KASUS iklan TKI on sale di Malaysia kian mempertegas citra tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang kontradiktif. Di dalam negeri disanjung sebagai pahlawan devisa, tapi di luar negeri tidak lebih sebagai barang dagangan.
Iklan itu berbunyi: 'Indonesian maids now on sale. Fast and easy application. Now your housework and cooking come easy. You can rest and relax. Deposit only RM3.500 price RM7.500 nett'. Iklan yang tertera di brosur itu bahkan menyebutkan adanya diskon 40%.
Model iklan seperti itu sesungguhnya tak lebih sama dengan iklan yang ada di mal-mal di Jakarta yang menggelar berbagai diskon untuk berbagai barang, seperti baju, sepatu, dan tas.
Itu sebabnya iklan TKI on sale tidak saja menghebohkan, tapi juga mengundang kecaman dari berbagai kalangan. Iklan itu jelas menyamakan tenaga kerja Indonesia di Malaysia bak barang dagangan. Mirip di zaman perbudakan.
Penghinaan terhadap TKI itu hanyalah bagian dari derita pekerja yang mengadu nasib di luar negeri. Sebelumnya, sudah banyak cerita pilu tentang TKI, entah disiksa, diperkosa, entah bahkan dibunuh.
Iklan TKI on sale jelas memperlihatkan betapa rendahnya martabat anak bangsa ini di Malaysia. Celakanya, menyamakan anak bangsa itu dengan budak justru dimulai di dalam negeri. Banyak pengusaha pengerah TKI memperlakukan mereka seperti bukan manusia. Mereka dijejalkan di tempat-tempat penampungan yang sempit dan dilepas bekerja di negeri orang tanpa perlindungan hukum yang kuat.
Para TKI, misalnya, dilarang melakukan kontak dengan dunia luar. Tidak mengherankan bila kemudian muncul kasus TKI yang melarikan diri dari tempat penampungan atau bahkan bunuh diri.
Perbudakan TKI tak hanya terjadi saat mereka akan diberangkatkan ke negeri jiran. Ketika kembali pun mereka menjumpai perlakuan yang hampir sama. Diperas, ditipu, atau dirampok di Tanah Air sendiri sepertinya telah menjadi kisah tak terpisahkan dari para TKI.
Lantas, apa yang telah dilakukan pemerintah? Jelas, belum banyak dan belum berpengaruh apa-apa. Klaim pemerintah yang telah berbuat banyak mengurus dan melindungi berbeda dengan realitasnya.
Yang pasti, pemerintah belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan sehingga masih banyak pekerja dengan keterampilan minim beradu nasib di negeri orang.
Langkah pembatasan terhadap pengiriman TKI juga belum berpengaruh apa-apa. Sejatinya, mereka yang ingin bekerja di luar negeri perlu memiliki kemampuan khusus agar mereka tidak dipandang sebagai budak.
Bagaimanapun, perlindungan terhadap TKI menjadi kewajiban negara. Di Jepang, perdana menteri mau turun langsung hanya untuk mengurus seorang pekerjanya di luar negeri yang sedang bermasalah. Demikian pula dengan presiden Filipina.
Pemerintah Indonesia sesungguhnya tidak perlu malu meniru apa yang dilakukan pemerintah negara lain demi kemaslahatan rakyat. Atau sebaiknya dimunculkan saja iklan Pemerintah RI on sale.
No comments:
Post a Comment