Tuesday, 20 April 2010

Catatan Agus Pambagio : Air Lagi, Air Lagi.....

Air sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia, saat ini sudah menjadi komoditi yang tidak lagi sepenuhnya dikuasai oleh negara. Pengusahaan air di banyak negara saat ini dilakukan oleh perusahaan investasi dan perusahaan utilitas swasta seperti yang terjadi di beberapa kota Indonesia. Di Afrika Selatan, Argentina, Senegal, Cuba dan lain-lain juga ada juga yang dikelola oleh swasta dengan metoda Public Private Partnership (PPP), sama seperti di wilayah DKI Jakarta.

Sistem pengelolaan model PPP ada yang dengan sistem full cost recovery seperti di wilayah DKI Jakarta dan ada yang masih model subsidi, baik oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat seperti yang terjadi di Ho Chi Minh di Vietnam. Perubahan fenomena pengelolaan air dari kuasa negara ke kuasa swasta, tentunya memunculkan banyak hambatan. Demikian pula di wilayah DKI Jakarta, di mana sejak tahun 1998 telah dikelola oleh PT Palyja dan PT Aetra untuk jangka waktu 25 tahun kedepan.

Seperti yang pernah saya sampaikan pada tulisan saya terdahulu, bahwa perjanijan kerjasama antara PDAM dengan dua operator air swasta tersebut memang mengandung cacat sejak awal. Namun karena kesepakatan sudah dibuat dan kebutuhan akan air bersih sangat mendesak, maka langkah strategis harus diambil, yaitu lanjutkan dengan meminimalisir kerugian di operator dan konsumen atau putuskan perjanjian.

Kedua, alternatif tersebut mempunyai konsekuensi maing-masing bagi Pemda DKI, operator swasta, PDAM dan konsumen. Banyak desakan dari beberapa LSM, seperti Koalisi Rakyat Untuk Hak Air (KRUHA), Amrta Institute for Water Literacy dll yang secara tegas meminta agar Pemda DKI Jakarta membubarkan kerjasama pengelolaan air minum dengan 2 investor swasta yang ada.

Di sisi lain banyak pula pihak yang ingin mempertahankan kerjasama operasi pengelolaan air minum ini dikarenakan sanksi yang cukup berat dan denda yang tidak sedikit (sekitar Rp 5 triliun) harus dipikul oleh Pemda DKI Jakarta jika kontrak kerjasama dibatalkan.

Pilih Cerai atau Lanjutkan


Arti dari kerjasama dengan sistem full cost recovery merupakan sistem pengoperasian yang hanya bertumpu pada besaran tarif dan dari tarif yang ditetapkan harus menghasilkan margin keuntungan bagi operator. Jika tidak menguntungkan operatorlah yang harus menanggung karena dalam sistem full cost recovery tidak ada kewajiban atau tidak memperbolehkan Pemerintah (Pemda) memberikan subsidi sekecil apapun jika pengelolaan air mengalami kerugian.

Dalam sistem full cost recovery, imbalan kepada operator dari komponen tarif disebut sebagai water charge yang terdiri dari OPEX (biaya operasi), CAPEX (biaya investasi), pembiayaan untuk OPEX dan CAPEX yang berasal dari pinjaman beserta bunganya,dan IRR dalam bentuk deviden (IRR merupakan keuntungan operator).

Dalam sistem full cost recovery, tarif yang dikenakan ke konsumen disebut sebagai water tariff yang terdiri dari semua komponen water charge ditambah dengan komponen shortfall atau hutang PAM Jaya yang harus dibayarkan ke operator karena imbalan ke operator mencukupi (tarif rendah) serta komponen FPPR (First Primary Priority Requirement) yang merupakan pembayaran tetap ke PAM Jaya, Badan Regulator (termasuk membayar gaji anggota BR dan biaya-biaya lain), dan Kementrian Keuangan sebagai pembayaran hutang PAM Jaya sebelum diambil alih investor pada tahun 1998.

Sehingga konsekuensi sistem full cost recovery adalah tarif memang menjadi jantung pengelolaan air di wilayah DKI Jakarta. Tanpa ada strategi pengaturan kenaikan tarif air, kualitas pelayanan akan semakin memburuk kecuali biaya langsung pembuatan air minum turun. Dengan kata lain tidak ada kenaikan harga air baku, bahan kimia untuk penjernihan, gaji karyawan, biaya energi/listrik, inflasi (CPI) dan lain-lain. Mungkinkah? Tentu saja tidak karena semua biaya terus meningkat. Struktur tarif yang saat ini berlaku berkisar antara Rp. 1.050 – Rp. 12.550 per meter kubik sesuai dengan Peraturan Gubernur No.17 tahun 2007.

Dengan kondisi tarif yang ada sekarang, maka dana investasi atau CAPEX dari operator pengelola air minum berkurang besar dan jika tahun 2010 ini tarif tidak disesuaikan dengan harga-harga komoditi lain untuk produksi air minum, CAPEX para operator bisa nol dan akibatnya akan banyak kerusakan jaringan (pipa) yang tidak dapat diperbaiki, kualitas air menurun karena tidak ada biaya pembelian kaporit dan penambahan jaringan.

Memang landasan hukum kenaikan tarif lemah karena hanya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 23 tahun 2006. Tidak ada landasan Peraturan Pemerintahnya seperti kasus tarif jalan tol. Jika memang Pemda DKI Jakarta tidak berani menaikan tarif sesuai sistem cost recovery, maka sebaiknya Pemda DKI segera merubah sistem full cost recovery ke sistem lain yang memungkinkan pemerintah memberikan subsidi jika biaya produksi air per meter kubik lebih mahal dari tarif yang ditetapkan.

Langkah Strategis yang Harus Diambil


Cara lain agar tarif tidak perlu naik dan CAPEX tetap mencukupi, Pemerintah dalam hal ini Kementrian Keuangan harus membayarkan hutang PAM Jaya (shortfall) yang jumlahnya cukup besar kepada 2 operator. Atau operator dipersilahkan menerapkan biaya penggunaan air minimum per bulan ke pelanggan, Atau kurangi klasifikasi tarif dari 6 katagori menjadi hanya 3 katagori saja. Atau biaya sewa meter dinaikan sesuai dengan biaya riel. Atau yang terakhir, semua CAPEX dibayarkan oleh Pemda DKI Jakarta. Jadi konsekuensi mau naik tarif atau tidak sangat tergantung keputusan Pemerintah.

Dari sudut pandang konsumen, tidak penting apa bentuk dan siapa yang mengelola. Yang terpenting pelayanan memuaskan atau sesuai dengan tarif yang dikenakan. Jika ada persoalan, pihak operator harus dapat menyelesaikan atau menjelaskan secara informatif kepada konsumen. Jadi daripada bercerai dan Pemda DKI harus membayar denda, menurut saya kontrak kerjasama tersebut sebaiknya dilanjutkan sesuai kontrak dengan masing-masing pihak taat melaksanakan kewajiban masing-masing demi kepuasan konsumen. Apalagi pajak air tanah di DKI Jakarta juga sudah naik sampai Rp. 23.000 per meter kubik. Jadi air memang semakin langka dan mahal.

Pemda DKI Jakarta harus tegas tidak saja kepada kedua operator tetapi juga bersama aparat Kepolisian menertibkan pencurian air, penguasaan hydran oleh jawara di daerah krisis air bersih dan berbagai pungutan tidak resmi lainnya.

No comments:

Post a Comment