Oleh Drs. Lili Romli, M.Si.
Peneliti P2P LIPI dan Pengajar FISIP UI
Pemisahan Kekuasaan
Sebelum ada teori tentang pemisahan kekuasaan, pada mulanya kekuasaan dipegang pada satu tangan yaitu raja. Dampak terpusatnya kekuasaan pada satu orang ini adalah kekuasan yang otoriter/totaliter bahkan absolut. Oleh karena itu, kekuasaan sebaiknya tidak diserahkan kepada satu orang. Hal ini dalam rangka untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Seperti dikatakan oleh Lord Acton bahwa “Power tends to corrupt, absolutly power corrupt absolutely“.
Jadi, kekuasaan itu pada hakekatnya cenderung untuk korup atau disalahgunakan, dan kekuasaan yang absolut pasti korup atau disalahgunakan demi penguasa itu sendiri. Oleh karena itu, agar kekuasaan itu tidak disalahgunakan, perlu adanya pembatasan kekuasaan dan kontrol melalaui mekanisme check and balance di antara cabang-cabang kekuasaan.
Agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan berjalannya mekanisme check and balances, seorang pemikir Perancis, Montesqueu, mengemukakan teori tentang trias politica yang membagi cabang-cabang kekuasan atas tiga cabang, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif.
Ketiga cabang itu, kata Montesquieu perlu adanya pemisahan kekuasaan. Dalam konteks ini, ia mengatakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin jika ketiga cabang kekuasaan itu dipegang oleh orang atau badan yang terpisah. Sebab apabila dipegangoleh satu orang atau badan maka tidak akan ada kemerdekan, yang ada adalah malapetaka.
Parlementer versus Presidential
Berbicara tentang sistem pemerintahan sesungguhnya berbicara tentang relasi antara parlemen (legislatif) dengan eksekutif. Apabila dominasi dan konsentrasi kekuasaan terletak pada legislatif, maka model sistem pemerintahan adalah parlementer. Sedangkan apabila konsentrasi kekuasaan terpusat pada eksekutif menganut sistem pemerintahan presidensiil. Dengan kata lain, berdasarkan pada pola kekuasaan dan kepemipinan, kekuasaan eksekutif dibedakan atas sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial.
Sistem Parlementer. Dalam sistem parlementer kepala pemerintahan, yang bisa dijabat oleh Perdana Menteri (PM), presiden dan lainnya bergantung pada mosi atau kepercayaan parlemen dan dapat turun dari jabatan melalui mosi tidak percaya dari parlemen. PM “dipilih” oleh parlemen, yang kemudian diikuti dengan pengangkatan resmi oleh kepala negara. Biasanya PM berasal dari partai mayoritas namun apabila tidak mencapai mayoritas untuk membentuk pemrintahan dibentuk pemerintahan koalisi.
PM merupakan pimpinan kabinet. Pemerintah bersifat kolegial atau kolektif, di mana PM dalam menerapkan kepemimpinan bersifat kolektif melalui kekuasaan koordinasi terhadap menteri-menteri. Menteri-menteri adalah kolega PM. Masing-masing menteri bertanggungjawab kepada parlemen. Model pertanggungan jawab terdiri dari pertanggungjawaban kabinet dan pertanggungjawaban menteri. Kabinet merupakan himpunan menteri-menteri yang setara kedudukannya.
Presiden dalam sistem pemerintahan parlementer (kecuali negara yang menganut sistem monarki konstitusional seperti Inggris dengan negara-negara commonwealth-nya) dipilih dan diangkat oleh atau menyertakan badan perwakilan rakyat. Dalam pemilihan ini, terdapat berbagai model, seperti di India dipilih oleh electoral college yang terdiri dari Parlemen dan Senat dan presiden Italia dipilih dalam suatu rapat gabungan parlemen dan utusan daerah (regional delegates). Meskipun ia dipilih oleh parlemen ia tidak bertangung jawab kepada parlemen, Presiden juga tidak bertanggung jawab atas pennyelenggaraan pemerintahan. Tanggung jawab pemerintahan ada pada kabinet. Presiden semata-mata sebagai kepala negara (chief of state) yang merupakan simbol negara dan seremoniaL Ia tidak bisa diganggu gugat (can do no wrong).
Terdapat berbagai variasi negara-negara yang menerapkan sistem parlementer. Ada negara yang berbentuk republik dan ada yang berbentuk kerajaan. Negara-negara seperti India, Singapura, Pakistan, Bangladesh, dan Israel adalah negara republik yang menjalankan sistem pemerintahan parlemeter. Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1945-1959) adalah negara republik yang menerapkan sistem parlementer. Sedangkan, negara kerajaan yang menerapkan sistem parlementer antara lain Inggris, Malaysia, Jepang, Belanda, Belgia, dan Swedia. Dalam menerapkan sistem parlementer ini, ada yang menteri-menterinya dilarang merangkap sebagai anggota parlemen seperti Belanda, tetapi ada pula yang menteri-menterinya merangkap sebagai anggota parlemen seperti Ingris.
