"Itu tanah-tanah yang dipakai Hilton dan Senayan City semua milik negara, tapi kami tak bisa mengelola," kata Agus di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis 1 November 2012.
Namun, Menteri Keuangan tidak merinci seperti apa proses penertiban itu. Dia juga tidak mengungkapkan kapan penertiban itu akan berlangsung. Yang jelas tanah di wilayah Senayan itu memang statusnya masih milik negara.
Agus selanjutnya mengaku prihatin karena pemerintah pernah punya kebun karet di Kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan dan Serpong, Tangerang yang tak sengaja dilepas ke pihak swasta. Saat ini kedua wilayah itu telah berdiri kawasan real estate dan lapangan golf yang mempunyai nilai jual tinggi.
"Ada 1.500 ha di Jalan Radio Dalam dan sekarang manjadi lapangan golf dan real estate. Juga di Serpong 5.000 ha jadinya real estate. Negara hanya mendapatkan pajak tetapi tidak mendapatkan pendapatan asli."
Dalam rangka penertiban ini, Badan Pertanahan Nasional tengah melakukan sertifikasi 717 dari 3.713 bidang tanah milik negara. Menteri Keuangan mengungkapkan, aset negara ini terdiri dari kantor, tanah kosong sampai rumah dinas pegawai.
Agus mengatakan, sertifikasi akan mempermudah pemerintah dalam menghitung berapa kekayaan negara. Sertifikasi tersebut kata Agus ditargetkan rampung dalam waktu dua tahun. "Sebagian tanahnya sudah dikuasai, sudah ada pagar, tapi sertifikatnya belum ada. Sekarang diproses supaya menjadi sertifikat ada atas nama Republik Indonesia," ujar Agus di Jakarta, Selasa 2 Oktober.
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Hendarman Supandji mengungkapkan, sudah menjadi tugas instansinya untuk memberi pelayanan dalam percepatan pengurusan sertifikat tanah khususnya milik negara. "BPN menyelesaikan pecepatan sertifikasi tanah atas nama pemerintah/kemenkeu yang berlaku 5 tahun," dia menambahkan.
Selain untuk menertibkan aset negara, sertifikasi ini dilakukan guna mengantisipasi adanya sengketa yang terjadi antara pemerintah, dan pihak-pihak tertentu.
Dalam mengelola aset negara ini, Kementerian Keuangan menjalin kerja sama denganKejaksaan Agung dan kepolisian untuk mengamankan penerimaan dan pengelolaan aset. "Ini adalah sinergi dan paduan yang kuat dalam penegakan hukum dan mendorong percepatan pencapaian tugas di kedua lembaga," kata Agus, 5 April.
Agus menuturkan, ada tiga hal yang menjadi fokus, yaitu pengamanan penerimaan negara, pengelolaan aset negara, penegakan hukum, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Namun, Menteri Keuangan tidak merinci seperti apa proses penertiban itu. Dia juga tidak mengungkapkan kapan penertiban itu akan berlangsung. Yang jelas tanah di wilayah Senayan itu memang statusnya masih milik negara.
Agus selanjutnya mengaku prihatin karena pemerintah pernah punya kebun karet di Kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan dan Serpong, Tangerang yang tak sengaja dilepas ke pihak swasta. Saat ini kedua wilayah itu telah berdiri kawasan real estate dan lapangan golf yang mempunyai nilai jual tinggi.
"Ada 1.500 ha di Jalan Radio Dalam dan sekarang manjadi lapangan golf dan real estate. Juga di Serpong 5.000 ha jadinya real estate. Negara hanya mendapatkan pajak tetapi tidak mendapatkan pendapatan asli."
Dalam rangka penertiban ini, Badan Pertanahan Nasional tengah melakukan sertifikasi 717 dari 3.713 bidang tanah milik negara. Menteri Keuangan mengungkapkan, aset negara ini terdiri dari kantor, tanah kosong sampai rumah dinas pegawai.
Agus mengatakan, sertifikasi akan mempermudah pemerintah dalam menghitung berapa kekayaan negara. Sertifikasi tersebut kata Agus ditargetkan rampung dalam waktu dua tahun. "Sebagian tanahnya sudah dikuasai, sudah ada pagar, tapi sertifikatnya belum ada. Sekarang diproses supaya menjadi sertifikat ada atas nama Republik Indonesia," ujar Agus di Jakarta, Selasa 2 Oktober.
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Hendarman Supandji mengungkapkan, sudah menjadi tugas instansinya untuk memberi pelayanan dalam percepatan pengurusan sertifikat tanah khususnya milik negara. "BPN menyelesaikan pecepatan sertifikasi tanah atas nama pemerintah/kemenkeu yang berlaku 5 tahun," dia menambahkan.
Selain untuk menertibkan aset negara, sertifikasi ini dilakukan guna mengantisipasi adanya sengketa yang terjadi antara pemerintah, dan pihak-pihak tertentu.
Dalam mengelola aset negara ini, Kementerian Keuangan menjalin kerja sama denganKejaksaan Agung dan kepolisian untuk mengamankan penerimaan dan pengelolaan aset. "Ini adalah sinergi dan paduan yang kuat dalam penegakan hukum dan mendorong percepatan pencapaian tugas di kedua lembaga," kata Agus, 5 April.
Agus menuturkan, ada tiga hal yang menjadi fokus, yaitu pengamanan penerimaan negara, pengelolaan aset negara, penegakan hukum, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
VIVAnews mencoba mengkonfirmasi masalah ini ke jajaran pejabat Senayan City dan Hotel Sultan di kantornya masing-masing. Tapi tak ada yang bersedia menjelaskan kasus ini.
Belajar dari China
Agus juga mengatakan pemerintah perlu belajar ke China untuk pengelolaan barang milik negara. Negeri tirai bambu ini punya prinsip yang kuat dalam mempertahankan aset. "Ada pepatah belajar sampai negeri China. Salah satu yang jadi pelajaran kalau punya aset jangan dilepas," ujarnya.
Di China, menurut Agus, pengelolaan asetnya sangat ketat. Pemerintah lebih baik menyewakan ketimbang menjual, sehingga tetap mendapatkan keuntungan dari aset tersebut.
"Misalnya Hong Kong, China memilih meyewakan ketimbang menjual. Akhirnya setelah 99 tahun balik lagi ke China sudah dengan airport, dan infrastruktur lainnya," katanya.
Agus mengatakan, saat ini pola pengelolaan aset di Indonesia belum maksimal dan efisien. Ini karena masih mengikuti tradisi lama yang belum akuntabel. Meski demikian, aset negara terus meningkat dari Rp1.100 triliun pada 2004 menjadi Rp3.020 triliun.
Di China, menurut Agus, pengelolaan asetnya sangat ketat. Pemerintah lebih baik menyewakan ketimbang menjual, sehingga tetap mendapatkan keuntungan dari aset tersebut.
"Misalnya Hong Kong, China memilih meyewakan ketimbang menjual. Akhirnya setelah 99 tahun balik lagi ke China sudah dengan airport, dan infrastruktur lainnya," katanya.
Agus mengatakan, saat ini pola pengelolaan aset di Indonesia belum maksimal dan efisien. Ini karena masih mengikuti tradisi lama yang belum akuntabel. Meski demikian, aset negara terus meningkat dari Rp1.100 triliun pada 2004 menjadi Rp3.020 triliun.
No comments:
Post a Comment