Tuesday, 8 January 2013

PERDA YANG AYA AYA WAE, TANPA MEMPERTIMBANGKAN KESELAMATAN PENGENDARA (Larangan Bonceng Ngangkang di Lhokseumawe Sudah Final?. Duduk menyamping ketika membonceng motor justru berbahaya)

Duduk mengangkang bagi perempuan saat membonceng motor dilarang di Lhokseumawe, Aceh.
Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, mengatakan bahwa peraturan daerah bisa dibatalkan bila bermasalah, termasuk perda larangan membonceng motor mengangkang bagi perempuan yang berlaku per Senin, 7 Januari 2013, di kota Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam.

“Pemerintah pusat berwenang mengevaluasi dan memverifikasi perda itu,” kata Gamawan.
Sepanjang tahun 2012 saja, pemerintah pusat membatalkan 173 perda dari 3.000 perda yang dievaluasi. Perda bermasalah memang cukup banyak karena setiap harinya, satu dari 497 kabupaten/kota di seluruh Indonesia ada saja yang menerbitkan perda baru.

“Jadi Kementerian Dalam Negeri mencermati pasal demi pasal dalam perda yang diterbitkan. Dari hasil evaluasi itu, kadang suatu perda dibatalkan secara keseluruhan, atau dikoreksi beberapa pasal di dalamnya saja,” ujar Gamawan.
Evaluasi satu perda memakan waktu dua minggu atau 14 hari. Bila tahun 2012 Kemendagri mencabut 173 perda, maka tahun 2011 perda yang dicabut berjumlah lebih banyak lagi, yaitu 361 perda.
Total ada sekitar 9.000 perda yang diterbitkan selama periode 2010-2014, itu belum termasuk perda larangan membonceng motor mengangkang, menghadap ke depan, bagi perempuan yang baru saja diterbitkan Pemerintah Kota Lhokseumawe, Aceh.
Periode sebelumnya, tahun 2001-2009, hampir 4.000 perda dibatalkan pemerintah. Pembatalan perda sebanyak itu antara lain karena minimnya peran serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam mengawal penyusunan perda. “Banyak sekali DPRD yang masa bodoh,” kata mantan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar.
Ribuan perda itu dicabut karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, misalnya Keputusan Presiden, atau karena bertentangan dengan kepentingan umum dan bersifat diskriminatif.

Terkait perda larangan membonceng motor dengan menghadap ke depan bagi perempuan di Lhokseumawe, Mendagri belum tahu apakah perda itu diterbitkan karena dikaitkan dengan tradisi setempat ataukah karena ada niat untuk mendiskriminasi perempuan. Untuk itu Kemendagri akan mengevaluasinya segera setelah perda itu dievaluasi lebih dulu oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.
Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, belum berkomentar mengenai penerbitan perda tersebut. "Sedang kami bahas dengan pemda setempat. Butuh waktu," kata Zaini sembari bergegas memasuki mobil dinasnya usai acara peresmian Jalan Teunom-Meulaboh.
Merendahkan Harga Diri?

Kementerian Dalam Negeri saat ini belum menerima dokumen perda larangan membonceng motor mengangkang bagi perempuan di Lhokseumawe. Namun, kata Gamawan, kalau perda itu dikeluarkan dengan menjadikan perempuan sebagai alasan, maka itu tidak tepat.

Pemkot Lhokseumawe sendiri menyatakan, perda itu dibuat agar perempuan terlihat lebih sopan saat duduk di sepeda motor, dan agar perempuan tidak berpelukan dengan pasangan yang bukan muhrimnya. Ide perda ini bermula dari Wali Kota Lhokseumawe, Suaidi Yahya.

Suaidi mengatakan, perempuan duduk mengangkang ketika membonceng motor bertentangan dengan kesopanan. Menurutnya, itu menciderai penerapan syariat Islam di Aceh. Apalagi, ujar Suaidi, budaya masyarakat Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam.

“Perempuan duduk mengangkang di sepeda motor, apalagi dengan pasangan bukan muhrim, merendahkan marwah (harga diri) perempuan itu sendiri,” kata Suaidi.
Namun, pendapat Wali Kota Lhokseumawe itu mendapat tentangan dan protes dari aktivis perempuan di Aceh.
Juru bicara Forum Komunikasi Masyarakat Sipil Lhokseumawe dan Aceh Utara, Safwani, mengatakan seharusnya Wali Kota melahirkan kebijakan pemberdayaan bagi perempuan bila benar-benar berniat menaikkan derajat perempuan.

“Terlalu sempit pandangannya jika perda itu diterbitkan untuk menaikkan derajat perempuan. Suaidi sendiri tidak punya program berkualitas,” kata Safwani.
Training Director Jakarta Defensive Driving Consulting, Jusri Pulubuhu, mengatakan duduk menyamping ketika membonceng motor justru membahayakan penumpang, pengendara, dan pengguna jalan lainnya.
“Dengan duduk menyamping, kestabilan dan keseimbangan saat berkendara akan berkurang. Seharusnya sebelum aturan dibuat, terlebih dahulu harus memperhatikan aspek keselamatan, baru kepada estetika, norma, dan agama,” ujar Jusri.

Tak hanya kalangan dalam negeri yang mengomentari perda di Aceh itu, tapi juga media otomotif internasional, Jalopnik. Dalam salah satu artikelnya, media online itu memasukkan salah satu kota di Aceh tersebut ke dalam daftar tempat terburuk di dunia bagi wanita pengendara motor.

Seluruh kritik dan tentangan itu tak menggoyahkan sikap Pemkot Lhokseumawe. Suaidi menegaskan, meski perda itu tak dipahami oleh orang di luar Aceh, kesopanan sudah menjadi adat-istiadat Aceh sejak dulu. Pun bila dianggap berbahaya, menurut Suaidi, itu hanya terjadi jika pengemudi mengebut dalam berkendara.

INI BARU NAMANYA BONCENG NGANGKANG. hehehe......


No comments:

Post a Comment