Sistem Presidensial. Dalam sistem ini, presiden selain sebagai kepala pemerintahan sekaligus juga sebagai kepala negara. Presiden dipilih, baik secara langsung oleh rakyat maupun oleh suatu badan tertentu, untuk masa jabatan tertentu (misalnya di AS selama 4 tahun) dan dalam keadaan normal tidak dapat dipaksa untuk mengundurkan diri.
Pada sistem presidensial, eksekutif (pemerintah) non-kolegial. Presiden bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas para menterinya. Semua pejabat di bawah presiden adalah para membantunya. Jadi, kepemimpinan atau kekuasaanya bersifat hirarkis, dan tanggung jawab sepenuhnya berada pada presiden. Dengan kata lain, prsiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tunggal. Pertanggungjawaban presiden bukan pada parlemen, karena itu tidak ada mosi tidak percaya, tetapi kepada konstitusi. Namun demikian, seperti di AS, presiden dapat diberhentikan dari jabatan melalui mekanisme impeachment apabila melakukan pengkhianatan, menerima suap, dan melakukan kejahatan serius (treason, bribery, or other hight crime, and misdemeanors).
Sistem presidensial dianggap dapat menciptakan stabilitas eksekutif karena didasarkan pada masa jabatan presiden yang telah ditentukan di mana selama menjabat tidak ada yang menggangu gugat kecuali ada situasi yang tidak normal atau melanggar UUD yang telah ditentukan. Ini berbeda dengan sistem parlementer di mana pemerintah (kabinet) suatu waktu dapat jatuh karena mosi tidak percaya. Apalagi bila kabinet terbentuk dari koalisi sederhana maka akan rawan dari ancaman mosi tidak percaya.
Meskipun dapat menciptakan stabilitas eksekutif, namun bila terjadi konftik antara eksekutif dengan legislatif akan menemui jalan buntu dan mandeg. Konflik menjadi tidak terselesaikan dan akan berlarut-larut. Ini terjadi karena masing-masing bertahan pada legitimasi yang dimiliki karena keduanya dipilih oleh rakyat. Konflik ini akan menjadi rumit manakala antara ekesekutif dan legislatif berasal dari kekuatan politik (partai politik) yang berbeda. Karena itu, sistem presidensial di anggap kaku. Berbeda dengan sistem parlementer yang dianggap fleksibel karena apabila ada konflik antara parlemen dengan kabinet dengan mudah diselesaikan, yaitu melalui mosi tidak percaya. Melalui mosi tidak percaya ini, pemerintah bisa diganti kapan saja.
Dalm melihat praktek pelaksanaan dari kedua sistem pemerintahan itu, kerap mengacu kepada model Amerika Serikat dan Inggris. Amerika dijadikan model dari pelaksanaan sistem presidensial, sementara Inggris sebagai model pelaksanaan sistem parlementer. Dalam kerangka itu Verney mencoba melakukan kajian bagaimana sesungguhnya dari kedua model sistem pemerintahan itu di terapkan. Berdasarkan kajian itu, Verney kemudian mengemukakan perbedaan kedua sistem tersebut dalam tabel di bawah.
No Sistem Presidensial AS Sistem Parlementer Inggris
1 Majelis tidak herubah menjadi parlemen Majelis menjadi parlemen
2 Eksekulil tidak dibagi tetapi hanya ada seorang Presiden yang dipilih oleb rakyat untuk masa jabatan tertentu pada saat majelis dipilih Eksekutif dibagi dalam dua bagian: PM sebagai kepala pemerintahan dan Raja sebagai kepala negara
3 Kepala pemerintahan adalah kepala negara Kepala negara mengangkat kepala pemerintahan
4 Presiden mengangkat kepala departemen yang merupakan bawahannya Kepala pemerintahan (PM) mengangkat menteri-menteri
5 Presiden adalah eksekutif tunggal Kabinet pemerintah adalah badan kolektif
6 Anggota Majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan dan sebahknya. Menteri biasanya merupakan anggota parlemen
7 Eksekutif bertanggungjawab kepada pemilih Pemerintahan bertanggung jawab secara politik kepada majelis
8 Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis Kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada Kepala Negara unluk membubarkan parlemen
9 Majelis berkedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintahan lain dan tidak ada peleburan bagian eksekutif dan legislatif seperti dalam sebuah parlemen Parlemen secara keseluruhan berkedudukan lebih tinggi dari pemerintnh dan majelis tetapi tidak saiing mendominasi
10 Tidak ada peleburan antara eksekutif dan legislatif Pemerintah secara keseluruhan hanya bertanggung jawab tidak langsung kepada para pemilih
11 Tidak ada lokus kekuasaan dalam sistem politik Parlemen adalah lokus kekuasaan dalam sistem politik
Sumber: Verney, Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, 1996.
