"Sakitnya bukan main." Bagi Holger Radloff, tak ada kata lain yang bisa menggambarkan kepedihan saat diserang diare, sekaligus komplikasi ginjal yang fatal. Sambil terbaring di University Medical Center Hamburg-Eppendorf, ia menceritakan pengalamannya terkena hemolytic uremic syndrome (HUS). Sebabnya, terdengar sepele. Dia melahap sepiring salad berisi tomat, ketimun, tauge, dan daun selada.
Tapi sayur itu rupanya menjadi pangkal petaka. Seperti dilansir oleh BusinessWeek, Radloff, 49, yang sehari-harinya bekerja sebagai jurnalis yang memburu berita, kali ini justru pasrah diwawancarai wartawan. Ia adalah salah satu dari ribuan pasien yang dirawat gara-gara terkena infeksi racun bakteri E. coli yang menumpang sayur-sayuran tadi.
Rasa sakit tak terkira membuat Radloff selama beberapa hari hanya bisa menahan perih. Dia bahkan tak bisa menolong anak laki-lakinya, serta seorang kerabat yang juga tengah diserang penyakit yang sama. Radloff memang memakan salad itu bersama keluarga dan seorang kenalan keluarganya. Untung saja, istrinya lolos dari sergapan E. coli, dan anak perempuannya segera sembuh walau sempat mengalami gejala diare dan sakit yang hebat.
Kini, Radloff masih harus menjalani perawatan dialisis dan transfusi plasma darah. Kerjanya hanya tidur, bangun dengan perut lapar, makan banyak, merasa letih, dan tidur lagi. Radloff tak sendirian. Di UKE, rumah sakit terbesar di Hamburg, setidaknya ada 81 pasien dewasa dan 22 pasien anak-anak yang mengalami komplikasi ginjal setelah terinfeksi E. coli.
Di Jerman, lebih dari 2086 orang yang mengalami diare berdarah dan 722 orang mengalami komplikasi ginjal gara-gara E. coli. Setidaknya, 27 nyawa melayang dan 2909 orang yang terjangkit bakteri E. coli berbahaya ini, di seluruh dunia Tak ayal, wabah E. coli Jerman kali ini ditetapkan sebagai wabah E. coli paling mematikan sepanjang sejarah modern.
***
Ini bukan kisah maut pertama dari bakteri E. coli. Penyebaran wabah kali ini masih belum seberapa bila dibandingkan serangan E.Coli di Jepang pada 1996. Seperti dikutip dari catatan firma Marler Clark, saat itu adalah wabah E. coli terbesar di dunia, karena menginfeksi lebih dari 12 ribu orang.
Pada 1999, lewat sebuah mata air, E. coli juga sempat menyerang New York AS dan menginfeksi sekitar 1000 orang. Setahun berselang, E. coli melanda daerah Walkerton Kanada dan meracuni sekitar 2.300 orang. Hanya saja, korban jiwa pada kasus-kasus di atas masih kalah dengan wabah Jerman kali ini.
Pagebluk dari Jerman itu mulai menyebar sejak Mei lalu. Menurut lembaga pengawasan penyakit pemerintah Jerman yang berkedudukan di Berlin, Robert Koch Institute, kasus E. coli pertama yang tercatat di rumah sakit Jerman terjadi pada tanggal 1 Mei 2011. Namun, butuh waktu sekitar 14 hari untuk mendeteksi kasus ini sebagai wabah.
Pemerintah Jerman pertama kali memberikan notifikasi perihal wabah ini kepada World Health Organization (WHO) pada 22 Mei 2011. Kini E. coli Jerman telah menyebar ke 15 negara lain meliputi Austria, Republik Ceko, Denmark, Perancis, Belanda, Norwegia, Polandia, Spanyol, Swedia, Swiss, Inggris, Luksemburg, Yunani, Kanada, dan AS.
Hampir semua korban terkena wabah adalah orang-orang yang belum lama ini melakukan perjalanan atau tinggal di Jerman selama masa inkubasi infeksi terjadi, yakni antara 2-10 hari. Ada juga yang terinfeksi karena melakukan kontak dengan pelancong Jerman.
Selain itu, penyebaran bakteri juga terjadi melalui makanan, dalam hal ini sayur-mayur seperti yang dimakan Radloff dan keluarganya. Awalnya, kecurigaan dialamatkan pada ketimun Spanyol. Tapi ternyata tuduhan itu tak terbukti.
Selanjutnya, Jerman mengeluarkan peringatan kepada masyarakatnya untuk tak makan tomat, ketimun, selada, tauge dan sayuran mentah lain untuk tindakan pencegahan. Belakangan, mereka juga memeriksa ketimun di kota Magdeburg, di wilayah Saxony-Anhalt, Jerman Utara.
