Malam Paskah. Rimbun deretan pohon aprikot yang tengah ranum itu memberi
ketenangan. Malam berlangsung damai. Penduduk kota Slovyansk, timur
Ukraina, sudah lebih banyak bercengkrama di dalam rumah. Namun
mendadak, di sebuah sudut kota, situasi berubah mencekam. Pukul dua dini
hari terdengar letusan senjata api. Baku tembak sengit pun pecah. Lima
orang dilaporkan roboh meregang nyawa.
Penembakan itu terjadi pos
pemeriksaan milik separatis Ukraina pro-Rusia. Kota Slovyansk di timur
Ukraina itu memang telah dikuasai militan pemberontak. Menurut versi
mereka kepada Reuters, insiden menjelang pagi, Minggu 20 April
2014, itu diawali oleh datangnya empat kendaraan ke pos mereka. Tanpa
aba-aba, orang-orang di kendaraan itu menembaki pos. Maka mereka pun
membalas dengan tembakan.
Usai baku tembak, pemandangan sekitar
terlihat menghitam. Sebuah mobil pikap hangus terbakar. Bodinya
bolong-bolong ditembus peluru di kedua sisinya. Para jurnalis melihat
dua mayat dekat lokasi penembakan. Kamar jenazah kota mengaku menerima
tiga jasad. Sementara militan pro Rusia mengatakan lima orang tewas,
tiga anggota mereka dan dua penyerang.
Insiden itu adalah sebuah
babak baru prahara Ukraina. Ketegangan antara Rusia dan negara bekas
pecahan Uni Sovyet itu sudah memasuki fase kulminasi. Sejumlah orang
ingin bergabung kembali dengan Rusia. Sementara sebagian ingin bergabung
dengan Uni Eropa. Akibatnya kekerasan meletus di mana-mana.
Separatisme
Gerakan
separatisme berbau Rusia menyebar dari Crimea ke wilayah timur Ukraina
pada pekan kedua April. Salah satu pemicunya adalah diproklamirkannya
kemerdekaan Donetsk dari Ukraina oleh massa pro-Rusia. Referendum
kemerdekaan akan digelar tidak lama lagi. Hal ini membuat pemerintah
Kiev ketar-ketir. Masalahnya, mereka baru saja kehilangan Crimea.
Anggota
militan separatis berbahasa Rusia ini berbahaya. Berpakaian militer,
bertopeng dan bersenjata, mereka menguasai gedung-gedung pemerintahan di
10 kota di provinsi-provinsi timur. Selain Donetsk, ada Luhansk dan
Kharkiv. Barikade kawat berduri dipasang di sekeliling gedung. Pasukan
bersenjata tanpa atribut berjaga penuh.
Mereka menyerukan
intervensi Rusia untuk segera menggelar referendum seperti Crimea, untuk
pisah dari Ukraina dan bergabung dengan Si Beruang Merah
Militer
dan polisi Ukraina juga bak macan ompong. Beberapa kali mereka menyerah
tanpa perlawanan saat pangkalan direbut pasukan asing.
New York Times menulis,
operasi militer untuk mengkonfrontir militan pro-Rusia terbukti tidak
berhasil. Sebanyak 21 kendaraan lapis baja yang dikerahkan malah
berpisah, menyerah atau mundur. Di beberapa kesempatan, saat berhadapan
dengan militan separatis, militer dan polisi Ukraina malah memihak
mereka. Upaya pemerintahan Kiev yang katanya akan menurunkan pasukan
anti teror juga belum terdengar kabarnya.
Ukraina menyalahkan
Rusia yang menurut mereka mulai agresif mendukung gerakan separatis.
Menurut Ukraina, penembakan di Slovyansk terjadi atas provokasi
"kekuatan luar". Secara tidak langsung mereka menuding Rusia.
Moskow
membantahnya dan mengatakan bahwa kejadian itu diprovokasi kelompok
nasionalis pro-Barat, Right Sector. Rusia punya bukti-buktinya. Salah
satunya adalah kartu nama Dmytro Yarosh, pemimpin Right Sector. Yarosh
membantahnya.
Sejak peristiwa di Crimea, Ukraina yakin betul
Rusia telah menurunkan pasukan ke negara mereka. Belum lagi ditambah
40.000 pasukan Rusia yang diturunkan Presiden Vladimir Putin di
sepanjang perbatasan Rusia.
Rusia juga tidak pandai berbohong.
Berkali-kali Presiden Rusia Vladimir meralat pernyataannya. Seperti
saat Putin mengatakan bahwa puluhan ribu pasukan disiagakan di
perbatasan untuk keperluan latihan. Belakangan juru bicara Putin, Dmitry
Peskov mengakui bahwa tentara itu dikerahkan untuk menjaga negara,
kalau-kalau kerusuhan di Ukraina menyebar ke Rusia.