Efektivitas versus Demokrasi
Suatu sistem parlementer dapat dikatakan efektif dalam arti berjalannya pemerintahan dan kuat manakala: (1) mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen; (2) pengalaman para menteri-menterinya; dan (3) menggunakan partai atau koalisi partai sebagai mekanisme mempengaruhi parlemen dan rakyat. Namun, sistem parlementer tidak tidak efektif apabila (1) tidak tercapai kompromi di dalam partai atau koalisi partai; dan (2) oposisi tidak dapat dikalhkan dalam perdebatan dan voting di parlemen.
Sistem presidensial bisa efektif apabila: (1) kekuasaan bersifat konstitusional atau legitimate; (2) mendapat dukungan mayoritas mutlak dari pemilih; dan (3) menentukan para pembantunya (menteri-menteri) dari tokoh-tokoh terbaik. Sedang tidak akan efektif manakala: (1) tidak mendapat dukungan mayoritas dari pemilih; (2) terjadi konflik dengan parlemen; dan (3) menteri-mentrinya kurang cakap.
Sistem parlementer bersifat demokratis apabila: (1) keputusan atau kebijakan yang dibuat dilakukan secara kolektif; (2) kekuasaan pemerintahan dipegang secara kolektif, artinya PM hanya sebagai koordinator dari menteri-menterinya; dan (3) kebijakan-kebijakannya selalu diaawasi oleh oposisi. Tetapi, bisa menjadi tidak demokratis apabila: (1) PM menjadi sangat kuat dan dominan; dan (2) manipulasi kekuasaan lewat partai peme-rintah yang mayoriats mutlak dengan mengbaikan suara dan kontrol dari oposisi.
Sedangkan sistem presidensial dapat dikatakan bersifat demokratis manakala dalam praktek penyelenggaraanya: (1) Presiden dipilih secara langusng oleh rakyat; (2) terkontrol dan terimbangi oleh parlemen; dan (3) masa jabatan dan kekuasaannya dibatasi. Namun, bisa menjadi tidak demokratis apabila: (1) kekuasaan yang dimiliki menjadi begitu kuat; dan (2) tidak ada kontroL dari parlemen atau kontrol parlemen lemah.
Jalan Tengah: Semi Presidensial
Menurut Maurice Duverger, suatu negara dianggap menerapkan sistem semi presidensiil manakala dalam UUD menyatakan menyatukan tiga unsur, yaitu: (1) presiden dipilih melalui hak pilih universal/umum; (2) ia (presiden) memiliki kekuasaan yang cukup besar; dan (3) ia memiliki lawan politik, namun seorang perdana menteri atau para menteri yang memegang kekuasaan eksekutif dan pemerintahan dapat tetap memegang jabatan senadainya parlemen tidak menunjukkan oposisi kepada mereka (Duverger, Model Sistem Politik Bam: Pemerintahan Semi Presidensial, 1995).
Negara yang menerapkan sistem semi presidensial karena sistem ini diterapkan untuk mengatasi kelemahan sistem presidensiil dan sistem parlementer.. Atau dengan kata lain, sistem semi presidensiil merupakan gabungan atau menggabungkan kelebihan dari sistem prsidensiil dan sistem parlementer. Dasar pemikirannya beranjak bahwa presidesialisme akan berjalan dengan baik manakala ia mendapat dukungan mayoritas di parlemen, persoalan kemudian muncul apabila presiden tidak dapat dukungan mayoritas parlemen. Yang terjadi adalah kemandegan atau kebuntuan manakal keduanya terjadi konflik. Kemandegan cenderung terjadi bila presiden tidak mendapat dukungan mayoritas di parlemen.
Selain itu, para pendukung semi presidensial bahwa sistem ini menggabungkan kelebihan dari pemilu langsung yang demokratis dan masa jabatan tetap yang dihubungkan dengan pemerintahan presidensiil dan fleksibilitas kabinet parlementer serta perdana menteri (Arend Lipjhart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, 1995). Dalam sistem ini, presiden, perdana menteri, dan kabinet bersama-sama memberikan kesempatan yang lebih baik dari sistem presidensiil murni untuk membentuk koalisi. Karena, dalam sistem ini, menurut Jean Blondel, terbentuk “kepemimpinan ganda”. Selain itu juga, presiden dapat bertindak sebagai penengah di antara sejumlah partai jika ia dapat menyerahkan lebih banyak tugas kenegaraan yang kontroversia kepada perdana menteri (Jean Blondel, Kepemimpinan Rangkap di Dunia Dewasa Ini, 1995).
