Saturday, 3 November 2012

BENTROK BERDARAH MEWABAH DI MANA MANA, KALAU ITU TERUS TERJADI INDONESIA BISA MENJADI LADANG PEMBANTAIAN


Wabah Bentrok Berdarah

Wajah Wayan Lastri pias. Matanya memancarkan ketakutan. Di pangkuannya ada bocah balita. Sesekali ia mengusap kening si bocah. Matanya tak bisa tenang,  menoleh ke kiri dan kanan. “Saya tidak tahu mengapa kita dikumpulkan di sini, katanya mau diungsikan,” ujarnya cemas. Bibirnya gemetar.

Tak begitu jauh dari Wayan, ada Ketut Saebang, dan sang istri. Pasangan itu tak berhenti menangis. Bayi mereka masih berumur tujuh belas hari membiru. Ia belum diberi nama. Matanya kuyu, dan mulutnya terus membuka. “Sudah dua hari kami menginap di kebun, kehujanan dan kedinginan. Rumah kami dibakar,” ujar Agung terisak.

Mujur, di hari itu ada petugas medis tiba. Selang oksigen dicolok ke hidung bayi mungil, sebelum dibawa menuju Rumah Sakit Umum Abdul Muluk Bandar Lampung. Menyusul mobil polisi, dan sejumlah bus.  Wayan, Ketut, dan ribuan warga yang dicekam ketakutan pun berkemas. Dengan modal bungkusan berisi baju, mereka berebut masuk ke kendaraan itu.

Wayan Lastri, dan ribuan warga Balinuraga lain itu adalah korban bentrokan dua desa di Lampung Selatan, Desa Agom, Kecamatan Kalianda dan Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan.

Desa mereka dibakar massa, pada bentrokan Senin 29 Oktober 2012. Kini warga Balinuraga mengungsi ke perkebunan yang letaknya cukup jauh dari desa malang itu. Ribuan warga Desa Balinuraga, yang rumahnya luluh lantak terpaksa diungsikan ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling Polda Lampung, di Bandar Lampung. Sekitar 300 KK dengan jumlah 1000 jiwa lebih di tempatkan di tiga gedung di markas pendidikan polisi tersebut.

Mereka tidur seadanya di atas tikar dan terpal plastik. Kaum renta, dewasa, anak-anak, balita. Laki-laki dan perempuan. “Kami sangat sedih melihat rumah kami hancur. Tinggal di pengungsian adalah pilihan terbaik, meski kondisinya memprihatinkan,” ungkap I Nyoman Sude saat ditemui VIVAnews di pengungsian.

Gara-gara motor jatuh

Bentrokan itu diawali oleh hal sepele. Selepas magrib, pada Sabtu, 27 Oktober 2012 lalu, Emilia Elisa dan Nurdiana naik motor berboncengan melintas di desa Balinuraga. Kedua gadis Desa Agom itu hendak pulang setelah berbelanja bersama teman-temannya. Di tengah jalan, motor mereka menabrak sepeda yang dinaiki dua pemuda dari Desa Balinuraga.
Djoko: Damai Lampung Harus Sampai Rakyat Bawah
Emilia dan Nurdiana terjatuh. “Kondisi sudah agak gelap, tiba-tiba ada sepeda di tengah jalan, saya tidak sempat ngerem dan kami bertabrakan. Saya jatuh dan tangan saya lecet,” tutur Nurdiana. “Saya berteriak minta tolong, namun tidak ada orang yang membantu. Dua orang yang naik sepeda itu lalu mendekati kami. Kami ditanya-tanya. Lalu kami dibantu diangkat,” ujarnya.

Menurut Emilia, ia juga dibantu, tapi ia merasa agak risih. “Pas saya dibantu diangkat, tangan orang yang membantu saya itu seperti mencolek-colek paha saya. Saya juga tidak tahu berapa orang membantu karena saat itu gelap,” cerita Emilia. Keduanya lalu dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Kalianda, Lampung Selatan.

Rupanya kejadian itu berbuntut. Orang tua kedua gadis tidak terima. Mereka merasa anaknya mengalami pelecehan. Puluhan warga desa Agom lalu berkumpul hendak meminta pertanggungjawaban dari para pemuda yang mereka duga berasal dari Desa Balinuraga.

Kondisi yang sempat memanas ini bisa diredam, setelah kedua kepala desa bertemu. “Saya juga ikut dalam pertemuan itu. Kedua pihak sudah menyatakan damai setelah mendengar penjelasan dua pihak,” tutur Ketua Parisade Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Lampung Selatan, Made Sukintre.

