Lantas, Ki Kalamwadi-pun menjawab, "Aku tidak mengerti. Tetapi guru yang dapat dipercaya menceritakan asal-usul orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti memeluk agama Islam. Ini memang perlu dikatakan, agar orang yang belum tahu menjadi tahu."
Putri Campa
Pada zaman dahulu Majapahit bernama Majalengka. Majapahit hanyalah sebuah kiasan. Bagi yang belum mengetahui ceritanya, Majapahit dianggap sebagai nama kerajaan.
Prabu Brawijaya adalah raja terakhir yang berkuasa. Ia menikah dengan Putri Campa yang beragama Islam. Putri inilah yang membuat Brawijaya tertarik dengan Islam.
Ketika mereka sedang beradu asmara, sang putri selalu membeberkan keutamaan agama itu. Setiap dekat sang prabu, tiada kata lain yang terucap dari Putri Campa kecuali kemuliaan agama Islam.
Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad. Ia memohon izin untuk menyebarkan ajaran Islam di Majalengka. Sang Prabu mengabulkan. Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldento- Surabaya.
Banyak ulama dari seberang datang ke Majalengka. Menghadap sang prabu memohon izin untuk tinggal di wilayah pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya mereka berkembang dan banyak orang Jawa memeluk agama Islam.
Perkembangan itu menempatkan seorang guru agama Islam yang tinggal di daerah Bonang, termasuk wilayah Tuban. Sayid Kramat namanya. Ia maulana Arab keturunan Nabi Mohammad Rasulullah.
Orang-orang Jawa banyak yang tertarik kepadanya. Penduduk Jawa yang tinggal di pesisir Barat sampai Timur meninggalkan agama Budha dan memeluk agama Islam. Di wilayah Blambangan sampai ke arah Barat menuju Banten pun banyak yang mengikuti ajaran Islam.
Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih dari 1.000 tahun. Menyembah kepada Budi Hawa. Budi adalah Dzat Tuhan. Sedangkan Hawa adalah minat hati.
Manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat melaksanakan. Sedang yang menggerakkan semua ialah budi.
Raden Patah
Sang Prabu mempunyai seorang putra yang bernama Raden Patah. Ia lahir di Palembang dari rahim seorang Putri Cina. Ketika Raden Patah dewasa, ia menghadap kepada ayahnya bersama saudara lain ayah tetapi masih sekandung, bernama Raden Kusen (Husein).
Sang Prabu bingung memberi nama putranya. Diberi nama dari jalur ayah, beragama Buddha, keturunan raja yang lahir di pengunungan. Dari jalur ibu disebut Kaotiang. Sedangkan menurut orang Arab, ia harus dinamakan Sayid atau Sarib.
Sang Prabu memanggil patih dan abdi lain untuk dimintai pertimbangan. Sang patih pun berpendapat, bila mengikuti leluhur kuno, putra sang Prabu itu dinamakan Bambang. Tetapi karena ibunya orang Cina, lebih baik dinamakan Babah, yang artinya lahir di tempat lain. Pendapat patih ini disetujui abdi yang lain.
Sang Prabu pun berkata kepada seluruh pasukan bahwa putranya diberi nama Babah Patah. Sampai saat ini, keturunan pembauran antara Cian dan Jawa disebut Babah. Meski tidak menyukai nama pemberian ayahnya itu, Raden Patah takut untuk menentangnya.
Babah Patah kemudian diangkat menjadi Bupati di Demak. Ia memimpin para bupati di sepanjang pantai Demak ke Barat. Ia dinikahkan dengan cucu Kyai Ageng Ngampel.
Babah Patah tinggal di desa Bintara, Demak. Babah Patah telah beragama Islam sejak di Palembang. Di Demak ia diminta untuk menyebarkan agama Islam. Raden Kusen diangkat menjadi Adipati di Terung, dengan nama baru Raden Arya Pecattanda.
Ajaran Islam makin berkembang. Banyak ulama berpangkat mendapat gelar Sunan. Sunan artinya budi. Sumber pengetahuan tentang baik dan buruk.