Menurut pengamatana Duverger, ada tiga macam praktek negara-negara yang menerapkan sistem semi presidensial, yaitu: (1) tiga negara dengan presiden sebagai boneka; (2) Sebuah negara dengan kedudukan presiden yang sangat berkuasa; dan (3) tiga negara dengan kekuasaan presiden dan pemerintah yang seimbang (Duverger, Model Sistem Politik Baru: Pemerintahan Semi Presidensial, 1995).
Model yang pertama, tiga negara dengan presiden sebagai boneka adalah Austria, Irlandia, dan Islandia. Ketiga negara ini dalam UUD menyebutkan menganut sistem semi presidensial, sedangkan praktek politiknya adalah parlementer. Meskipun dipilih secara umum dan diberikan kekuasaan pribadi oleh undang-undang, ia biasanya bertindak seperti presiden Itali atau seperti Ratu Inggris. Ia mengesahkan semua keputusan yang diajukan oleh pemerintah, dan hak prerogatifnya hanya memilih PM selama pilihannya tidak ditentukan oleh hasil pemilu. Namun dalam praktek, ketiga negara itu terdapat beberapa perbedaan. Di Irlandia, presiden menggunakan lebih banyak kekuasaanya dibanding di Islandia, dan lebih banyak di Austria daripada di Irlandia.
Model kedua, yaitu Perancis di mana kedudukan presiden yang sangat kuat. Presiden Republik Perancis dapat membuat berbagai keputusan tanpa harus ditandatangani oleh PM dan tanpa persetujuan pemerintah atau mayoritas parlemen. Kekuasaan yang dimiliki itu meliputi: (1) membubarkan Majelis Nasional; (2) menunjuk kepada Dewan Konstitusional tentang undang-undang atau komitmen internasionalyang ia nilai bertentangan dengan UUD; (3) mengangkat tiga anggota dan ketua Dewan Konntitusional setelah masa jabatan berakhir; (4) menyampaikan berbagai pesan kepada parlemen. Selain itu, presiden juga dapat menolak menandatangani berbagai ordonansi atau dekrit yang dibahas di Dewan Menteri. Menurut Duverger, pada prakteknya presiden bahkan menggunakan kekuasaan yang jauh lebih besar.
Model ketiga, kekuasaan presiden dan pemerintah yang seimbang yaitu Republik Weimar, Finlandia dan Portugal. Dalam konstitusinya ketiga negara ini terdapat dualisme di mana ada seoran presiden yang dipilih melalui pemilu dan diberin kekuasaan pribadi bersama dengan perdana menteri dan pemerintah yang bersandar pada parlemen serta diberi kekuasaan eksekut
Pengalaman Indonesia
Pada awal kemerdekaan, berdasarkan UUD 1945, Indonesia menganut sistem presidensial di mana kekuasaan presiden bersifat mutlak. Dasarnya ada pada Ps’al IV Aturan Peralihan dari UUD 1945. Dalam Aturan Peralihan disebutkan bahwa sebelum MPR dan DPR terbentuk, segala kekuasaan dijalankan oleh presiden. Dengan demikian, sesungguhnya presiden dapat menjadi “diktator konstitusional”. Lembaga-lembaga lain hanya merupakan pembantu presiden. Apalagi dalam Aturan Tambahan disebutkan bahwa presiden dapat mengatur dan menyelenggarakan “segala hal” yang ditetapkan oleh UUD ini.
Namun, kekuasaan presiden yang besar itu ternyata tidak berlangsung lama karena ada Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945. Dalam Maklumat ini, KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang tadinya sebuah institusi dengan tugas membantu presided dirubah menjadi sebuah institusi yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut pula menetapkan GBHN.
Perkembangan kemudian tidak hanya sampai di situ saja, KNIP kemudian benar-benar menjadi sebuah lembaga parlemen yang terdiri dari wakil-wakil partai serta mendesak agar dibentuk sebuah kabinet yang bertanggungjawab kepada KNIP (parlemen). Di sini, kemudian dibentuk Kabinet Syahrir. Dengan dibentuknya kabinet ini, telah terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer. Dalam sistem ini, presiden hanyalah seorang kepala negara yang tidak mempunyai kekuasaan pemerintahan, kedudukannya hanya bersifat simbolik dan seremonial.