Di kota inilah isolasi atas sayur-mayur diterapkan pertama kali oleh pemerintah Jerman. Namun, pencarian di Magdeburg juga berujung buntu. “Kami tak punya informasi untuk masyarakat . Ini justru meninggalkan lebih banyak tanda tanya daripada jawaban," kata Holger Paech, juru bicara kementrian kesehatan Saxony-Anhalt, kepada Wall Street Journal.
Tapi akhirnya, hari ini Robert Koch Institute (RKI) memastikan biang keladi penyebar bakteri mematikan itu adalah tauge dari sebuah kebun di Saxony Bawah, Jerman Barat Laut. “Tidak ada bukti yang lebih kuat, selain tauge,” kata Presiden RKI Reinhard Burger, dikutip dari situs The Local, media lokal Jerman.
Walaupun hingga kini belum ada hasil hasil positif dari pengujian tauge asal Saxony Bawah, hasil investigasi epidemiologis menemukan cukup bukti bahwa penyebabnya adalah tauge. Pengumuman ini sekaligus mencabut peringatan pemerintah untuk tak mengkonsumsi ketimun, tomat, dan daun selada.
***
Lalu kenapa bakteri E. coli yang mewabah ini mematikan? Bagaimana ia bisa berbeda dari bakteri E. coli sebelumnya? Padahal bakteri itu biasa dijumpai dalam usus manusia, dan hewan berdarah panas lain. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Jerman bernama Theodor Escherich pada 1885.
Selang dua hari setelah bayi lahir, E. coli langsung bisa masuk ke dalam usus bayi, dan membangun koloni. Tidak membahayakan, malahan memproduksi vitamin K2 dan mencegah bakteri patogen lain menyerang usus. Seperti dilansir situs Nature, pada 25 Mei lalu, akhirnya dapat diidentifikasi bahwa E. coli yang menyerang Jerman adalah E. coli strain O104:H4.
Strain ini adalah serotype langka. Jenis-jenis E. coli dibedakan berdasarkan antigen dan flagella (organ seperti cambuk) yang dimilikinya. Dari total sekitar 700 serotype yang ada, strain O104:H4 diklasifikasikan sebagai E. coli berbahaya, bersama strain O157:H7, O121, O26, O103, O111, O145, dan O104:H21.
E. coli menjadi bakteri berbahaya karena awalnya terinfeksi oleh racun bernama Shiga toxin, yang dikeluarkan oleh virus bacteriophage (virus yang menginfeksi bakteri). Setelah E. coli terinfeksi, ia kemudian menjadi berbahaya bagi manusia, karena akan mengeluarkan racun yang sama.
Oleh karenanya, O104:H4 dimasukkan sebagai salah satu Enterohaemorrhagic E. coli(EHEC), atau E. coli yang bisa menyebabkan pengidapnya mengalami diare berdarah. Bahkan seringkali kasus ini berkembang menjadi haemolytic uraemic syndrome (HUS); penyakit yang bisa menyebabkan kegagalan fungsi ginjal dan berbagai komplikasi infeksi lain.
Menurut Asisten Profesor dari University of Ottawa Kanada, Malvinder S Parmar, racunShiga toxin yang dikeluarkan akan menyerang sel darah merah dan menyebabkan koagulasi (pembekuan darah). Akibatnya, ginjal mengalami prosentasi kegagalan antara 55-70 persen.
Sayangnya, hingga kini belum ada antibiotik yang bisa mengatasinya. Bahkan, menurut RKI, bakteri ini kebal terhadap lebih dari selusin antibiotika dari delapan kelompok:penicillin; streptomycin; tetracycline; quinolone nalidixic acid; kombinasi sulfa trimethoprim-sulfamethoxazol; tiga generasi cephalosporin; dan kombinasi amoxicillin/clavulanic acid,piperacillin-sulbactam, serta piperacillin-tazobactam.
***
Kamis 9 Juni 2011, sekitar 8800 km dari hiruk pikuk kesibukan para tenaga medis yang terus berupaya menyembuhkan korban infeksi E. coli di Hamburg, pemerintah Thailand menemukan bakteri E. coli pada buah alpukat impor dari Spanyol, di Bandara Suvarnabhumi Bangkok.
Saat otoritas Hamburg sempat menuduh ketimun Spanyol sebagai asal muasal bakteri – dan kemudian terbukti salah – Spanyol menderita kerugian sekitar US$ 290 juta setiap pekan, karena seratusan juta ton ketimun negeri itu tak laku. Namun, pemerintah Thailand tak langsung memastikan temuan mereka.
Mereka merahasiakan asal alpukat dan hanya menyebutnya dari Eropa.
