Pekan-pekan terakhir ini menjadi pekan terberat bagi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Dari kasus Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri yang tidak ada habis-habisnya, hingga tuntutan buruh soal penghapusan sistem outsourcing atau alih daya yang memicu gelombang demo besar-besaran. Semua membutuhkan perhatian lebih darinya.
Masalah alih daya dia rampungkan dengan penandatanganan peraturan mengenai pelaksanaan jenis pekerjaan alih daya pada 15 November 2012 lalu. Dalam aturan baru ini, pekerjaan outsourcingditutup, kecuali untuk lima jenis pekerjaan, yaitu jasa pembersihan (cleaning service), keamanan, transportasi, katering, dan jasa migas pertambangan.
Istilah outsourcing juga diganti dengan pola hubungan kerja PPJP (Perusahaan Pengerah Jasa Pekerja). Sementara itu, untuk jenis pekerjaan di luar lima jenis itu, dimasukkan dalam pola pemborongan yang menggunakan sub kontrak perusahaan atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Sedangkan soal TKI, untuk urusan diplomasi ia menyerahkannya kepada Menteri Luar Negeri. Namun untuk penangaan kasus-kasus TKI, terutama di Malaysia, pemerintah telah membentuk Joint Working Group dengan negeri jiran itu.
Permasalahan buruh dan TKI, juga TKI ilegal sempat dibeberkan Muhaimin kepada VIVAnews di sela kunjungannya meninjau lokasi Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Kumai Seberang, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, 19 November 2012 lalu.
Masalah alih daya dia rampungkan dengan penandatanganan peraturan mengenai pelaksanaan jenis pekerjaan alih daya pada 15 November 2012 lalu. Dalam aturan baru ini, pekerjaan outsourcingditutup, kecuali untuk lima jenis pekerjaan, yaitu jasa pembersihan (cleaning service), keamanan, transportasi, katering, dan jasa migas pertambangan.
Istilah outsourcing juga diganti dengan pola hubungan kerja PPJP (Perusahaan Pengerah Jasa Pekerja). Sementara itu, untuk jenis pekerjaan di luar lima jenis itu, dimasukkan dalam pola pemborongan yang menggunakan sub kontrak perusahaan atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Sedangkan soal TKI, untuk urusan diplomasi ia menyerahkannya kepada Menteri Luar Negeri. Namun untuk penangaan kasus-kasus TKI, terutama di Malaysia, pemerintah telah membentuk Joint Working Group dengan negeri jiran itu.
Permasalahan buruh dan TKI, juga TKI ilegal sempat dibeberkan Muhaimin kepada VIVAnews di sela kunjungannya meninjau lokasi Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Kumai Seberang, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, 19 November 2012 lalu.
Berikut petikan wawancaranya:
Sistem alih daya hanya berlaku untuk lima jenis pekerjaan saja, sisanya sistem borongan. Apa sebetulnya beda sistem alih daya dengan sistem borongan?
Selama ini kan PPJP menjamur. Itu sekarang semua dilarang kecuali untuk lima sektor kan. Nah perusahaan kan khawatir nih, 'kalau tidak begitu kami bagaimana'. Maka kami beri alternatif dengan pemborongan.
Nah, sistem pemborongan itu bagaimana lebih persisnya?
Misalnya, pekerjaan di luar yang lima itu, yang selama ini di-outsourcing-kan, ada order Nike pusat di Amerika untuk bikin di Indonesia dalam waktu 3 bulan. Itu namanya pemborongan. Kontraknya bisa langsung ke perusahaan sepatu.
Untuk pemborongan itu bisa dengan model PKWT. Misalnya perusahaan A meng-hire pegawai administrasi, itu tidak boleh dengan perantara. Harus langsung, misalnya, kamu dikontrak setahun, setelah setahun diperpanjang setahun. Baru kemudian harus menjadi pegawai tetap. Jadi perpanjangan dua kali, itu namanya PKWT, baru ada masa depan pekerja itu.
Kalau sekarang kan tidak begitu, outsourcing. Kamu kontrak setahun bisa terus, habis itu setahun lagi, setahun lagi, sampai sepuluh tahun. Lalu nasibnya bagaimana. Nah itu melanggar filosofi di undang-undang. PPJP kan juga punya anak buah pekerja, nah ini juga mesti diperbaiki pola hubungannya.
Jadi dengan penerapan Permenakertrans yang baru ini dijamin tidak akan menimbulkan masalah baru bagi pekerja?
Makanya ada masa transisi setahun. Setahun ini proses kontrak lagi kita harapkan cukup.
Niatan baik Permenakertrans ini bisa jadi tak menghentikan gelombang protes. Bagaimana langkah Menakertrans?
