PERDANA Menteri Sjahrir mulai memimpin kabinetnya pada 14 November 1945. Ada yang menarik di sini, bahwa meski sejak awal Republik Indonesia didesain dengan sistem presidensial, namun kabinet kedua yang dibentuk pascaproklamasi 17 Agustus 1945 memakai sistem parlementer.
Ini semua tak lepas dari situasi pada masa itu, ketika terjadi kevakuman kekuasaan, di mana Jepang sudah menyerah kalah dari sekutu, republik baru terbentuk dan konsolidasi di sana-sini. Situasi chaos, karena di banyak tempat para pemuda melucuti tentara Jepang dan merebut senjata mereka (banyak terjadi pertumpahan darah). Penyerangan dialami oleh orang-orang keturunan Eropa, China, Ambon dan Manado. Pasukan Inggris mulai mendarat di Jawa dan Belanda ikut di belakangnya.
Dalam situasi ini Sjahrir menerbitkan pamflet bertajuk Perjuangan Kita, yang isinya menegaskan asesment mengenai posisi Indonesia di tengah-tengah berbagai kekacauan ini karena para pemuda tidak bisa dikendalikan, juga dia mengecam mereka yang berkolaborasi dengan Jepang.
Pamflet ini beredar hanya beberapa hari setelah Soekarno menyusun kabinetnya, yang oleh Sjahrir dianggap berisikan para kolaborator (kecuali Amir Sjarifuddin/yang baru bebas dari tahanan Kempetai, dan RP Soerachman).
Mendikte Soekarno
Akhirnya, pada bulan Oktober Sjahrir sukses meyakinkan Soekarno dengan konsep dan sejumlah usulannya, yakni membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang kemudian akan menjadi badan penyusun UUD. Sjahrir juga mengusulkan pembentukan partai-partai politik. Kemudian dia meminta Soekarno membubarkan kabinet dan membentuk kabinet baru dipimpin oleh seorang perdana menteri yang dipilih oleh KNIP.
Langkahnya itu dilandasi pemikiran bahwa republik harus demokratis, bebas dari para kolaborator Jepang (untuk mengesankan bahwa Republik Indonesia bukan bentukan Jepang).
Maka pada Oktober 1945 terbentuklah dua partai sosialis (Partai Rakyat Sosialis pimpinan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia pimpinan Amir Sjarifuddin) yang akhirnya bergabung menjadi Partai Sosialis. Kelompok agama juga membentuk Masjumi dan PNI, Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, dll, termasuk Partai Komunis Indonesia.
Dia memilih strategi diplomasi namun banyak ditentang. Apalagi Belanda juga berusaha bercokol kembali di bekas tanah jajahannya itu, dengan membatasi kekuasaan Republik Indonesia hanya di Pulau Jawa.
Pasukan Belanda mulai menduduki kembali Jakarta pada awal 1946, para pemimpin nyawanya terancam, dan akhirnya Soekarno, Hatta dan Sjahrir memindahkan pemerintahan ke Yogyakarta. Namun, dia tetap memilih melanjutkan negosiasi dan diplomasi. Pada saat inilah perlahan peran dwitunggal kembali menguat dalam pentas politik, dan Sjahrir digencet oleh kaum nasionalis.
Pada Juni 1946, Sjahrir diculik oleh kelompok Tan Malaka, ketika mengadakan perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta. Semasa diculik inilah Soekarno memimpin pemerintahan. Namun, bulan Oktober Sjahrir dibebaskan dan dia membentuk pemerintahan ketiga, yang disusul dengan Perundingan Linggarjati yang menghasilkan keputusan Republik Indonesia hanya terdiri Jawa dan Sumatera, sementara wilayah di luar itu berada di bawah kontrol Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat.
Oleh KNIP Perjanjian Linggarjati ditolak. Akhirnya tiga bulan kemudian Sjahrir mundur dari PM, dia digantikan oleh wakilnya Amir Sjarifuddin yang lebih berhaluan komunis. Belanda kemudian melancarkan agresi pertama tahun 1947.
Pimpin Delri
Sejak itu Sjahrir tidak lagi menduduki jabatan resmi di pemerintahan. Namun, dia mewakili Republik Indonesia dalam berbagai forum internasional seperti Inter-Asian Conference (New Delhi, Maret 1947) dan bertemu dengan Nehru yang kemudian menjadi sahabatnya.
Kemudian menjadi wakil delegasi RI pada sidang di PBB (tahun 1948 di Lake Success). Pada sidang ini dia berhasil mengangkat citra RI, dan uniknya perjalanan di AS itu dibiayai dari hasil penjualan candu dan kini melalui perwakilan Indonesia di Singapura.
Ketika Belanda melancarkan aksi polisionil kedua pada Desember 1948 dengan menduduki Yogyakarta, Sjahrir termasuk yang ditahan bersama Soekarno dan Hatta di Parapat, meski dia bukanlah pejabat negara.
Atas tekanan Amerika Serikat, akhirnya Belanda bersedia berunding dengan RI, dan kali ini bukan Sjahrir yang memimpin karena dia menolak tugas ini.
Ujung ini semua adalah pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, dan upacara pengalihan kekuasaan itu berlangsung di Jakarta dan Denhaag. Namun, seperti juga ketika Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sjahrir tidak hadir pada peristiwa penting ini. (Sinar Harapan Edisi Senin 23 Februari2009)
No comments:
Post a Comment