Orang yang berbudi baik patut dimintai ajarannya tentang ilmu lahir batin. Pada waktu itu para ulama baik budinya. Belum memiliki kehendak yang jelek. Banyak yang mengurangi makan dan tidur.
Sang Prabu Brawijaya berpikir, para ulama bersarak Budha itu mengapa disebut Sunan. Mengapa juga masih mengurangi makan dan tidur.
Sunan Bonang
Pada waktu itu sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya. Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air sungai Brantas yang meluap.
Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang. Tiba di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki agama penduduk setempat. Sudah Islam atau masih beragama Budha.
Ternyata, kata Ki Bandar, masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung Bondowoso. Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat Wage wuku wuye, adalah hari raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan enak dan bergembira ria.
Kata Sunan Bonang, "Kalau begitu, orang disini semua beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun tidak. Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah." Sejak itu, daerah di sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Perawan Tua Hari terik
Waktu sholat dhuhur tiba. Sunan Bonang ingin mengambil air wudlu. Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sunan Bonang meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk. Salah satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud.
Sesampai di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di sini. Hanya ada seorang gadis berajak dewasa sedang menenun. "Hai Gadis, aku minta air simpanan yang jernih dan bersih," kata sahabat itu.
Perawan itu terkejut. Ia menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki. Ia salah paham. Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya.
Ia menjawab kasar : "Kamu baru saja lewat sungai. Mengapa minta air simpanan. Di sini tidak ada orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya."
Mendengar kata-kata kasar itu, sahabat itu langsung pergi tampa pamit. Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan. Tiba di hadapan Sunan Bonang, peristiwa tak menyenangkan itu disampaikan.
Mendengar penuturan itu Sunan Bonang naik pitam. Keluarlah kata-kata keras. Sunan menyabda tempat itu akan sulit air. Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum jejakanya. Tidak akan kimpoi sebelum menjadi jejaka tua. Terkena ucapan Sunan Bonang, aliran sungai Brantas menyusut. Aliran sungai berbelok arah. Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun.
Prahara datang diterjang arus sungai yang menyimpang. Dan setelah itu kering seketika. Sampai kini daerah Gedhah sulit air. Perempuan-perempuan nya menjadi perawan tua. Begitu juga kaum laki-lakinya. Mereka terlambat berumah tangga.
Demit
Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing. Menempati sumur Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya.
Mereka lapor, bahwa ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum mahluk halus dan menonjolkan kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sunan Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak suka mengganggu lagi.
Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat menemui Sunan Bonang. Tetapi anehnya, para setan itu tidak bisa mendekati Sunan Bonang. Badannya terasa panas seperti dibakar.
Setan-setan itu berhamburan. Lari tunggang langgang. Mereka lapor ke Kediri menemui rajanya. Raja mereka bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung Wilis. Buto Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai Daha. Ia dikenal sebagai cikal bakal Kediri. Ketika Raja Jayabaya memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama negara.
Ia diberi nama Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya. Buta sendiri artinya bodoh. Lo bermakna kamu. Dan Caya dapat dipercaya. Bila disambung, maka Buta Locaya mempunyai makna orang bodoh yang dapat dipercaya.
Sebutan itu hampir menyerupai sebutan kyai, yang bermula dari Kyai Daha dan Kyai Daka. Kyai artinya melaksanakan tugas anak cucu dan orang di sekitarnya. Kisah soal kyai ini bermula saat Sang Raja ke rumah Kyai Daka.
Sang Prabu dijamu Kyai Daka. Sang Prabu suka dengan keramahan itu. Nama Kyai Daka pun diminta untuk desa yang kemudian berganti Tunggulwulung. Seterusnya ia diangkat menjadi panglima perang.