Namun, kabar pelecehan  itu keburu menyebar. Sekitar 500 warga desa Agom tetap tidak terima, dan menuntut tanggung jawab keluarga si pemuda desa seberang. Menjelang tengah malam, mereka berarak menuju Desa Balinuraga.

Tapi, kata seorang warga Agom yang ikut arakan rombongan itu,  mereka ternyata sudah 'disambut' saat masuk ke Balinuraga. "Kami sempat bentrok. Lalu terdengar suara tembakan, mungkin dari senjata api rakitan,”kata dia.

Setelah huru hara mereda, mereka baru tahu kalau satu warga Desa Agom, Marhadan,  tertembak. Lekaki malang itu meninggal di tempat. Warga Desa Agom pun mundur, mereka merasa kalah jumlah.

Esoknya, ribuan orang kembali berkumpul di Simpang Way Arong, Kalianda. Bukan hanya warga Desa Agom, namun juga desa-desa tetangga. Setiap orang menenteng senjata. Ada bambu runcing, golok, badik, samurai, tombak, hingga senapan api. “Hutang nyawa harus dibayar nyawa” teriak seseorang dari kerumunan sambil mengacungkan parangnya ke udara.

Hari itu, Minggu 28 Oktober 2012, sekitar pukul 10 pagi mereka bertekad menyerang Desa Balinuraga.

Di perbatasan desa, bentrokan kembali pecah. Sejumlah rumah dibakar, dua orang tewas. Kebanyakan luka bacok dan tertembak. Aparat keamanan dari polisi dan marinir yang berjaga tidak bisa bertindak banyak.

Perkelahian berdarah berlanjut hingga Senin 29 Oktober. Sekitar 10 ribu orang, entah berasal dari wilayah mana, berkumpul di Pasar Patok, yang letaknya persis di tengah kedua desa. Mereka lalu menuju Desa Balinuraga. Massa berniat membantu warga Desa Agom untuk menyerang kembali Desa Balinuraga.

Aparat keamanan tidak tinggal diam. Lebih dari 1.000 aparat dari Polda Lampung dan TNI AD serta AL Lampung mencoba menghalau dengan membuat barikade di pintu masuk kedua desa. Puluhan ribu orang yang kalap, mereka melempari barikade.

Kondisi makin panas. Gagal menembus tiga lapis barikade, massa mencari jalan alternatif. Mereka menyeberangi sungai, melewati kebun jagung, persawahan, hingga kebun karet. Satu jam sekitar 10 ribu massa berjalan kaki menuju Desa Balinuraga dengan memutar jalan.

Desa Balinuraga pun tertembus. Bentrokan di areal persawahan tak bisa dihindari. Rupanya, sekitar 3000 warga Balinuraga itu kalah jumlah, mereka pun terpukul mundur. Nahas, beberapa orang terjebak.  Dengan brutal mereka dihajar sampai tewas. Mayatnya penuh luka bacokan. Ada juga yang dibakar. Seorang korban kakinya dipotong, dan seorang lagi kepalanya dipenggal.

Puas melampiaskan amarahnya, massa kembali pulang. Mereka meninggalkan 12 orang tewas, puluhan orang luka-luka, 300 rumah lebih dibakar, mobil dan motor hangus, sekolah dan fasilitas umum rusak.  Juga trauma dan ketakutan mendalam.

“Peristiwa ini adalah konflik akumulatif,” ujar seorang sosiolog dari Universitas Lampung, Hartoyo, kepada VIVAnews, Jumat  2 November. Dia mencatat sedikitnya sudah terjadi lebih dari lima peristiwa serupa di Lampung Selatan sejak 1990-an.

Tapi bentrokan tak hanya terjadi pada dua etnis itu saja. Menurutnya, peristiwa bentrokan itu menjadi masif karena kejadian ini sudah menyangkut nilai-nilai dasar masyarakat. “Jadi, jika ada sedikit saja isu, akan mudah menjadi pemicu konflik, namun harusnya jangan sampai anarkis,” ujarnya.

Apa yang terjadi di Lampung cukup membuat siapa pun terheyak. Begitu mudah warga tersulut, lalu menjadi buas dan brutal. Bentrokan massal tidak hanya terjadi di Lampung.  Di sejumlah daerah lain, masyarakat tampaknya mudah dibakar angkara murka.  Pemicunya pun soal sepele.