Putin juga
dengan tegas mengatakan telah mencaplok Crimea. Padahal sebelumnya dia
membantah tuduhan Rusia coba menginvasi wilayah yang jadi pangkalan
kapal perang mereka itu. Pasukan Rusia yang diturunkan ke Crimea, kata
Peskov, adalah bentuk "perlindungan bagi warga berbahasa Rusia".
Gejolak
kali ini di timur Ukraina juga satu lagi bukti perubahan sikap Rusia.
Sebelumnya, Kremlin menegaskan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka
tidak akan memasuki wilayah lain selain Crimea di Ukraina. Belakangan,
Putin menyebut provinsi tenggara Ukraina sebagai "Rusia Baru".
Pasukan
tanpa atribut di Crimea juga terbukti adalah tentara Rusia. Dalam foto
yang dengan jeli diteliti oleh media Barat, terlihat bahwa beberapa
orang tentara yang saat ini berada di Ukraina adalah tentara Rusia yang
pada 2008 lalu menginvasi Georgia
Barat
yang digawangi Amerika Serikat juga mulai bawel mengecam tindakan
Rusia. Namun Putin tetap bergeming dan menangkis setiap serangan
terhadap negaranya. Sanksi AS dan sekutunya terhadap Moskow juga
ditanggapi santai.
Dimulai dari Kiev
Kemelut
di Ukraina itu dimulai dari revolusi di ibukota Kiev pada Februari
2014. Revolusi itu berhasil menggulingkan Presiden Viktor Yanukovych
yang pro-Rusia. Revolusi dipicu langkah Yanukovych membatalkan rencana
kesepakatan pemberian dana Uni Eropa (UE) yang diperlukan masyarakat.
Pria yang kini tidak diketahui rimbanya itu menolak syarat dari UE untuk
menghentikan hubungan ekonomi dengan Rusia.
Membatalkan kerja
sama dengan UE, Yanukovych malah menandatangani perjanjian ekonomi
dengan Rusia. Langkahnya ini menuai kecaman dari rakyat yang langsung
turun ke jalan. Kerusuhan terjadi saat lebih dari 100.000 orang bentrok
dengan aparat. Lebih dari 100 orang tewas, ratusan lainnya terluka.
Yanukovcyh
berhasil digulingkan. Dan Rusia marah besar. Pasukan pro-Rusia mulai
bergerak di semenanjung Crimea, tempat ditambatkannya Armada Laut Hitam.
Referendum warga akhirnya memutuskan wilayah otonomi Crimea dan
Sevastopol pisah dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia.
Amerika
Serikat yang berembuk dengan Jerman dan Inggris serta negara-negara
Eropa lainnya akhirnya mengeluarkan Rusia dari kelompok negara G8.
Pertemuan G8 yang rencananya akan diadakan di Sochi, Rusia, Juni
mendatang dibatalkan. G8 yang berubah menjadi G7 memindahkan pertemuan
ke Brussels.
Rusia lagi-lagi menanggapinya dengan santai. "G8
adalah organisasi informal yang tidak ada kartu anggotanya, maka dari
itu, tidak bisa mengeluarkan siapa pun. Seluruh masalah ekonomi dan
finansial diputuskan di G20, dan G8 hanya jadi forum dialog antara
negara Barat dan Rusia. Kami tidak melihat kerugiannya jika tidak ikut
berkumpul," kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov.
AS
menegaskan tidak akan menggunakan cara militer untuk mengatasi masalah
ini. Dan memilih menjatuhkan sanksi. Selain larangan bertransaksi untuk
bank AS dengan bank Rusia, Barat juga menerapkan larangan bepergian dan
tidak memberi visa pada sejumlah pejabat Rusia dan Ukraina yang
pro-Moskow.
Untuk pertama kalinya sejak konflik pecah di Crimea,
Ukraina dan Rusia bertemu di satu meja di Jenewa pada 17 April 2014.
Pada pertemuan selama enam jam yang juga dihadiri AS dan Uni Eropa itu,
Ukraina menyerukan agar pasukan bersenjata pro-Rusia untuk menyerah,
meninggalkan gedung pemerintah dan jatuhkan senjata.
Ukraina dan
Rusia juga sepakat untuk tidak kontak senjata, mencegah tindak
provokasi dan menolak setiap bentuk intoleransi, termasuk sentimen
anti-Yahudi. Rusia juga mengatakan bahwa penggunaan kekerasan dari
Ukraina terhadap para militan separatis hanya akan memicu perang
saudara.
Sikap pesimis soal perjanjian ini disiratkan baik oleh
AS dan Rusia. Presiden AS Barack Obama mengatakan bahwa perjanjian itu
"menunjukkan secercah harapan", namun "kami tidak akan terlalu
bergantung padanya". AS telah mengancam akan menjatuhkan sanksi lebih
berat pada Rusia jika perjanjian ini dilanggar.
