Namun, apa yang kita saksikan terkait dengan beleid soal bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kian terasa jauh dari tugas mulia itu. Yang terjadi justru dalam tiga tahun terakhir kebijakan soal BBM subsidi lebih kental dengan nuansa mempertahankan popularitas demi citra politik.
Itu bisa kita lihat ketika pemerintah selalu maju-mundur menerapkan kebijakan pengetatan konsumsi BBM bersubsidi dan sama sekali ogah memilih menaikkan harga. Padahal, momentum terbaik untuk menaikkan harga BBM tersedia pada 2010-2011 lalu.
Ketika itu, tingkat inflasi relatif rendah dan harga minyak dunia relatif stabil. Selain itu, kebijakan menaikkan harga BBM pada tahun-tahun itu belum mensyaratkan keharusan persetujuan DPR.
Namun, momentum itu dibiarkan berlalu karena pemerintah takut menanggung risiko tergerusnya popularitas. Untuk jangka pendek, citra pemerintahan prorakyat terjaga, tapi jangka panjang sama dengan menanam bom waktu.
Salah satu bom waktu itu meledak di awal 2012, ketika pemerintah berniat menaikkan harga BBM karena harga minyak dunia terus membubung. Namun, upaya yang terlambat itu kandas karena tidak mendapatkan restu DPR sebagaimana syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang APBN 2012.
Keputusan itu harus dibayar mahal, yakni kian meledaknya subsidi di APBN. Pagu subsidi sebesar Rp137,4 triliun di APBN-P 2012 amat mungkin meroket hingga Rp213 triliun demi mengongkosi kebijakan 'populis' itu.
Kini, di penghujung 2012, bom waktu kedua terkait dengan BBM bersubsidi meledak lagi. Sumbunya ialah ancaman overkuota konsumsi yang bisa mencapai 1,25 juta kiloliter di atas target.
Pada awalnya, kuota BBM bersubsidi sudah ditetapkan sebesar 40,04 juta kiloliter. Namun, itu sebenarnya angka yang mustahil bisa dicapai mengingat overkuota yang juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Lalu, atas persetujuan DPR, pemerintah memutuskan menambah kuota 4 juta kiloliter sehingga total kuota mencapai 44,04 juta kiloliter.
Tambahan itu hampir pasti tidak mencukupi hingga akhir tahun. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memerintahkan Pertamina memperketat distribusi BBM subsidi dengan mengurangi pasokan ke SPBU demi mengamankan kuota.
Maka, yang kita saksikan ialah masyarakat dan Pertamina sebagai operator harus menanggung beban atas kebijakan 'populis' itu. Akibat pembatasan, antrean di SPBU sangat panjang dan menimbulkan gesekan. Di Kutai Barat, Kalimantan Timur, gesekan berubah menjadi konflik horizontal. Di Flores, Nusa Tenggara Timur, warga kesulitan menuju rumah sakit karena tidak ada angkutan yang membawa mereka akibat tak mendapatkan BBM.
Kita tidak ingin ada bom waktu lainnya terkait dengan BBM bersubsidi. Namun, sayangnya kita juga tidak punya cukup stok optimisme bahwa pemerintah bisa mengatasi keadaan, selama kebijakan soal harga BBM masih berujung pada pencitraan dan mempertahankan popularitas yang sudah redup.
Jalan kekuasaan memang sangat terjal dan penuh duri, tapi justru itu harus dilalui. Namun sayang, pemerintah memilih menghindari jalan itu dan memilih bertahan di zona nyaman yang menyimpan bom waktu.
No comments:
Post a Comment