Bentrok di Palu

Di Palu pada 30 Oktober lalu, misalnya. Dua warga kelurahan bertetangga, Tatura, Palu Selatan, Kota Palu dengan warga Kelurahan Tinggede, Kabupaten Sigi, itu berkelahi. Persoalan belum usai, karena sampai Kamis dinihari, 1 November 2012, suara “dum-dum” masih terdengar di Tinggede. Tapi “pancingan” itu tak diladeni warga Tatura.

Kapolsek Palu Selatan, AKP Saemuda Ali mengatakan, ledakan dum-dum itu bukan untuk menyerang ke Tatura. Diduga suara itu memancing warga Tatura agar kembali bentrok. "Beruntung warga Tatura tidak menanggapi pancingan itu," ujar AKP Saemuda Ali.

Di tempat sama, pada Selasa dinihari 30 Oktober, bentrokan dua warga desa itu pun pecah di Jembatan II, Jalan I Gusti Ngurah Rai, salah satu akses yang menghubungkan kota Palu dengan Kabupaten Sigi.

Warga Tatura di ujung jembatan satu. Warga Tinggede di ujung satunya. Mereka saling serang menggunakan batu, senjata busur dan dum-dum. Bentrokan berakhir sekitar pukul 04.00 Wita, setelah puluhan polisi turun.

Karena merasa aman, polisi lalu meninggalkan lokasi bentrok pada Kamis pagi. Ditinggal polisi, kedua kubu kembali saling memancing keributan. Sekitar pukul 9 pagi,  konsentrasi massa yang sedikit, perlahan mencapai ratusan. Lalu sekitar pukul 12.30 Wita, warga Tinggede kembali menyerang ke Tatura.

Tak begitu jelas pemicu bentrok itu. Menurut Saemuda, tiga hari sebelumnya, seorang pemuda Tatura mengaku bermasalah dengan seorang warga pemuda lain. Namun tidak diketahui asal pemuda itu. Yang diingat korban adalah sepeda motor yang digunakan oleh pelaku.

Pemuda Tatura lalu melakukan sweeping mencari motor yang dicurigai. Saat sweeping, mereka menemukan motor dengan ciri-ciri sama. Di dalam bagasi motor tersebut disebut-sebut ditemukan senjata rakitan.

Pengendara motor itu kemudian diserahkan ke polisi setempat dan sempat ditahan selama satu malam. Siangnya, pemuda tersebut dilepas tanpa diketahui alasan yang jelas.

Alhasil, pemuda yang ternyata warga Tinggede ini melapor ke teman-temannya. Dari laporan itu, pemuda Tinggede lalu bersatu, dan menyerang warga Tatura sehingga terjadi bentrokan pada Selasa dini hari, dan terulang pada Selasa siang.

Penculikan

Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, suasana damai di Kota Mataram terusik dengan isu penculikan anak melalui pesan singkat. Entah dari mana isu penculikan anak ini datang. Namun, isu itu membuat resah para orang tua di Mataram.

Pada 21 Oktober 2012 sekitar pukul 4 petang, isu ini makin meruncing.  Kabarnya, ada seorang pria yang dituduh penculik anak tertangkap. Ribuan warga pun mendatangi Kantor Kepolisian Kediri, Lombok Barat. Gilanya, warga mengamuk dan minta si pemuda diserahkan kepada mereka. Batu, senjata tajam, bambu, balok, dan lainnya bicara. Tak ayal, lelaki paruh baya yang dituduh menculik anak menjadi bulan-bulanan massa. Kepalanya hancur dihajar batu, juga tubuhnya. Dia terkapar bersimbah darah.

Amuk massa menular ke Desa Selat, Narmada, Kabupaten Lombok Barat. Tak jelas mengapa, amuk tak terbendung. Tiga tewas, dan tubuh hancur dilumat murka. Mereka adalah Badrun alias Amak Rohmani, warga Dusun Dasan Koak, Mekarsari, Swele. Lalu Arif Maulidin Hidayat (26 tahun) warga asli Kota Bima, dan Dedi Sunandar Abdullah (31 tahun) warga Tente, Woha, Bima.  Ada satu kemiripan: mereka tewas setelah dituding sebagai penculik anak.

Dari Lampung, Poso, dan Lombok, entah mengapa bentrok berdarah antar warga seperti sedang mewabah.

No comments:

Post a Comment