Sistem parlementer juga diterapkan pada masa Indonesia menjadi negara federal (Republik Indonesia Serikat, RIS) yang berdasarkan Konstitusi RIS tahun 1949 dan ketika Indonesia kembali menjadi negar kesatuan yang berdasarkan UUDS 1950. Namun demikian, meski kedua konstitusi itu menganut sistem parlementer tetapi terdapat beberapa perbedaan, di antaranya, yaitu: (1) dalam konsitusi RIS 1949, menteri-menteri tidak boleh menjadi anggota parlemen, sementara dalam UUDS 1950, menteri dapat menjadi anggota parlemen; dan (2) dalam Konstitusi RIS 1949 tidak ada ketentuan yang mengatur presiden dapat membubarkan parlemen, sedang dalam UUDS 1950 ada ketentuan presiden berhak membubarkan parlemen.
Saat menerapkan sistem parlementer ini, ternyata dampak bagi jalannya pemerintahan kurang kondusif. Telah terjadi ketidakstabilan pemerintahan. Pada masa ini, kerap terjadi pergantian kabinet. Kabinet selalu jatuh bangun akibat mosi tidak percaya dari parlemen. Pada masa ini, tidak ada kabinet yang berumur lebih dari dua tahun, bahkan ada kabinet yang hanya berumur beberapa bulan saja setelah itu digantikan oleh kabinet lain. Akibat berganti-ganti kabinet ini, program-program tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Salah satu sebab instabilitas politik itu karena sistem multi partai dan kabinet dengan koalisi sederhana. Partai-partai yang ada begitu banyak dan beragam serta memiliki ideologi yang berbeda-beda yang saling bertentangan satu sama lain. Sementara dari jumlah partai yang banyak itu, tidak ada partai yang memiliki jumlah kursi yang besar di parlemen sehingga ketika membentuk pemerintah (kabinet), harus koalisi.
Memang sistem pemerintahan parlementer dengan pemerintahan koalisi mengandung potensi tidak stabil. Karena pada sistem parlementer, kelangsungan pemerintahan (kabinet) tergantung pada dukungan mayoritas parlemen. Pemerintahan yang terbentuk berdasarkan koalisi akan mudah terancam perpecahan karena adanya perbedaan dasar, cita-cita, serta program dari masing-masing unsur.
Sesungguhnya kelemahan ini bisa diatasi apabila sistem kepartaiannya yaitu sistem dwi partai; atau sistem pemilihan mendorong ke arah integrasi partai-partai (sistem distrik) dan kompetisi di antara partai-partai bukan berdasarkan pada perjuangan ideologi melainkan pada program. Contoh sistem parlementer di Inggris dengan menerapkan sistem kepartaian sederhana ternyata dapat mencipatakan stabilitas politik/pemerintahan.
Di Indonesia, seperti dikemukakan di atas, dalam menerapkan sistem parlementer tidak diikuti oleh sistem kepartaian sederhana sehingga menimbulkan ketidakstabilan politik. Ketidakstabilan itu semakin parah karena: (1) perebutan kursi atau jabatan di antara partai-partai politik; (2) konflik politik di antara elit-elit politik; (3) pertentangan ideologi. Oleh karena itu, tidak heran kemudian orang seperti Hatta mengecam tingkah laku partai seperti itu yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat tetapi lebih mengutamakan kepentingan partai atau kelompoknya. A.H. Nasution menyarankan perlunya partai politik diganti dengan “junta pemuda” akibat sebal dengan partai politik. Sementara itu Soekarno secara radikal agar “bubarkan partai-partai”.
Akibat situasi seperti itu, sistem parlementer dianggap tidak cocok untuk Indonesia. Sistem ini dianggap sebagai demokrasi ala Barat. Demokrasi yang tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia. “Demokrasi lima puluh plus satu,” kata Soekarno. Oleh karena itu, kata Soekarno, kita harus kembali kepada demokrasi ala Indoensia, suatu demokrasi yang cocok dan sesuai dengan struktur masyarakat Indonesia. Demokrasi yang berlandaskan pada musyawarah dan kekeluargaan.
Pertimbangan itu menjadi salah satu alasan untuk kembali ke UUD 1945. Selain karena factor dead lock sidang Konstituante, Soekarno kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada UUD 1945. Dengan kembali kepada UUD 1945, sistem pemerintahan yang berlaku bukan lagi sistem parlementer tetapi sistem presidensil. Dengan sistem ini, yang berlandaskan pada UUD 1945, Soekarno membangun dan menerapkan yang disebutnya sebagai demokrasi ala Indonesia, yaitu Demokrasi Terpimpin.