Sejak awal, Menteri Kesehatan Thailand Laksanavisit juga meminta agar rakyatnya tak khawatir, karena kontaminasi E. coli pada buah dan sayuran kebanyakan tak berbahaya. Terbukti, sehari setelah itu, pemerintah Thailand mengumumkan bahwa E. coli yang ditemukan ternyata bukan strain yang sama dengan strain E. coli pembunuh dari Jerman.
Sejak awal, Menteri Kesehatan Thailand Laksanavisit juga meminta agar rakyatnya tak khawatir, karena kontaminasi E. coli pada buah dan sayuran kebanyakan tak berbahaya. Terbukti, sehari setelah itu, pemerintah Thailand mengumumkan bahwa E. coli yang ditemukan ternyata bukan strain yang sama dengan strain E. coli pembunuh dari Jerman.
Di Indonesia, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu juga belum melakukan pelarangan impor sayuran dari Eropa. Hingga kini, kata Mari, belum ada ‘gangguan’ dari sisi impor dari Eropa. Selama ini, Mari menjelaskan, impor sayur-sayuran dari Eropa ke Indonesia, nilainya sekitar US$4 juta atau Rp34 miliar.
Wakil Menteri Pertanian Bayu Krishnamurti mengatakan sayur impor dari Eropa antara lain kentang dan wortel. Namun, Indonesia tidak mengimpor sayuran yang selama ini dicurigai sebagai media pembawa E. coli Jerman, seperti ketimun, tauge, dan selada.
“Selama tahun 2011, belum ada sayuran jenis itu yang masuk ke Indonesia dari Eropa,” ujar Bayu, pada acara pers di Gedung Kementerian Kesehatan, Jumat, 10 Juni 2011.
Sementara itu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kustantinah mengatakan bahwa dari 33 ribu jenis pangan olahan yang diperiksa oleh BPOM, 30 persen di antaranya merupakan produk impor. Dari 30 persen produk impor itu, tidak lebih dari 5 persen yang berasal dari Eropa.
Berdasarkan pengujian BPOM terhadap 15.260 sampel sesuai parameter E. Coli, pada 2010, Kustantinah menjamin tak ada satupun produk mengandung E. coli. Pengujian itu dilakukan pada keju, manisan buah, sayur beku, keripik berbasis sayur, produk ikan olahan, serta roti. Hanya saja, pengujian BPOM tadi tidak relevan, mengingat strain E.coli berbahaya itu baru muncul awal Mei 2011.
Di kesempatan berbeda, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan pencegahan terhadap bakteri ini dilakukan dengan mengerahkan petugas survei yang akan bertugas menguji penyebab diare rotavirus (disebabkan oleh virus yang biasa menyebabkan diare-red) maupun tiphoid (disebabkan bakteri melalui sistem pencernaan-red).
“Selain itu, ada antisipasi di bandara yang akan mengamankan orang yang menderita diare, terutama diare berdarah,” kata Endang kepada VIVAnews, Kamis 9 Juni 2011. “Mudah-mudahan strain baru ini tidak masuk ke Indonesia.”
***
Hingga Jumat 10 Juni 2011, tidak ada aktivitas yang berbeda dari biasanya di terminal kedatangan internasional Bandara Soekarno Hata Tangerang. Dibanding wabah Flu Burung misalnya, semua pendatang dari negara yang terjangkit wabah disemprot cairan obat, agar steril dari virus. Tapi kali ini, setelah lewat pemeriksaan X-Ray, para pendatang pun bisa melenggang tenang, tanpa pemeriksaan kesehatan.
“Hingga saat ini, belum ada penumpang yang terkontaminasi wabah E. coli," kata Hari Cahyono, Coorporate Secretary PT Angkasa Pura II, pengelola Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jumat 10 Mei 2011.
Hal yang sama juga terjadi di Bandara Ngurah Rai Bali. “Tak ada pemeriksaan khusus terhadap wisatawan asal Eropa terkait E. coli," kata Sherly Yunita, Humas PT Angkasa Pura I, Ngurah Rai Bali, Kamis 9 Juni 2011.
Padahal, menurut data dari Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Ngurah Rai Firdaus Amir, antara 100-200 turis asal Jerman datang ke Bali setiap hari. Berarti, bila dihitung sejak pertama E. coli melanda Jerman, ada sekitar 6000-an orang dari Jerman yang masuk ke Bali.
Sherly menjelaskan, pihaknya akan memperhatikan penumpang yang mengeluhkan penyakit diare yang merupakan gejala awal E. coli. "Sampai sekarang kami belum terima keluhan seperti itu dari wisatawan. Apalagi, sampai sekarang memang belum ada alat pendeteksi bakteri E. coli," Sherly menjelaskan.
Dengan penanganan seadanya itu, masyarakat tentu tetap berharap agar strain E. colimematikan itu tak sampai mendarat di tanah air.
No comments:
Post a Comment