Kita ini berdebat soal ini sudah dua tahun lebih, bahkan hampir tiga tahun. Antara pekerja dan pengusaha kita dudukkan bersama, tripartit. Tentu harus ada kepastian hukum.
Bagaimana jika Permenakertrans ini digugat ke MK, misalnya?Saya kira itu hak warga negara, kita akan lihat saja. Perdebatan terjadi itu kan biasa, tetapi kita lihat perdebatan terakhir kan menurut saya ada kesepahaman. Kalau saya baca dan sudah puluhan kali saya baca UU 13 itu, silakan dibaca, saya baca lagi. Saya lihat lagi pasal per pasal, pengusaha juga silahkan dibaca lagi. Jangan mengambil kesimpulan sebelum membaca. baca dulu filosofinya, baca dulu pasal per pasal. Kesimpulannya, sudah sama persis dengan Permen ini, bahwa pekerjaan itu pada intinya adalah hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja, tidak ada pihak ketiga. Semua poin tertera dalam UU kita begitu.
Pengusaha memberikan pekerjaan melalui pihak ketiga itu namanya PPJP, Perusahaan Pengerah Jasa Pekerja. Di UU itu cuma ada 5 itu, nggak ada lagi. Kalau ada pihak ketiga dalam pekerjaan yang diberikan, itu ada dua distorsi.Pertama, berarti ada keuntungan dong di pihak ketiga, berarti hak pekerja terpotong dong.
Kedua, secara teknis, dalam peradaban manapun, hubungan kerja itu langsung, nggak ada hubungan kerja melalui perantara. Kalau melalui perantara, berarti ada sesuatu yang salah. Nah, karena di UU itu sudah terlanjur disebut 5 jenis, itu juga karena 5 jenis itu sudah tertera, ya sudah, 5 jenis itu saja.
Itupun antara pihak ketiga dengan pekerja, hubungannya harus langsung. Jadi para pengusaha, jangan salah paham, yang tidak bisa dijembatani melalui pengerahan pekerja melalui perusahaan pihak ketiga itu, bisa menggunakan sistem pemborongan atau subkontrak, atau bisa menggunakan istilah pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Tapi ada syaratnya, ada waktunya. Kalau saya lihat, makanya saya berani memutuskan menandatangani Permenakertrans karena ada pertimbangan.
Terkait soal kasus TKI di Malaysia. Pelaku yang memperkosa 3 TKW tidak ditahan. Bagaimana pemerintah menyikapi ini?
Semua bergantung Kemenlu soal diplomasi. Soal diplomasi kan bukan urusan Menteri Tenaga Kerja. Jadi itu kami serahkan kepada Kementerian Luar Negeri. Tapi sebagai Menaker ya saya sudah minta protes.
Tapi sudahkah pemerintah atau khususnya Menaker dalam hal ini menyampaikan protes terkait pelaku pemerkosa itu tidak ditahan di sana?
Begini, di sana kan sudah ada hukum sendiri. Ada sistem hukum juga yang berlaku, apa ya saya tidak begitu paham itu, istilahnya itu lepas dengan jaminan uang. Tapi yang jelas kita protes itu.
TKW yang jadi korban perkosaan apakah ditangani di shelter luar negeri?
Tentu. Pasti. Kita kan ada shelter 24 jam, ada pengacara tetap, ada crisis center yang di KBRI maupun di KJRI.
Berapa banyak sebenarnya TKW kita yang jadi korban perkosaan?
Data sih ada. Tapi jumlah persisnya saya tidak hapal.
Bagaimana nasib mereka yang jadi mengalami perkosaan saat pulang ke Tanah Air?
Pasti ada semacam pendampingan.
Pendampingan seperti apa?
Ya pendampingan psikologis, pendampingan hukum. Ada semua. Bahkan kita punya pengacara tetap di semua negara itu.
RI dan Malaysia kan membentuk Joint Working Group untuk penanganan TKI dan TKW, itu apa saja tugas dan tanggungjawabnya?
Tugas utamanya mengawal pelaksanaan MoU tentang penempatan baik syarat-syaratnya, persiapannya, perlindungannya, kerja di hari libur, pembayaran gaji, pokoknya semua mekanisme MoU. Semua diawasi oleh Joint Working Group antara pemerintah Indonesia dan Malaysia ini.
Apakah Joint Working Group ini efektif?
Dalam konteks pelaksanaan MoU saya rasa sangat efektif. Bahkan sampai hari ini, yang lolos sampai memasuki wilayah MoU berangkat itu hanya 62, bagus-bagus. Gajinya bagus, perlindungannya bagus, hari liburnya terjaga. Hanya 62 yang lolos.
TKW yang jadi korban kasus pemerkosaan, siapa nanti yang menanganinya?