Dalam Demokrasi Terpimpin, kekuasaan terpusat di tangan presiden, yakni Soekarno. Partai-partai politik tidak berfungsi, bahkan jumlahnya dikurangi. Dari 28 partai politik, hanya tinggal 10 partai, yaitu: PNI, PKI, NU, PSII, Perti, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, Murba, dan Partindo. DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan, diganti dengan DPR-GR yang anggotanya diangkat oleh Soekarno, Kabinet dibubarkan dan diganti dengan Kabinet Gotong Royong. Ketua DPR, MPR, BPK, MA diangkat sebagai pembantunya, yaitu dengan jabatan menteri. Semua kepala staf (AD, AL, AU dan Kepolisian) juga diangkat sebagai menteri. Dengan gambaran seperti itu, maka demokrasi terpimpin sudah tidak ada lagi “demokrasi”, yang ada tinggal “terpimpinnya”.
Namun, keberlangsungan Demokrasi Terpimpin tidak berumur panjang. Benar apa yang dikatakan oleh Hatta, bahwa Demokrasi Terpimpin bagaikan rumah kertas, yang tidak akan berumur panjang. Akibat tragedi G30 S/ PKI, MPRS memberhentikan Soekarno sebagai presiden Soekarno yang semula diangkat menjadi presiden seumur hidup, .
Sistem presidensial tetap diterapkan saat Orde Baru berkuasa dengan Soeharto sebagai presidennya. Sama dengan Soekarno, Soeharto juga tetap mempertahankan UUD 1945, bahkan dalam rangka itu (mempertahankan UUD 1945), ia “memaksa” MPR untuk mengeluarkan ketetapan agar tidak merubah UUD 1945 (lihat Tap MPR No. IV/MPR/1983). Sama dengan Soekarno, Soeharto juga sangat anti terhadap demokrasi parlementer yang dicap sebagai demokrasi liberal yang hanya menekankan individualisme dan kebebasan. Bagi Soeharto, demokrasi yang sesuai dengan bangsa Indonesia adalah Demokrasi Pancasila, suatu demokrasi yang menekankan musyawarah mufakat dan kekeluargaan sesuai dengan jiwa Pancasila terutama sila keempat.
Lagi-lagi sama dengan Soekarno, Soeharto juga mengecam partai-partai politik sebagai biang kekacauan yang menimbulkan ketidakstabilan politik. Karena itu, ia lalu melakukan pengurangan jumlah partai politik dari 10 menjadi 3, yaitu Golkar, PPP, dan PDI).
Namun berbeda dengan Soekarno di mana setiap kebijakan tanpa konsultasi atau persetujuan dengan lembaga perwakilan (bahkan lembaga ini dibubarkan karena menentang kebijakan Soekarno), Soeharto dalam mengeluarkan kebijakan selalu melalui persetujuan lembaga perwakilan (DPR/MPR) sehingga Soekarno dianggap inkonstitusional, sedang Soeharto dianggap konstitusional. Meskipun bersifat konstitusional, watak kekuasaan tetap sama dengan Soekarno: otoritarianisme. Eep Saifulloh Fatah menyebut masa kekuasaan Soeharto sebagai Demokrasi Terpimpin Konstitusional.
Pertanyaan yang muncul kemudian: mengapa UUD 1945 dalam pelaksanaannya melahirkan kekuasaan yang otoriter?
Pertanyaan ini, mungkin, dapat dijawab karena salah satu karakteristik utama UUD 1945 adalah pemusatan kekuasaan di tangan presiden (concentration of power upon the president atau the strong executive type of government). Karakteristik ini dapat dilihat dari pasal-pasal dalam UUD 1945, seperti Pasal 5 ayat (1) kekuasaan membentuk UU, dan ayat (2) kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah; Pasal 10 memegang kekuasaan tertinggi Angkatan Perang; Pasal 11 menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian; Pasal 12 menyatakan keadaan bahaya; Pasal 13 mengangkat Duta dan Konsul serta menerima Duta negara lain; Pasal 14 memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi; Pasal 15 memberi gelar dan tanda jasa; pasal 17 ayat (2) mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri; Pasal 21 ayat (2) membatalkan RUU yang disetujui DPR; Pasal 22 menetapkan Peraturan Pemerintah pengganti UU; dan Pasal 23 ayat (1) mengajukan RAPBN.
Selain itu, menurut Adnan Buyung Nasution, yang juga turut memperbesar kekuasaan presiden adalah kenyataan bahwa begitu banyaknya loop holes yamng terdapat di dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945. Ini terlihat dari banyaknya rumusan yang berbunyi: “… ditetapkan dengan undang-undang” di akhir sejumlah Pasal UUD 1945. Dengan rumusan seperti itu, memungkinkan bukan hanya ketentuan yang terdapat di dalam UUD ini disimpangi bahkan malah bisa dikebiri oleh pembentuk sekaligus pelaksana UU.