Ketika Prabu Jayabaya moksa (mati bersama raganya hilang) bersama Ni Mas Ratu Pagedongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga ikut moksa. Ni Mas kemudian menjadi ratu setan di Jawa. Tinggal di laut Selatan dan bergelar Ni Mas Ratu Angin-Angin. Semua mahluk halus yang ada di laut selatan tunduk dan berbakti kepada Ni Mas Ratu Angin-Angin. Buta Locaya menempati Selabale. Sedangkan Kyai Tunggulwulung tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar agar tidak merusak desa sekitar.
Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya, Megamendung dan anaknya, Panji Sektidiguna dan Panji Sarilaut. Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis.
Ia melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan para setan dan penduduk daerah itu.
Mendengar laporan Nyai Plencing Buta Locaya murka. Tubuhnya bagaikan api. Ia memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan Bonang. Para setan dan jin itu bersiap berangkat. Lengkap dengan peralatan perang.
Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum. Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai Sumbre. Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan diri.
Kyai Sumbre berdiri di bawah pohon. Menghadang perjalanan Sunan Bonang yang datang dari utara. Sebagai orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja setan dan jin sedang menghadang perjalanannya. Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai bara api. Para setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan menghadapi wibawa Sunan Bonang.
Namun tatkala berhadapan dengan Kyai Sumbre, Sunan Bonang juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan dan demam.
Debat Soal Tuhan dan Kebenaran
Debat sengit antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya makin seru. Sunan Bonang dengan tegas menyatakan bahwa, daerah tersebut dikatakan Gedhah karena tidak jelas agamanya. "Kusabdakan sulit air karena ketika aku minta air tidak diberi. Sungai ini kupindah alirannya agar kesulitan mendapatkan air. Sedangkan jejaka dan perawan kusabdakan sulit mendapat jodoh karena yang kumintai air itu perawan desa."
Buta Locaya menjawab, bahwa itu tidak seimbang. Salah yang tak seberapa, apalagi hanya dilakukan oleh seseorang, tetapi penderitaannya dirasakan oleh banyak orang. Bila dilaporkan kepada penguasa, tentu akan mendapatkan hukuman berat karena merusak daerah.
Sunan Bonang menjawab, ia pun tak takut dilaporkan Raja Majalengka. Debat Soal Kebenaran Ketika Buta Locaya mendengar kata-kata itu, ia pun marah. Buta Locaya berkata masygul : "Ucapan tuan bukan ucapan yang paham akan aturan negara. Itu hanya pantas diucapkan oleh orang yang tinggal di rumah madat, yang hanya mengandalkan kesaktian.
Janganlah sombong. Mentang-mentang dikasihi tuan berkawan dengan malaikat, lalu berbuat sekehendak hati. Tidak melihat kesalahan, menganiaya orang lain tanpa sebab. Meskipun di Jawa ini akan ada orang yang lebih kuat dari pada tuan, tapi mereka baik budi dan takut kepada laknat dewa. Tuan akan dijauhi orang-orang baik budi bila tetap berbuat demikian.
Apakah tuan termasuk orang seperti Aji Saka murid Ijajil? Aji Saka menjadi raja di Jawa hanya tiga tahun, lalu pergi sambil membawa seluruh sumber air di Medang. Ia suka membuat sulit air.
Tuan mengaku sunan seharusnya berbudi baik, menyelamatkan orang banyak, tetapi ternyata tidak demikian. Tuan layak seperti setan yang menampakkan diri, tidak tahan digoda anak kecil. Lekas naik darah. Sunan apakah itu ?
Jika memang sebagai Sunan manusia sesungguhnya, tentu suka berbuat kebajikan. Tuan menyiksa orang tanpa dosa. Itulah jalan celaka, tanda bahwa tuan telah menciptakan neraka jahanam. Bila telah jadi lalu tuan tempati sendiri, mandi di dalam air mendidih."
Hamba ini bangsa mahluk halus, tidak selamanya dengan manusia, tetapi hamba masih memperhatikan nasib manusia. Marilah semuanya yang rusak itu tuan kembalikan kepada keadaan semula. Sungai yang kering dan daerah yang terlanda banjir hamba mohon untuk mengembalikan. Semua orang Jawa yang beragama Islam akan hamba teluh supaya mati. Hamba akan meminta bantuan Kangjeng Ratu Angin-Angin di laut Selatan."
