KERAGAMAN merupakan salah satu kekuatan yang kerap ditonjolkan dan dibanggakan bangsa ini. Dengan kekuatan keragaman suku, ras, agama, bahasa, dan budaya, Indonesia menjadi salah satu contoh keberhasilan demokrasi.
Namun, akibat salah urus, keragaman telah berubah menjadi pusat pertengkaran dan perkelahian yang melemahkan, bahkan mengancam sendi-sendi berbangsa dan bernegara.
Konflik antarwarga yang terjadi di Lampung Selatan belakangan ini merupakan fakta tidak terbantahkan betapa memelihara keragaman ternyata lebih mudah diucapkan daripada diwujudkan.
Peristiwa diganggunya dua gadis warga desa yang tengah mengendarai sepeda motor oleh sekelompok pemuda Bali di Desa Sidoreno, Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan, Sabtu (27/10), berkembang menjadi konflik antarsuku yang masif.
Dalam waktu singkat, 14 orang dilaporkan tewas, ratusan rumah dibakar, dan sekitar 2.000 orang mengungsi ke tempat aman setelah ribuan warga putra daerah menyerang desa-desa yang mayoritas dihuni warga transmigrasi asal Bali itu.
Upaya perdamaian antarwarga yang berkonflik memang masih terus dilakukan. Namun, dalam prosesnya kita melihat bahwa kebinekaan sekarang menjadi persoalan serius, bahkan sangat serius.
Indikasinya ialah adanya desakan masyarakat etnik lokal yang menghendaki masyarakat etnik Bali di wilayah tersebut ditransmigrasikan.
Sesungguhnya, konflik antarwarga, antarkelompok, antaretnik, dan antaragama di beberapa daerah sudah beberapa kali terjadi. Namun, konflik terakhir di Lampung Selatan menunjukkan kepada kita bahwa belum seluruh elemen pembentuk bangsa yang sangat beragam mau dan mampu memelihara hidup berdampingan secara damai. Hal itu sangat menyedihkan dan memprihatinkan.
Dalam beberapa kasus konflik antarwarga yang terjadi di Ambon, di Sampit, di Sampang, dan di tempat-tempat lain kita menyaksikan fenomena yang sama.
Sekelompok warga beretnik, berbahasa, dan beragama tertentu menolak kehadiran warga dengan latar belakang etnik, bahasa, dan agama yang berbeda dengan mereka.
Secara sosiologis itu menjadi indikasi bahwa kerukunan penduduk pendatang dan penduduk asli yang dulu berhasil berintegrasi dengan damai sekarang mengalami disintegrasi yang berdarah-darah alias hancur lebur. Sebagai gambaran, Desa Gedong Tataan di Lampung merupakan basis pertama transmigrasi petani Jawa di daerah luar Jawa. Itu terjadi pada 1905 alias 107 tahun yang lalu.
Dalam perspektif hidup berbangsa dan bernegara konflik horizontal itu menjadi indikasi bahwa NKRI mengalami kemunduran yang dahsyat.
Negara memang absen. Negara tidak hadir meredakan dan mengatasi konflik, apalagi dengan bijak mempersatukan kembali sesama anak bangsa yang tercerai-berai. Boleh dibilang negara bahkan melakukan pembiaran yang sistemis.
Bila terus dibiarkan, fenomena pecahnya integrasi anak bangsa di tingkat warga itu akan menjadi salah satu rapor pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang sangat merah yang dicatat sejarah.
No comments:
Post a Comment