Friday, 2 November 2012

DPR, Dahlan Iskan, dan Inefisiensi Rp.37 Triliun PLN

Panitia Kerja Sektor Hulu Listrik Komisi VII Bidang Energi DPR menyatakan, akan kembali lagi memanggil Menteri BUMN Dahlan Iskan. Pemanggilan ini merupakan ketiga kali.
Panja akan meminta Dahlan memverifikasi hasil audit BPK atas Perusahaan Listrik Negara yang menemukan pemborosan sebesar Rp37 triliun pada tahun 2009-2010.

Ketua Panja Sektor Hulu Listrik, Effendi MS Simbolon, mengatakan hasil pemeriksaan BPK terhadap PLN tahun 2009-2010 menemukan adanya indikasi korupsi. "Telah ada kerugiancorporate dan kerugian negara. Jadi pasti ada penyebabnya dan ada yang bersalah," kata Simbolon, Rabu 31 Oktober 2012.

Selain memanggil Dahlan, Panja Listrik juga mengundang Direksi PLN, BP Migas, Wakil Menteri ESDM, dan rekanan-rekanan PLN. Panja juga berniat memanggil orang-orang dekat di sekitar Dahlan.

Menurutnya, Panja Listrik merasa perlu menidaklanjuti temuan BPK tersebut. Meski BPK menyatakan hasil audit atas PLN telah memenuhi unsur korupsi, namun Panja tetap perlu memverifikasi temuan itu kepada Dahlan sebagai menteri berwenang yang membawahi BUMN, termasuk PLN.

Dahlan tahun 2009-2011 itu memang menjabat sebagai Direktur Utama PLN. Oleh sebab itu Panja Listrik memandang keterangan Dahlan Iskan sangat vital dalam kasus inefisiensi anggaran oleh PLN.

"BPK bahkan mengatakan sudah memenuhi unsur korupsi. Tapi kami tidak bisa serta-merta menelannya begitu saja. Jadi kami tunggu hasil verifikasi ke Dahlan dulu," ujar Simbolon.

Menurut politisi PDIP itu, dari hasil audit BPK ditemukan beberapa unsur yang terindikasi merugikan negara, antara lain pengadaan barang dan jasa seperti batu bara dan rental genset yang tidak sesuai prosedur, serta penetapan anggaran yang tidak mematuhi Undang-Undang APBN.

"Kenapa pengadaan batu bara tidak melalui tender? Kenapa rental genset bekas dan mahal? Dan atas nama apa direksi bisa mengeluarkan anggaran di luar anggaran yang ditetapkan APBN?" kata Simbolon. Belum lagi, imbuhnya, ada banyak intervensi pihak luar terhadap PLN.

Simbolon menjelaskan, dalam rapat nanti, selain mempertanyakan hasil audit BPK atas PLN tahun 2009-2010 yang menemukan pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bekas dari China, Panja juga akan mempertanyakan hal lain seperti program prabayar yang diluncurkan PLN di masa kepemimpinan Dahlan. 
"Program prabayar menghilangkan industri metering dari Indonesia, dan akhirnya semua alat prabayar mengimpor dari China," ujar Simbolon.

Panja juga akan mengklarifikasi soal penggunaan rental genset di kawasan Indonesia Timur. "Genset bekas pakai, per KWH dibeli hampir Rp4.000," kata Simbolon.
Apabila ada indikasi kuat korupsi, maka Panja Listrik akan mengirim rekomendasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Komisi Pemberantasan Korupsi. "Jika dibutuhkan, BPK pun akan melakukan audit investigasi," ucap Simbolon.

Selain menghadapi Panja, Dahlan juga akan menghadapi Badan Kehormatan DPR. Pemanggilan ini terkait pernyataan Dahlan yang menyebut ada anggota DPR yang meminta jatah ke BUMN. Badan Kehormatan telah mengagendakan pemanggilan itu pada masa reses DPR mulai 29 Oktober hingga 18 November 2012.