Begitu mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan Bonang menyadari kesalahannya. Ia berkata, "Buta Locaya, aku Sunan tidak diperkenankan meralat ucapanku. Aku hanya bisa membatasi saja. Kelak, bila telah berlangsung 500 tahun, sungai ini dapat kembali seperti semula."
Buta Locaya mendengar kesediaan Sunan Bonang, bertambahlah kemarahannya. "Kembalikan sekarang juga. Bila tidak, tuan akan hamba ikat."
"Sudah, jangan berbantah lagi. Aku mohon diri akan berjalan ke timur. Buah Sambi ini kunamakan cacil karena keadaan ini seperti anak kecil yang sedang berkelahi. Setan dan manusia saling berebut kebenaran tentang kerusakan yang ada di daerah dan kesedihan manusia dengan setan.
Kumohonkan kepada Tuhan, buah sambi menjadi dua macam, daging buahnya menjadi asam. Bijinya mengeluarkan minyak sebagai lambang muka yang masam. Tempat perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah utara dan di sini bernama Desa Sumbre. Sedangkan tempat kawan-kawanmu di selatan kuberi nama Kawanguran."
Debat Soal Tuhan
Setelah berkata demikian, Sunan Bonang meloncat ke arah Timur sungai. Terkenal sampai kini di Kota Gedhah ada desa yang bernama Singkal, Sumbre dan Kawanguran. Kawanguran artinya pengetahuan, Singkal artinya susah kemudian menemukan akal.
Buta Locaya memburu kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca Kuda yang berkepala dua di bawah pohon Trenggulun. Banyak buah trenggulun yang berserakan. Sunan Bonang kemudian memegang parang dan kepala arca Kuda itu dipenggalnya.
Ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu, semakin bertambahlah kemarahannya.
"Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya sebagai lambang tekad wanita. Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang siapa yang melihat arca itu, akan mengetahui tekat para wanita Jawa.
Sunan Bonang pun berkata, "Kau ini bangsa hantu. Jadi kalau berani berdebat dengan manusia, namanya hantu yang sombong. "Apa bedanya. Tuan Sunan, saya ratu Hantu," kata Buta Locaya
Sunan Bonang berkata, Trenggulun ini kuberinama Kentos sebagai peringatan kelak, bahwa aku berdua debat dengan hantu yang sombong tentang kerusakan arca.
Ki Kalamwadi berkata : "Terkenal sampai kini, buah trenggulun bernama kentios karena ucapan Sunan Bonang. Semua itu menurut cerita guruku menurut cerita guruku bernama Raden Budi.
Sunan Bonang kemudian berjalan ke utara. Ketika menjelang salat asar, beliau akan bersiap salat. Di luar desa ada sumur tetapi tiada timba.
Sumur itu kemudian digulingkan. Dengan begitu Sunan Bonang dapat bersuci untuk bersalat. Terkenal sampai sekarang, sumur itu bernama sumur gumuling." Setelah salat, Sunan melanjutkan perjalanan. Sesampai di desa Nyahen, ada patung raksasa perempuan berada di bawah pohon dadap yang berbunga. Sangat banyak dan berguguran di sekitarnya. Patung raksasa itu kelihatan merah menyala, marak oleh bunga yang berjatuhan.
Melihat patung itu, Sunan Bonang keheranan. Patung itu berukuran sangat besar. Arca itu tampak duduk ke arah Barat setinggi 16 kaki. Lingkar pinggulnya 10 kaki. Jika dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang kecuali dengan alat. Bahu kanan patung itu dipatahkan, dan dahinya diludahi.
Buta Locaya marah lagi. "Tuan ternyata orang jahil, patung yang masih baik dirusak tanpa alasan. Kini menjadi jelek. Padahal patung itu karya Sang Prabu Jayabaya. Apakah hasilnya bila tuan merusak patung itu?"
