Sunday 25 November 2012

Spirit Harakiri dalam Politik-Demokrasi

1353557890739008486
         Istilah harakiri muncul pertama kali dari bangsa Jepang, sebagai tradisi kalangan prajurit samurai pengawal kekaisaran pada beberapa abad silam. Harakiri, atau dikenal pula dengan nama seppuku (diembowelment-merobek perut dan mengeluarkan isinya) merupakan ritual bunuh diri sebagai kode kehormatan bushido khas ksatria samurai.

    Tujuannya adalah membayar rasa malu atas kekalahan (dalam pertarungan atau peperangan), menghindari kemungkinan penyksaan ketika jatuh ke tangan musuh sekaligus menjaga rahasia negara (kekaisaran).Harakiri juga kadang dilakukan sebagai bentuk dari hukuman mati bagi samurai yang telah melakukan pelanggaran serius seperti pembunuhan tanpa alasan, pemerkosaan, perampokan, korupsi, pengkhianatan dan kejahatan lain tak termaafkan.

     Berdasarkan tujuannya, harakiri berbeda dengan bunuh diri pada umumnya, yang lebih disebabkan oleh keputus-asaan hidup ego-pribadi seseorang yang mencapai klimaksnya. Sebab tujuan harakiri sejalan dengan filosofi hidup samurai yang menjunjung tinggi kehormatan prajurit, yakni loyalitas total pada negara (kekaisaran) dengan menempatkannya di atas kepentingan ego pribadi.

    Dalam perspektif Islam, konsep harakiri hampir ‘sama dan sebangun’ dengan konsep jihad, yakni loyalitas total pada negara (dan keyakinan pada kebenaran), dengan menempatkannya di atas kepentingan ego pribadi. Dalam terminologi klasik, jihad dimaknani sama dengan harakiri, lebih kepada fisik, yang diidentikkan dengan perang. Meskipun dalam perkembangannya jihad bermakna lebih luas, tidak terbatas pada wilayah fisik semata.

    Orang yang berjihad sudah pasti bersiap mempersembahkan nyawa untuk kepentingan (agama-kebenaran) yang diyakini dan dibelanya. Karena diyakini bahwa mati syahid (terbunuh dalam pertempuran atau peperangan) adalah puncak tertinggi dan bukti loyalitas muslim dengan kompensasi penghargaan tertinggi pula, yakni surga.

    Dalam prakteknya, jihad fisik yang sangat mirip dengan harakiri banyak terjadi di kawasan Timur Tengah yang tak henti berada dalam konflik berdarah, baik dalam urusan akidah maupun politik-kekuasaan. Bom bunuh diri, atau dalam istilah lain bom syahid sampai hari ini masih diyakini sebagai ‘harakiri Islami’ yang mengundang minat para mujahid (pejuang muslim), seperti laron-laron memperebutkan cahaya di saat malam. 

    Secara substansial, harakiri dan bom bunuh diri (bom syahid) memiliki tujuan yang tak jauh berbeda, yakni menjunjung kode kehormatan dan meletakkan kepentingan yang lebih besar (negara-kekaisaran atau agama-kebenaran) di atas kepentingan ego-pribadi. Malah dalam Islam, nilai-nilai ini diisyaratkan dalam rukun ke-5, ibadah haji yang identik dengan altruisme-pengorbanan sebagai puncak loyalitas hamba kepada Allah Tuhannya, bukti tertinggi keyakinan seseorang pada agama dan kebenaran.

     Harakiri (atau bom bunuh diri-bom syahid) sebagai konsep yang lebih luas dari sekadar berada di wilayah (perjuangan) fisik semata, selanjutnya mentransformasi dalam dunia politik-kekuasaan negara-negara demokrasi modern. Justru spirit harakiri inilah yang dalam praktek perjalanan sejarah bangsa-bangsa besar, termasuk Jepang, menjadi sumber energi terbesar untuk kemajuan dalam segala bidang.

    Harakiri sebagai konsep, nilai dan spirit pada substansinya searah dan sejajar dengan demokrasi. Sistem politik demokrasi-demos-cratein atau demos-cratos yang sealur dengan bentuk negara republik res-publicamenempatkan daulat rakyat sebagai penguasa negara, atau dalam bahasa gamblang sebagai pemerintahan dari-oleh-untuk rakyat. Sebagai sebuah pilihan tatanan bermartabat-keadaban, demokrasi yang bertumpu pada diktum klasik vox populi vox dei, di mana suara rakyat diyakini sebagai manifestasi suara Tuhan (kebenaran).

     Intisari dari tujuan demokrasi adalah salus populi suprema lex, di mana kemaslahatan-kepentingan rakyat-warga negara sebagai hukum tertinggi. Maka spirit harakiri bisa dikatakan sebagai ‘bahan bakar utama’ bagi hidup dan bergeraknya cita-cita negara-bangsa. Kepentingan umum-publik, rakyat-warga negara sudah seharusnya diletakkan di atas kepentingan pribadi-kelompok-golongan. Konsep harakiri bahkan bisa dikatakan sebagai prasyarat mutlak keberhasilan tercapainya tujuan demokrasi, terlebih ketika partai-partai politik yang menjadi kendaraan absah para aktor-aktris politik menjadi ‘sentral pertarungan’ kekuasaan.

