waduk, termasuk di Pluit. Waduk tambahan seperti Waduk Ciawi dan Waduk Cimanggis segera dirampungkan. Normalisasi Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, Sunter juga akan dimulai. Tentu, turut dipikirkan pula relokasi warga di sekitar waduk.
Ongkos proyek ini juga besar. Untuk normalisasi Kali Ciliwung, misalnya, dananya Rp250 miliar. Untuk pembebasan tanah di Pesanggarahan, Kali Angke dan Sunter juga sudah dianggarkan sebesar Rp400 miliar. Di Jakarta Utara, pompa-pompa baru akan dibangun, di antaranya di Muara Baru dan Ancol. "Semoga kelihatan lah itu hasilnya," ujarnya. (np)

No comments:

Post a Comment