"Badan Kehormatan telah mendapat persetujuan dari Pimpinan DPR untuk melakukan pemanggilan kepada Pak Dahlan Iskan pada masa reses ini," kata Ketua Badan Kehormatan DPR, M. Prakosa.

Menurut dia, pemanggilan itu dalam rangka permintaan keterangan terkait pernyataan beliau mengenai 'kongkalikong pembahasan anggaran'. "Minggu ini para Anggota BK sedang kunjungan kerja ke daerah, Jadi paling cepat minggu depan," kata politisi PDI Perjuangan ini.

Prakosa menjelaskan, Badan Kehormatan tidak hanya meminta keterangan Dahlan soal nama-nama yang diduga memeras BUMN, tapi juga modus transaksi yang telah dilakukan oleh oknum yang dituduh memeras dan yang disebut diperas. "Ini akan kami ungkap," kata dia.
Tanggapan Dahlan

Apakah Dahlan akan memenuhi panggilan DPR yang ketiga tersebut? Ia mengatakan, "Dipanggil, ya datanglah,"

Sebelumnya, Dahlan mengaku tidak bisa menghadiri rapat dengan DPR dengan alasan sedang berkunjung ke beberapa daerah, termasuk ke Provinsi Jambi.

Inefisiensi PLN, menurut dia, sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Karena itu, dia menilai hasil temuan BPK yang menyatakan PLN boros Rp37 triliun itu kurang besar. "Seharusnya mungkin sampai Rp100 triliun, itu sejak Majapahit."

Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, lanjutya, sebenarnya juga mengetahui permasalahan tersebut. Namun, dia enggan berkomentar mengapa baru dibahas saat ini. "Komisi VII tahu, Komisi VII tahu," katanya berkali-kali.

Mengenai soal anggota DPR yang suka meminta jatah kepada jajaran direksi BUMN, Dahlan menyatakan siapa membeberkannya. "Kalau diminta DPR, saya lakukan," kata Dahlan.

Menurut Dahlan, dirinya siap kapanpun membuka apa yang selama ini menjadi polemik. Tetapi, buka-bukaan itu tergantung permintaan DPR. Dahlan akan membuka itu langsung di hadapan anggota Dewan.

BUMN mana yang diperas dan diminta jatah oleh oknum anggota DPR? Dahlan masih menutup rapat. "Saya menunggu panggilan DPR. Terserah mereka. Bola ada di mereka, bukan di saya."

Audit BPK

Dalam "Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu Sektor Hulu Listrik pada PT Perusahaan Listrik Negara, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral" itu, di antaranya mengaudit delapan pembangkit listrik berbasis dual firing dengan total kapasitas terpasang 8.227 megawatt atau 83 persen dari total pembangkit berbahan bakar gas.

Laporan Hasil Pemeriksaan BPK-RI Nomor: 30/Auditama VII/PDTT/09/2011 tertanggal 16 September 2011, di antaranya menemukan kebutuhan gas PLN pada 8 unit pembangkit yang berbasis dual firing tidak terpenuhi.
Untuk itu, harus dioperasikan dengan high speed diesel (HSD) atau solar, yang jauh lebih mahal dari gas, sebesar Rp17,9 triliun pada 2009 dan Rp19,6 triliun pada 2010. Angka itu jika dijumlahkan mencapai Rp37,5 triliun.

Delapan unit pembangkit tersebut hanya mendapatkan pasokan gas sebanyak 785 BBTUD atau 49,03 persen dari total kebutuhan 1.601 BBTUD pada 2009. Pada 2010 pasokan gas menurun menjadi 778 BBTUD atau 48,78 persen dari kebutuhan sebanyak 1.595 BBTUD.

Inefisiensi PLN ini ditambah dengan pemasok yang hanya mampu memenuhi 80,25 persen kewajibannya dari kontrak atau sekitar 630 BBTUD pada 2009 dan 84,58 persen atau 658 BBTUD pada 2010.