"Patung itu kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak diberi sesaji dan diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak lahir batin."
Kata Buta Locaya, "Orang Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu yang tidak berdaya dan berkuasa. Bukan Tuhan, maka mereka layani. Diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para hantu tidak menempati tanah dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia".
Para hantu mereka tempatkan di patung itu, lalu tuan usir ke mana? Telah lazim setan tinggal di gua, arca, dan makan bau-bauan harum. Bila menyantap bebauan harum, hantu akan merasa nyaman.
Lebih senang lagi bila tinggal di patung yang utuh. Di tempat sepi dan rindang atau di bawah pohon besar. Mereka menyadari bahwa alam halus berbeda dengan alam manusia."
Sunan Bonang Khilaf
Buta Locaya berkata, "Nabi itu kan manusia kekasih Tuhan? Mendapat wahyu agar pandai. Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi. Sedangkan yang membuat arca Batu adalah Prabu Jaya Baya, kekasih Tuhan pula, mendapatkan wahyu mulia. Dia pun pandai dan kaya ilmu. Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi.
Tuan perpedoman pada kitab, orang Jawa pun berpedoman petuah dari para leluhurnya. Sama-sama menghargai kabar, lebih baik menghargai kabar dari leluhur kita sendiri dengan peninggalan yang masih bisa disaksikan.
Pulau Jawa ini tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup. Tanah berpasir murah air. Apa saja ditanam dapat tumbuh.
Pria tampak tampan, wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya. Bila tuan ingin melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya. Silakan tuan ukur. Seandainya tidak benar, pukullah.
Yang membuat arca itu adalah tuanku Prabu Jayabaya. Dapatkah tuan menebak sesuatu yang belum terjadi? Sudahlah, hamba persilakan tuan pergi dari sini.
Bila menolak akan hamba panggilkan adik hamba dari Gunung Kelud. Tuan akan kami keroyok. Dapatkah tuan menang?
Lalu akan hamba bawa ke dalam kawah gunung Kelud, apakah tuan tidak susah? Inginkah tuan tinggal di Batu seperti hamba? Mari ke Selabale menjadi murid hamba."
Sunan Bonang : "Tak sudi mengikuti kata-katamu. Kau hantu brekasaan."
Buta Locaya berkata, " Meskipun hamba hantu, tetapi hamba raja. Abadi selamanya. Tuan belum tentu seperti hamba.
Tekat tuan kotor, suka mengganggu dan menganiaya. Tampak di sini masih sering melakukan kesalahan menentang adat, menentang agama, merusak kebaikan, mengganggu agama leluhur. Tuan dapat disiksa dan dibuang ke Menado."
Sunan Bonang tak menggubris. Ia berkata : "Dadap ini bunganya kunamai celung, buahnya bernama kledung, karena aku kecelung (sesat) pemikiran dan salah bicara. Jadi saksi ketika aku berdebat dengan hantu, kalah pengetahuan dan pemikiran. [Sampai kini buah dadap bernama kledung, bunganya bernama celung] Sudah, aku akan pulang ke Bonang."
Buta Locaya berkata, " Ya sudah, silakan tuan pergi. Di sini tak ayal akan membikin panas. Bila terlalu lama di sini akan menimbulkan kesusahan, menyebabkan mahal air, dan mengurangi air."
ReplyDeleteRaden Patah dianggap anak durhaka dan tak tahu balas budi. Sudah diberi kekuasaan, malah menikam ayahandanya sendiri dari belakang. Ia menyerang dan hancurkan kerajaan Majapahit. Fakta sejarah ini sebenarnya yang tidak didukung oleh bukti-bukti yang akurat.
Fakta sejarah ini, terutama dicatat dalam naskah Darmogandul dengan tema Sabdopalon. Dikisahkan, Raden Patah dengan kerajaan barunya, yaitu Kerajaan Demak, menyerang Kerajaan Majapahit yang notabene dipimpin oleh ayah kandungnya sendiri, Prabu Brawijaya V.