Pemerintah Putin
menyatatakan akan manut pada perjanjian, namun tidak demikian dengan
militan pro-Rusia di Ukraina -yang diduga berasal dari unsur tentara
Kremlin juga. Salah satunya adalah kelompok separatis di Donetsk yang
menyatakan tidak mundur dari gedung pemerintah sampai referendum pisah
dari Ukraina digelar.
"Lavrov dan Kerry (John Kerry, Menlu AS)
yang memutuskan, memangnya mereka siapa buat kami? Kami adalah Republik
Donetsk. Kami adalah rakyat yang memutuskan nasib sendiri," kata Vasili
Domashev, yang menyebut dirinya wakil komandan di gedung pemerintah
dikuasai di Donetsk, kepada New York Times.
Uni Soviet Baru
Perdana
Menteri Ukraina Arseniy Yatsenyuk mengatakan bahwa Rusia sangat
berambisi untuk mencaplok Ukraina. Hal ini, kata Yatsenyuk tidak lain
karena Putin ingin membentuk kembali Uni Soviet yang baru. "Presiden
Putin punya mimpi mengembalikan Uni Soviet. Dan setiap harinya, dia
berjalan semakin jauh dan jauh, dan hanya Tuhan yang tahu kemana akhir
tujuannya," kata Yatsenyuk dalam wawancara dengan NBC.
"Saya
yakin anda ingat pidato Putin yang terkenal di Munich, saat dia
mengatakan bahwa bencana terbesar di abad ini adalah runtuhnya Uni
Soviet. Saya katakan, bencana terbesar abad ini adalah kembalinya Uni
Soviet di bawah naungan Presiden Putin," tegas Yatsenyuk lagi.
Salah
satu cara yang digunakan Putin menyatukan kembali Uni Soviet adalah
dengan dalih melindungi warga negara berbahasa Rusia. Alasan ini jugalah
yang digunakan Putin untuk menurunkan pasukannya di Crimea. Menurut
Putin, warga berbahasa Rusia di Ukraina dimarjinalkan. Negara-negara
bekas Soviet seperti Estonia, Latvia dan Lithuania diduga akan jadi
sasaran selanjutnya.
Sebenarnya cara seperti ini pernah digunakan
Nazi Jerman 80 tahun yang lalu. Saat itu, Jerman di bawah kediktatoran
Hitler mulai mencaplok negara-negara di sekelilingnya dengan alasan
melindungi warga berbahasa Jerman dari diskriminasi. Jargon Hitler tahun
1930an itu adalah "mempersatukan dan melindungi warga-warga berbahasa
Jerman”, persis seperti alasan Putin sekarang.
Untuk membendung
upaya Rusia ini, Ukraina meminta tidak hanya bantuan diplomatik dan
ekonomi, tapi juga militer. "Kami perlu meningkatkan militer Ukraina.
Kami perlu memodernisasi keamanan dan kekuatan militer kami. Kami perlu
bantuan konkret," kata Yatsenyuk.
AS memang menyatakan tidak akan
menggunakan cara kekerasan untuk menghadapi Rusia. Namun belakangan AS
dilaporkan telah mengirimkan ratusan tentara mereka mendekat ke Ukraina.
Lebih dari 500 pasukan AS dikirimkan ke Polandia dengan alasan untuk
latihan. Negara berikutnya yang akan dikunjungi tentara AS adalah
Lithuania, Latvia dan Estonia - semuanya mengelilingi Ukraina.
Graham
Allison, Professor ilmu pemerintahan di Harvard Kennedy School
mengatakan bahwa memang tidak ada kepentingan apapun bagi AS di Ukraina.
Namun bukan berarti AS akan membiarkan Putin mencaplok satu per satu
negara eks Soviet.
Bahkan menurut Allison, krisis di Ukraina
secara tidak langsung akan membahayakan kepentingan nasional AS. Dia
mengatakan, kejadian di Crimea akan ditiru di beberapa negara lainnya,
Latvia contohnya.
Bukan tidak mungkin, terinspirasi dari Crimea,
masyarakat Latvia akan membentuk kelompok separatis yang akan disokong
Rusia. Ada 25 persen warga Latvia yang berbahasa Rusia, potensial
mendorong bergabung dengan Kremlin. Jika sudah begini, Rusia dipastikan
akan kembali mengirim pasukannya, tanpa atribut agar tidak dikenali.
Latvia
dan negara-negara Baltik lainnya adalah anggota NATO. Berdasarkan
kesepakatan NATO, AS harus membantu dengan kekuatan militer jika negara
anggota NATO lainnya diserang. Tertulis dalam Ayat 5 NATO, "Serangan
terhadap satu anggota NATO, berarti serangan terhadap semua anggota."
"Pemimpin
di Washington dan Moskow harus menindaklanjuti dengan langkah-langkah
yang tegas untuk mencegah konflik di Ukraina menjadi perang saudara,"
kata Allison kepada CNN.
Dan, prahara Ukraina agaknya memang belum akan berakhir.
Prahara itu tidak akan berakhir kalau para pemimpinnya tidak mau berdamai.
ReplyDelete