Hal ini mengakibatkan pembangkit-pembangkit harus dioperasikan dengan HSD yang harganya lebih mahal dari gas, sehingga PLN kehilangan kesempatan untuk melakukan penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp17,9 triliun pada 2009 dan Rp19,6 triliun pada 2010. (Lihat rinciannya di tautan ini)

Selain menemukan adanya ketidakhematan di delapan unit pembangkit berbasis dual firing akibat kebutuhan gas yang tidak terpenuhi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan PLN tidak dapat memenuhi kebutuhan batubara untuk pembangkit sesuai dengan volume dan spesifikasi teknis yang ditentukan, khususnya untuk PLTU percepatan 10.000 MW.

Selain itu, BPK juga menemukan tiga pemasok batubara yang telah ditetapkan sebagai pemenang lelang Pengadaan Batubara low rank coal Tahap I untuk PLTU Percepatan 10.000MW tidak dapat melaksanakan kewajiban memasok batubara sesuai dengan Perjanjian Jual Beli Batubara.

Empat pemasok batubara yang telah ditetapkan sebagai pemenang lelang Pengadaan Batubara low rank coal Tahap II untuk PLTU Percepatan 10.000MW tidak siap memasok sesuai jadwal dan sebagian besar spesifikasi batubara tidak sesuai kebutuhan pembangkit.

PT Bukit Asam (Persero) Tbk tidak melaksanakan kewajiban memasok batubara ke PT Indonesia Power (anak perusahaan PLN) tahun 2010 sesuai dengan kontrak. Tiga pemasok yang lain diketahui tidak melaksanakan kewajiban memasok batubara kepada PT Pembangkitan Jawa Bali (anak perusahaan PLN) tahun 2010 sesuai dengan kontrak.

Hal tersebut mengakibatkan PLTU Banten 2, Labuhan, yang berkapasitas 600 MW, tidak beroperasi selama beberapa hari pada bulan Juni hingga Agustus 2010. Selain itu persediaan batubara PLTU Suralaya yang berkapasitas 3.400 MW dan PLTU Paiton yang berkapasitas 800 MW tahun 2010 mengalami kondisi darurat.

BPK juga menemukan PLN belum dapat memenuhi kebutuhan panas bumi untuk pembangkit sesuai dengan volume dan spesifikasi teknis yang ditentukan, yaitu pada PLTP Lahendong III. Hal tersebut mengakibatkan ketidakhematan minimal sebesar Rp194 miliar dari pemanfaatan pembangkit listrik berbahan bakar minyak.

Pada audit tersebut, BPK juga menemukan harga negosiasi antara pemasok dan PLN tidak bersifat final karena masih harus mendapat persetujuan dari BPMIGAS dan Kementerian ESDM.
Sumber VIVAnews menjelaskan bahwa sumber ketidaksefisienan PLN dalam penggunaan sumber energi pada delapan pembangkit itu antara lain adalah pada kontraknya yang tidak menyebutkankan adanya sanksi jika pemasok batu bara atau gas tidak memenuhi kewajibannya.
"Jadi misalnya harga gas di luar negeri lebih mahal dibandingkan luar negeri bisa saja pemasok menghentikan pasokannya ke PLN dan menjual gasnya ke luar negeri."
Memang, kata dia, kontrak-kontrak tersebut dibuat sebelum Dahlan menjabat sebagai Dirut PLN. "Tapi mestinya kontrak tersebut diperbaiki. Mengapa dibiarkan saja."
Wakil Ketua BPK, Hasan Bisri, menyatakan BPK sengaja tidak memberikan rekomendasi hasil audit mengenai inefisiensi PT PLN kepada penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab, audit yang dilakukan itu merupakan audit kinerja. "Arah audit itu untuk memperbaiki kinerja PLN," ujar Wakil Ketua BPK, Hasan Bisri, kepada VIVAnews.

Menurut Hasan Bisri, audit kinerja memang tidak memberikan rekomendasi kepada penegak hukum. "Namun, BPK siap melakukan audit lanjutan jika diminta."
  

No comments:

Post a Comment