Monday, 30 December 2013

Necrotizing Fasciitis, Ganasnya Bakteri Pemangsa Daging Manusia

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJg2ghaV9skJXIPpY7ACtmryV7Fd2swYnePq3z96-Q4LW74GS2j4AVsGbtFae635ixTk4H7IQ0y_MZfpF0Sghm8a338YkFI7Akds-1ISzS6c-VsEYtHNmSuZKgcMTUhnh5z-LO4AyMU_p8/s1600/Necrotizing-fasciitis1.jpegSiang itu hari pertama bulan Mei. Aimee Copeland tengah menikmati libur musim panas. Bersama sejumlah kawan. Mereka menjajal flying fox buatan sendiri. Meluncur memacu andrenalin melewati sungai Little Tallapoosa. Hari itu mereka gembira ria.
Tapi petaka datang lewat penopang tubuh. Aimee lepas kendali, lalu terlempar ke tepian sungai. Luka menganga di betis kiri. Kawan-kawannya mengotong dia ke unit gawat darurat di rumah sakit terdekat. Liburan tahun 2012 ini berujung suram. Dia menerima 22 jahitan guna menghentikan rembesan darah. Sesudah itu dia pulang ke rumah.

Sehari berselang. Mahasiswi program master di West Georgia University itu ditimpa sakit luar biasa di sekitar area jahitan. Dia terpaksa masuk lagi ke unit gawat darurat dan pulang mengantongi obat pereda sakit Motrin dan Tylenol.

Tapi dua obat itu sama sekali tidak mempan. Bukannya mengering, luka malah kian membesar. Area sekitar luka membengkak dengan ruam-ruam yang perih. Bersama rasa sakit tak terperikan itu, ia masuk lagi ke unit gawat darurat. Ini yang ketiga.

Dokter yang memeriksa terkejut melihat luka yang kian membesar itu. Sang dokter lalu memintanya melakukan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Ini scanning untuk melihat efek luka terhadap jaringan tubuh, organ, dan juga tulang.



Quote:
Masuk hari keempat. Luka itu semakin menyiksa. Tubuh gadis 24 tahun ini lunglai membaca hasil diagnosis. Mengarah pada infeksi bakteri pemakan daging. Bahasa medisnya necrotizing fasciitis. Dan si bakteri itu ganas merangsek. Menyusup masuk ke pori-pori daging lalu melumatnya.
Nyawa Aimee terancam. Maut itu sudah menyusup masuk sampai ke paha dan pinggul. Daging di paha rusak digerogot bakteri itu. Dokter sekuat tenaga membantu. Upaya darurat yang bisa dilakukan adalah mengangkat semua jaringan luka. Tapi tak mampu menghentikan laju sang bakteri.

Dokter di situ menyerah. Lalu menerbangkan Aimee ke JMS Burn Center Augusta, sebuah rumah sakit yang memiliki unit perawatan infeksi paling canggih di Georgia.

Gadis itu seperti bertarung dengan banyak musuh. Mengejar waktu dan menahan laju rangsek si bakteri ke organ tubuh penting. Jika sampai paru-paru atau jantung, selesailah sudah. Sampai di Agusta, Aimee kritis. Nafas satu-dua.

Keganasan bakteri telah membunuh sejumlah jaringan tubuhnya. Para dokter di situ berkutat dengan bakteri itu. Membawa sampelnya ke laboratorium lalu melakukan analisa. Tidak ada jalan lain. Bakteri rakus ini menggiring para dokter itu ke satu sudut: amputasi.

Kaki kiri Aimee harus dipotong hingga batas pangkal paha. Bukan itu saja. Sedikit jaringan diperut harus dibuang, sebab bakteri sudah membajak di situ. Keluarga menunggu cemas di luar ruangan operasi.


"Operasi itu berjalan lancar, tapi dokter mengatakan harapan hidup Aimee sangat tipis. Hanya doa yang bisa menyelamatkannya," kata sang ayah, Andy Copeland, dalam blognya aimeecopeland.com.

Kekuatan doa dan upaya para dokter itu tidak sia-sia. Aimee mampu melewati fase kritis pertama.

Kesadarannya perlahan pulih. Meski belum bisa bergerak dan bersuara, dia sudah bisa tersenyum. Sudah bisa berkomunikasi dengan mengerakkan bibir.

Dua pekan semenjak amputasi itu, kondisi Aimee belum juga stabil. Jemari tangan dan kaki kanan Aimee mulai memperlihatkan ruam yang sangat buruk. Menandakan tak ada aliran darah di sana. Potensi infeksi semakin nyata di area tersebut.

Andy pasrah ketika dokter kembali merekomendasikan amputasi. "Lakukan apa saja untuk memberi kesempatan terbaik yang bisa menyelamatkan hidup Aimee," kata ayah dua putri itu. Dan bukan cuma Aimee yang berjuang tapi juga kakak dan ayah-ibunya.

Sang ayah berjuang menata emosi, menahan air mata dan rasa perih ketika menyampaikan kabar buruk kepada putri bungsunya itu soal amputasi kedua. Bersama istrinya, Donna Copeland, dan putri sulungnya, Paige Copeland, Andy segera mengunjungi kamar Aimee sesudah mendengar rekomendasi dokter.