Sejak awal ditangani koordinasi Kemensos, Kemenaker, Kemenlu, dan Kemenkes dengan jalur yang mendapat pengawalan dari Satgas Bersama itu. Kalau melalui jalur ini selamat, aman, nyaman.
TKI atau TKW yang bekerja dengan visa pesiar atau pelancong itu juga masalah kita. Bagaimana penyelesaiannya?
Betul. Sebetulnya, jangan sampai coba-coba pergi dengan visa yang bukan untuk bekerja. Karena pasti celaka. Kalau itu terjadi pasti kita akan diremehkan, direndahkan, tidak memiliki hak-hak hidup yang baik, dan lain-lain. Itu yang harus disadarkan kepada masyarakat kita.
Lantas bagaimana penertiban bagi mereka yang berangkat dengan visa bukan sebagai pekerja tapi pelancong itu?
Nah itu kalau ada lembaga, lembaganya harus ditindak. Kalau itu perusahaan ya kita tutup.
Sudah ada yang ditutup?
Sampai hari ini yang berangkat kan bukan kelembagaan, tapi individu. Pelancong individu. Tapi kita minta Kemenlu juga turut mengantisipasi dengan pendekatan kepada pemerintah di sana agar mereka menindak tegas majikan yang mempekerjakan TKI yang tidak pakai visa pekerja. Itu harus dihukum oleh pemerintah sana.
Sistem alih daya hanya berlaku untuk lima jenis pekerjaan saja, sisanya sistem borongan. Apa sebetulnya beda sistem alih daya dengan sistem borongan?
Selama ini kan PPJP menjamur. Itu sekarang semua dilarang kecuali untuk lima sektor kan. Nah perusahaan kan khawatir nih, 'kalau tidak begitu kami bagaimana'. Maka kami beri alternatif dengan pemborongan.
Nah, sistem pemborongan itu bagaimana lebih persisnya?
Misalnya, pekerjaan di luar yang lima itu, yang selama ini di-outsourcing-kan, ada order Nike pusat di Amerika untuk bikin di Indonesia dalam waktu 3 bulan. Itu namanya pemborongan. Kontraknya bisa langsung ke perusahaan sepatu.
Untuk pemborongan itu bisa dengan model PKWT. Misalnya perusahaan A meng-hire pegawai administrasi, itu tidak boleh dengan perantara. Harus langsung, misalnya, kamu dikontrak setahun, setelah setahun diperpanjang setahun. Baru kemudian harus menjadi pegawai tetap. Jadi perpanjangan dua kali, itu namanya PKWT, baru ada masa depan pekerja itu.
Kalau sekarang kan tidak begitu, outsourcing. Kamu kontrak setahun bisa terus, habis itu setahun lagi, setahun lagi, sampai sepuluh tahun. Lalu nasibnya bagaimana. Nah itu melanggar filosofi di undang-undang. PPJP kan juga punya anak buah pekerja, nah ini juga mesti diperbaiki pola hubungannya.
Jadi dengan penerapan Permenakertrans yang baru ini dijamin tidak akan menimbulkan masalah baru bagi pekerja?
Makanya ada masa transisi setahun. Setahun ini proses kontrak lagi kita harapkan cukup.
Niatan baik Permenakertrans ini bisa jadi tak menghentikan gelombang protes. Bagaimana langkah Menakertrans?
Kita ini berdebat soal ini sudah dua tahun lebih, bahkan hampir tiga tahun. Antara pekerja dan pengusaha kita dudukkan bersama, tripartit. Tentu harus ada kepastian hukum.
Bagaimana jika Permenakertrans ini digugat ke MK, misalnya?Saya kira itu hak warga negara, kita akan lihat saja. Perdebatan terjadi itu kan biasa, tetapi kita lihat perdebatan terakhir kan menurut saya ada kesepahaman. Kalau saya baca dan sudah puluhan kali saya baca UU 13 itu, silakan dibaca, saya baca lagi. Saya lihat lagi pasal per pasal, pengusaha juga silahkan dibaca lagi. Jangan mengambil kesimpulan sebelum membaca. baca dulu filosofinya, baca dulu pasal per pasal. Kesimpulannya, sudah sama persis dengan Permen ini, bahwa pekerjaan itu pada intinya adalah hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja, tidak ada pihak ketiga. Semua poin tertera dalam UU kita begitu.
Pengusaha memberikan pekerjaan melalui pihak ketiga itu namanya PPJP, Perusahaan Pengerah Jasa Pekerja. Di UU itu cuma ada 5 itu, nggak ada lagi. Kalau ada pihak ketiga dalam pekerjaan yang diberikan, itu ada dua distorsi.Pertama, berarti ada keuntungan dong di pihak ketiga, berarti hak pekerja terpotong dong.