Yang juga turut memperbesar bahkan , melahirkan kekuasaan otoriter adalah tidak adanya pembatasan masa jabatan presiden. Dengan tidak adanya pembatasan masa jabatan presiden ini, turut memberi andil lahirnya kekuasaan yang otoriter. Sebab bila seseorang memegang kekuasaan terlalu lama, akan cenderung terjadi penyelewengan kekuasaan.
Sehubungan dengan itu, meskipun di dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan bahwa pemerintahan tidak bersifat absolutisme dan negara Indonesia tidak berdasarkan kekuasaan belaka, tetapi bila kekuasaan presiden begitu besarnya niscaya akan sulit tercipta balance of power dan mekanisme checks and balances. Dalam konteks itu, dalam upaya menciptakan mekanisme checks and balances, pada era reformasi ini, MPR melakukan amandemen terhadap sejumlah pasal untuk membatasi kekuasaan presiden.
Berdasarkan pada pembahasan di atas, apabila kita membandingkan tentang sistem parlementer dan sistem presidensil, yang telah dipraktekkan di Indonesia sepintas orang akan berkesimpulan bahwa sistem parlementer di Indonesia melahirkan instabilitas sedangkan sistem presidensial menciptakan stabilitas. Hal ini karena terbukti pada masa Soeharto (dan juga Soekarno bila tidak ada G30S/PKI) di mana pemerintahannya berjalan dengan stabil dan mantap. Apakah memang demikian?
Kalau memang sistem presidensial dapat menciptakan stabilitas, lalu pertanyaan yang muncul: mengapa pada era reformasi ini tidak terjadi seperti pada masa Orde baru. Presiden Abdurrahman Wahid yang dipilih secara demokratis ternyata jatuh di tengah perjalanan. Dengan demikian, berarti sistem presidensial ternyata pada era reformasi ini tidak menjamin terciptanya stabilitas pemerintahan. Dengan demikian, pada masa Orde Baru, adanya stabilitas pemerintahan karena faktor strong man, yaitu Soeharto itu sendiri.
Soeharto dengan didukung oleh militer, Golkar dan birokrasi, melakukan politik kooptasi terhadap semua kekuatan politik; mengontrol rekruetment politik (anggota MPR, DPR, DPA, MA, BPK, lembaga eksekutif dan organisasi politik); dan memiliki sumberdaya keuangan yang besar melalui Banpres dan YayasanYayasan. Selain itu juga, Soeharto, melalui militer, memerintah dengan cara otoriter (baik fisik maupun non-fisik/hegemoni).
Menimbang Sistem Pemerintahan yang Cocok untuk Indonesia
Berdasarkan pengalaman, Indonesia telah mempraktekkan sistem pemerintahn parlementer dan sistem pemerintahan presidensiil. Dalam sistem parlementer, mengalami kegagalan karena kerap jatuh bangun kabinet yang kemudian menghantarkan kepada Demokrasi Terpimpin yang otoriter bahkan totaliter. Dalam sistem presidensial, pada masa Soeharto memang tercipta stabilitas tetapi stabilitas itu bersifat semu karena dibangun dengan kekuatan fisik dan tekanan (sentralisame dan otdritenanisme). Jadi tidak berlansung dalam suasana yang demokratis dan bebas.
Ketika era reformasi, di mana ada kebebasan sehingga tumbuh begitu banyak partai politik, sistem presidensial tidak dapat menciptakan stabilitas. Korban pertama adalah Presiden Abdurahman Wahid yang diturunkan di tengah jalan oleh MPR yang telah memilihnya. Atas kejatuhan Presiden Abdurahman Wahid ini, banyak pengamat menilai karena ketidak jelasan sistem pemerintahan yang kita anut. Meskipun presiden diberi kekuasaan yang besar (sebagai kepala pemerintahan, kepala negara, fungsi legislative, dan fungsi yudikatif), kekuasaan itu suatu saat bisa dicabut oleh MPR.
Menurut Blair A. King, mengapa sistem presidensial model Indoensia ternyata menimbulkan instabilitas karena sistem yang dibangun oleh UUD 1945 (serta amandemen yang sedang dilakukan) bukan menggabungkan kelebihan-kelebihan dari sistem presidensial dan sistem parlementer, tetapi mengawinkan hampir semua kekurangannya, yang terbukti dari kenyataan bahwa sistem kepartaian di Indonesia adalah multi partai (King, “Presidensialisme Berselang-Seling”, Tempo, 25 Februari 2001).