    Konsep harakiri yang telah mentransformasi dalam politik modern bangsa Jepang telah memberi contoh nyata, bagaimana negara matahari terbit itu tumbuh digdaya sebagai salah satu raksasa Asia, bahkan geliat ekonominya cukup membuat negara adidaya Amerika Serikat tak lagi bisa ‘tidur nyenyak.’ Salah satu bentuk ‘ruh harakiri’ yang sampai detik ini menjadi tradisi yang terjaga kuat adalah ‘harakiri politik’ (bukan bunuh diri politik), yakni mundurnya pemimpin manakala merasa gagal dalam tugas kenegaraan.

    Dua contoh teranyar dari harakiri politik adalah mundurnya Perdana Menteri Jepang Naoto Kan pada 26 Agustus 2011 akibat krisis Nuklir pasca gempa besar (tsunami) yang melanda negeri itu. Kemudian disusul dengan mundurnya Menteri Industri Yashio Hachiro pada 12 September 2011 akibat menyebut kata “Kota Kematian.” Setahun sebelumnya, pada 2 Juni 2010, PM Jepang Yukio Hatoyama juga mengundurkan diri setelah hanya menjabat selama 9 bulan akibat popularitasnya menurun drastis karena keputusan mempertahankan pangkalan militer AS di Okinawa.

   Masih di kawasan Asia, di Korea Selatan tercatat sejarah ‘harakiri politik’dengan mundurnya Menteri Ekonomi Pengetahuan Korsel Choi Joong-Kyung pada 15 September 2011. Ada Ketua Parlemen Park Hee-Tae dari Partai berkuasa Grand National Party yang pada 9 Februari 2011, mengundurkan diri akibat adanya pengakuan dari salah satu Anggota Parlemen dari partai itu menerima sogokan pada pemilihan Ketua Partai pada 2008. Kemudian disusul juga dengan mundurnya salah satu Staf Senior Presiden Korsel Kim Hyo-Je yang diduga juga terlibat dengan kasus yang sama dengan Park.

     Sedang sejarah tentang ‘harakiri politik’ di luar Asia, belum lama tercatat Presiden Jerman Christian Wulff pada 17 Februari 2011 mundur karena tekanan publik diduga terlilit skandal bantuan keuangan dari seorang pengusaha, meski bantuan itu dia terima jauh sebelum menjabat sebagai presiden. Setahun sebelumnya, pada 31 Mei 2010 Presiden Jerman sebelumnya, Horst Koehler juga mengundurkan diri  akibat gencarnya kritikan setelah pernyataan mengenai misi tentara Jerman Bundeswehr. 

     Masih di Eropa, ‘harakiri politik’ dilakukan oleh PM Yunani George Papandreou yang pada 7 November 2011 mundur dari jabatannya akibat tekanan publik dan rasa malu gagal mengatasi krisis ekonomi berkepanjangan. Menteri Olahraga Brasil yang juga mengurusi persiapan Brasil dalam menyelenggarakan Piala Dunia 2014, Orlando Silva, mundur karena “diduga” korupsi anggaran negara untuk kepentingan pribadi. Sedang di Amerika Serikat, berita fenomenal mencuat ketika Presiden AS ke-37 Richard Nixon pada 9 Agustus 1974 mengundurkan diri setelah dituduh terlibat dalam skandal Watergate. 

     Alhasil, konsep harakiri dalam politik demokrasi modern adalah keniscayaan. Harakiri politik adalah tradisi pemimpin ksatria. Dan itu telah dicontohkan oleh negara-negara besar yang bervisi dan berjiwa besar yang mengantaran mereka untuk bisa tumbuh perkasa dan tetap survive di arena percaturan dunia yang semakin keras, semakin bebas dan cenderung buas. ‘Harakiri politik,’ atau ‘bom syahid politik’ merupakan puncak perjuangan seseorang ksatria-mujahid.

    Dari konsep, nilai dan spiritnya mengalir pemahaman altruisme-penyembelihan-pengorbanan ego individual-parsial-partikular, demi kemaslahatan publik-rakyat dan kepentingan besar bangsa dan negara. Tanpa harakiri politik, demokrasi sejati di negeri ini akan gagal mengejawantah dalam realita, kecuali demokrasi semu-kamuflase belaka. Dan republik tak akan pernah bernilai mencapai tujuannya, karena tiada lagi pemimpin berjiwa ksatria, apalagi para raja filsuf negarawan otentik. 

    Maka ketika negara menjadi rimba kekuasaan berpopulasi sekumpulan domba dan kawanan serigala. Aksi akrobatik kanibalistik demi obsesi orgasme politik, pemuasan hasrat-syahwat binatang melata, serial operahomo homini lupus dalam tata negara. Rakyat menjadi domba-domba yang saling berlaga, dan pemimpin menjadi serigala-serigala yang saling memangsa. Dan domba-domba mesti rela menjadi korban selanjutnya manakala serigala-serigala itu telah kehabisan mangsa di antara spesies mereka. 

No comments:

Post a Comment