Kedua, secara teknis, dalam peradaban manapun, hubungan kerja itu langsung, nggak ada hubungan kerja melalui perantara. Kalau melalui perantara, berarti ada sesuatu yang salah. Nah, karena di UU itu sudah terlanjur disebut 5 jenis, itu juga karena 5 jenis itu sudah tertera, ya sudah, 5 jenis itu saja.
Itupun antara pihak ketiga dengan pekerja, hubungannya harus langsung. Jadi para pengusaha, jangan salah paham, yang tidak bisa dijembatani melalui pengerahan pekerja melalui perusahaan pihak ketiga itu, bisa menggunakan sistem pemborongan atau subkontrak, atau bisa menggunakan istilah pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Tapi ada syaratnya, ada waktunya. Kalau saya lihat, makanya saya berani memutuskan menandatangani Permenakertrans karena ada pertimbangan.
Terkait soal kasus TKI di Malaysia. Pelaku yang memperkosa 3 TKW tidak ditahan. Bagaimana pemerintah menyikapi ini?
Semua bergantung Kemenlu soal diplomasi. Soal diplomasi kan bukan urusan Menteri Tenaga Kerja. Jadi itu kami serahkan kepada Kementerian Luar Negeri. Tapi sebagai Menaker ya saya sudah minta protes.
Tapi sudahkah pemerintah atau khususnya Menaker dalam hal ini menyampaikan protes terkait pelaku pemerkosa itu tidak ditahan di sana?
Begini, di sana kan sudah ada hukum sendiri. Ada sistem hukum juga yang berlaku, apa ya saya tidak begitu paham itu, istilahnya itu lepas dengan jaminan uang. Tapi yang jelas kita protes itu.
TKW yang jadi korban perkosaan apakah ditangani di shelter luar negeri?
Tentu. Pasti. Kita kan ada shelter 24 jam, ada pengacara tetap, ada crisis center yang di KBRI maupun di KJRI.
Berapa banyak sebenarnya TKW kita yang jadi korban perkosaan?
Data sih ada. Tapi jumlah persisnya saya tidak hapal.
Bagaimana nasib mereka yang jadi mengalami perkosaan saat pulang ke Tanah Air?
Pasti ada semacam pendampingan.
Pendampingan seperti apa?
Ya pendampingan psikologis, pendampingan hukum. Ada semua. Bahkan kita punya pengacara tetap di semua negara itu.
RI dan Malaysia kan membentuk Joint Working Group untuk penanganan TKI dan TKW, itu apa saja tugas dan tanggungjawabnya?
Tugas utamanya mengawal pelaksanaan MoU tentang penempatan baik syarat-syaratnya, persiapannya, perlindungannya, kerja di hari libur, pembayaran gaji, pokoknya semua mekanisme MoU. Semua diawasi oleh Joint Working Group antara pemerintah Indonesia dan Malaysia ini.
Apakah Joint Working Group ini efektif?
Dalam konteks pelaksanaan MoU saya rasa sangat efektif. Bahkan sampai hari ini, yang lolos sampai memasuki wilayah MoU berangkat itu hanya 62, bagus-bagus. Gajinya bagus, perlindungannya bagus, hari liburnya terjaga. Hanya 62 yang lolos.
TKW yang jadi korban kasus pemerkosaan, siapa nanti yang menanganinya?
Sejak awal ditangani koordinasi Kemensos, Kemenaker, Kemenlu, dan Kemenkes dengan jalur yang mendapat pengawalan dari Satgas Bersama itu. Kalau melalui jalur ini selamat, aman, nyaman.
TKI atau TKW yang bekerja dengan visa pesiar atau pelancong itu juga masalah kita. Bagaimana penyelesaiannya?
Betul. Sebetulnya, jangan sampai coba-coba pergi dengan visa yang bukan untuk bekerja. Karena pasti celaka. Kalau itu terjadi pasti kita akan diremehkan, direndahkan, tidak memiliki hak-hak hidup yang baik, dan lain-lain. Itu yang harus disadarkan kepada masyarakat kita.
Lantas bagaimana penertiban bagi mereka yang berangkat dengan visa bukan sebagai pekerja tapi pelancong itu?
Nah itu kalau ada lembaga, lembaganya harus ditindak. Kalau itu perusahaan ya kita tutup.
Sudah ada yang ditutup?
Sampai hari ini yang berangkat kan bukan kelembagaan, tapi individu. Pelancong individu. Tapi kita minta Kemenlu juga turut mengantisipasi dengan pendekatan kepada pemerintah di sana agar mereka menindak tegas majikan yang mempekerjakan TKI yang tidak pakai visa pekerja. Itu harus dihukum oleh pemerintah sana.
No comments:
Post a Comment