Dalam konteks itu, King lalu menawarkan gagasan yang dikemukakan oleh Giovani Sartori, guru besar ilmu politik berkebangsaan Itali, yaitu sistem “presidensialisme berselang-seling” (alternating presidentialisme).
Ciri pokok dari sistem ini, antara lain: (1) ada masa jabatan tertentu dan waktunya sama (5 tahun) untuk presiden dan DPR; (2) baik presiden maupun DPR dipilih secara langsung oleh rakyat, dan presiden harus dipilih melalui sistem yang menghasilkan mayoritas mutlak; (3) pada setiap awal masa jabatan lima tahun diterapkan sistem parlementer murni (di sini presiden hanya sebagai kepala negara). DPR hanya boleh memilih maksimal dua PM dalam masa jabatan lima tahun; (4) seandainya baik PM pertama maupun kedua jatuh melalui mosi tidak percaya di DPR, sistem pemrintahan berubah seketika menjadi presidensial murni di mana presiden sebagai kepala pemerintahan dan juga kepala negara; dan (5) anggota DPRD tidak boleh menjadi menteri pada kabinet presidensial.
Meskipun sistem presidensialisme berselang-seling yang ditawarkan Sartori ini nampak bagus karena mengawinkan fleksibilitas dan sistem parlementer dengan disiplin dari sistem presidensial, tetapi masalahnya, seperti dikemukakan oleh Sartori dan King sendiri, sistem ini ternyata belum pernah dicoba atau diterapkan di negara mana pun di dunia. Jadi, tidak ada empiriknya.
Berbeda dengan pendapat King di atas, sayamenawarkan sistem pemerintahan di Indonesia adalah sistem semi presidensial. Mengapa tidak menerapkan sistem presidensial murni atau parlementer murni, tetapi semi-presidensial? Karena bila sistem presidensial murni diterapkan di Indonesia, berarti mengabaikan realitas masyarakat Indonesia yang multi partai dan multi ideology atau aliran politik. Ini akan rawan karena akan melahirkan pemerintahan yang terbelah (divided government). Presiden hanya didukung oleh partainya yang minoritas di parlemen, sementara mayoritas parlemen tak hanya beroposisi, tetapi kerap bermusuhan dengan presiden. Ini tentu menyebabkan pemerintah akan menjadi tidak efektif (lumpuh).
Sementara bila diterapkan sistem parlementer murni, karakter dan kultur politik kita tidak mendukung sistem dimaksud. Ini dapat dilihat dari partai-partai politik yang terpragmentasi baik dalam hal ideologi maupun basis massa. Dengan karakter seperti ini, pengalaman masa Demokrasi Liberal dengan kerap jatuh bangunnya kabinet akan terulang kembali. Oleh karena itu, menyerahkan mekanisme pemerintahan pada sistem parlementer murni atau presidensial murni tidaklah cukup. Untuk itu, saya mengusulkan perlu ada campuran dari kedua sistem itu dengan mengambil kelebihan-kelebihannya bukan kelemehan-kelemahannya.
Dalam konteks itu, sistem semi presidensial untuk Indonesia meniru sistem seperti yang dipraktekan di Perancis. Saya melihat bahwa sistem semi presidensial di Perancis perlu ditiru karena sistem semi presidensial di Perancis mengawinkan kelebihan-kelebihan dari sistem presidensial murni dan parlementer murni.
Ada pun sistem semi presidensial model Perancis tersebut, sebagaimana kita ketahui, ciri-cirinya antara lain: (1) Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu dan dapat dipilih kembali. Dengan dipilih secara langsung ini berarti presiden mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat. Selain itu juga presiden mempunyai fungsi sebagai alat pemersatu; (2) Ada jabatan Dewan Menteri yang dipimpin PM yang terpisah dari jabatan presiden. Adanya PM ini dalam rangka mengakomodir partai-partai politik yang ada di parlemen, sehingga partai yang mendapat dukungan banyak berhak menduduki kursi PM; (3) Baik presiden maupun kabinet sama-sama mempunyai kekuasaan riil atas penyelengaraan pemerintahan. Ada pembagian kekuasaan antara presiden dan kabinet. (4) PM dan Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Untuk mendukung sistem semi presidensial itu, saya menyarankan perlunya menerapkan sistem kepartaian sederhana. Sistem ini terbentuk secara alamiah, bukan rekayasa dari atas seperti masa Orde Baru. Salah satu cara untuk membentuk sistem kepartaian sederhana adalah perlu diterapkan sistem distrik. Karena dalam sistem distrik ini, salah satu kelebihanya, mengintegrasikan partai-partai. Persoalannya adalah apakah para elit politik siap? Semoga.
No comments:
Post a Comment