Sang ayah membuka obrolan dengan bercanda. Canda dan saling menguatkan sekitar 30 menit. Lalu sang ayah menggenggam tangan Aimee. Mendekatkan ke wajahnya. Lalu berkata, "Aimee, tangan ini tidak sehat, dan bisa menghambat penyembuhan." Suasana kamar itu senyap. Berdebar mereka menunggu jawaban si bungsu.
Aimee mengangguk.


"Aimee, aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu. Pikiranmu masih sangat sehat, jantungmu baik dan semangatmu menyala. Dokter ingin mengamputasi tangan dan kakimu hari ini untuk memastikan kesempatan terbaik bertahan hidup," kata sang ayah dengan suara tercekat.

Aimee mengangguk lagi.

Sang kakak ikut memompa semangat. Dia bercerita tentang tangan dan kaki palsu yang memungkinkan pasien amputasi bisa beraktivitas normal. Mendengar cerita itu Aimee tersenyum. Sejenak dia menatap keluarganya. Lalu sembari senyum menjawab pelan, "Segera lakukan!" Ruang rawat itu tersapu haru.

Melangkah keluar dari situ, sang ayah tak lagi bisa menahan lelehan air mata. Menangis bukan saja karena putrinya akan kehilangan tangan dan kaki. Tapi juga menangis karena selama 53 tahun dalam hidupnya belum pernah melihat ketegaran sebesar itu. Dan itu putri kandungnya sendiri. Yang amat disayangi.

Asal Mulanya Luka Sepele
Necrotizing fasciitis. Bakteri ganas itu bukan hanya menenggelamkan Aimee Copeland ke titik nadir, tapi juga sejumlah warga di Georgia. Ketika Aimee berjuang mempertahankan nafas, di tempat lain tiga warga Georgia Paul Bales, Bobby Vaughn, dan Lana Kuykendall bertahan hidup dengan alat bantu pernafasan.

Dan semuanya bermula dari luka sepele.
Hari pertama bulan Mei, Paul Bales mengalami luka di kaki saat tengah membangun dermaga di danau Sinclair, dekat Milledgeville, Georgia. Tak merasa ada yang kritis, kakek 67 tahun itu hanya membalut lukanya dengan perban. Sesudah itu seperti hari yang sudah-sudah. Aktivitas seperti biasa. Dan pergi main golf.

Petaka itu mulai dirasakan hari keempat. “Luka itu tiba-tiba membengkak empat hari kemudian," kata Mike Bales, anak laki-laki Paul. Di usia senjanya kakek Paul terpaksa kehilangan kaki kiri.

Bobby Vaughn mungkin lebih beruntung. Meski tim bedah harus mengangkat jaringan mati di pangkal paha seberat hampir satu kilogram, serangan bakteri pemakan daging itu tak sampai membuat anggota tubuhnya diamputasi. Bakteri ganas itu menyusup ke tubuh pria 33 tahun lewat luka kecil di paha. Tergores mesin pemotong rumput di Cartersville, Georgia.

Lain lagi cerita Lana Kuykendall. Wanita 36 tahun itu baru saja bersuka cita. Melahirkan bayi kembar. Tapi beberapa jam setelah meninggalkan sebuah rumah sakit bersalin di Atlanta, Georgia, dia menyadari ada kenyerian dalam memar kecil di kakinya.

Memar itu membesar cepat. Bertambah lebar dalam hitungan jam. Si memar kecil yang kian meraksasa itu memaksanya kembali ke rumah sakit. Melewati tujuh kali operasi, kondisinya kini masih kritis.

Empat kasus dalam waktu hampir bersamaan itu sontak membuat panik warga Georgia. Mereka takut dengan wabah bakteri pemakan daging manusia. Orang-orang lalu menghindari lokasi di mana para korban terinfeksi.

Bukan hanya warga Georgia, penyakit ini kemudian membetot perhatian warga Amerika Serikat, pemerintah dan para ahli bakteri dari seluruh dunia. Sepanjang pekan lalu, para ahli kesehatan di negeri Barrack Obama itu sibuk menelisik bakteri ganas ini. Dan berusaha keras meredam penyebaran.

Dan ternyata bakteri itu sudah pernah mengamuk di masa lalu. Bukan hanya di Amerika Serikat. Menyebar di Kanada hingga Belanda di Benua Eropa. Korbannya juga sudah banyak Sejumlah tokoh dunia bahkan pernah dimangsa.

Tahun 1994, Perdana Menteri Quebec, Kanada, Lucien Bouchard, kakinya digerogoti bakteri ini. Kaki sang perdana menteri itu terpaksa diamputasi. Kasusnya disebut sebagai yang pertama terekam media.

Mantan Perdana Menteri Belanda, Peter Balkenende, juga digerogoti bakteri serupa pada 2004. Beruntung, penanganan cepat menyembuhkannya, tanpa harus masuk kamar operasi. Tanpa harus amputasi.

Pada 2005, necrotizin fasciitis bahkan merenggut nyawa Alexandru Marin, profesor peneliti di MIT Boston University dan Harvard University. Setahun kemudian, David Walton, seorang pakar ekonomi asal Inggris juga kehilangan nyawa, hanya dalam tempo 24 jam setelah tubuhnya diketahui digerogoti bakteri ganas itu.

No comments:

Post a Comment