Pada dasarnya, belum ada bukti konkret tentang kebenaran atas penyerangan Raden Patah atas Kerajaan Majapahit. Dalam catatan yang ditulis oleh Darmogandul, Raden Patah menyerang Majapahit dan mengakibatkan runtuhnya Majapahit adalah pada tahun 1478.
Padahal, sebagaimana disebutkan oleh Kitab Pararaton, pada tahun tahun tersebut—yaitu pada tahun 1478—Kerajaan Majapahit justru diserang oleh Samarawijaya dan tiga saudara-saudaranya, karena menganggap raja yang berkuasa di Majapahit, yaitu Raja raja Dyah Suraprahawa, tidak berhak atas tahta. Dyah Suraprahawa merupakan adik bungsu raja sebelumnya, yaitu Rajasawardhana.
Saat Rajasawardhana wafat, ia digantikan oleh Girisawardhana. Nah, setelah wafatnya Girisawardhana inilah, Dyah Suraprahawa tampil menjadi raja pengganti. Hal ini menimbulkan ketidakpuasaan putra-putra Rajasawardhana yang merasa lebih berhak atas tahta Majapahit.
Pemberontakan Samarawijaya atas Majapahit pada 1478 tersebut, mengakibatkan tewasnya raja Majapahit dan Samarawijaya itu sendiri. Dalam Kitab Pararaton kemudian disebutkan dengan, kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka 1400 (“paman mereka, sang raja, mangkat di istana tahun 1478”).
Namun demikian, kemenangan telak dipegang oleh pasukan Samarawijaya. Hal ini bisa dibaca dalam prasasti Petak yang menuliskan ungkapan kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit (“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang naik-jatuh berperang melawan Majapahit”). Inilah akhir keruntuhan Kerajaan Majapahit yang sebenarnya. Para putra Rajasawardhana kemudian membentuk kerajaan baru di Dhaha, yaitu kerajaan Keling.
Pada saat yang sama, juga telah berdiri kerajaan Demak yang bercorak Islam sebagai kerajaan pertama di Jawa. Hubungan Kerajaan Demak dan Kerajaan Keling memanas, ketika Kerajaan yang dipimpin putra Rajasawardhana ini bersekutu dengan orang asing, yaitu Portugis. Karena persekutuan tersebut, Kerajaan Demak yang sudah dipimpin oleh Sultan Trenggono, menyerbu kerajaan Keling. Dan, berakhirlah kerajaan Keling.
Yang lebih mengenaskan, karena peralihan antara kerajaan Majapahit menuju kerajaan Demak, dihubung-hubungkan sebagai perang antar-agama, yaitu agama Hindhu-Budha yang dianut Majapahit dan Islam. Fakta yang berlebihan. Sebab, sebagaimana kerajaan-kerajaan di tanah Jawa di era-era sebelum-sebelumnya, persoalan agama sangat jarang menjadi pemantik konflik, apalagi sampai menyebabkan perang berdarah.
Keruntuhan Kerajaan Majapahit, tidak berkaitan dengan penyerangan Kerajaan Demak dengan alasan keagamaan. Tetapi, keruntuhan Majapahit lebih banyak disebabkan konflik berkepanjangan para pemimpin internalnya sendiri. Urusan-urusan kerakyatan jadi tak terabaikan, Negara pun tidak lagi hadir dalam melindungi rakyat.
Berdirinya Kerajaan Demak, kemudian menjadi harapan baru rakyat akan hadirnya perubahan yang lebih baik, damai, aman dan sejahtera. Dengan kata lain, tanpa diserang pun, Kerajaan Majapahit pasti akan runtuh sendiri karena sudah kronis dalam konflik tak berkesudahan.
Salam kenal,
ReplyDeletesebagai pembanding bisa juga mampir kesini. disusun secara kronologis https://nafanakhun.wordpress.com/2020/05/31/detik-detik-keruntuhan-majapahit-yang-misterius/