Saturday, 25 July 2009

Jadikan Terorisme Musuh Bersama ASEAN

SEBUAH kenyataan pahit harus jujur diungkapkan, bahwa Indonesia telah menjadi persemaian yang subur bagi terorisme. Subur bagi jaringan terorisme regional, bahkan internasional.

Tragedi bom Mega Kuningan di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009 yang menewaskan sembilan orang, termasuk tujuh warga negara asing, dan melukai 55 orang lainnya, semakin memperkuat fakta bahwa kekerasan telah beranak pinak dengan suburnya di Indonesia.

Seluruh rangkaian ledakan bom--bom yang ke-26 di Indonesia sejak tahun 2000--itu tidak terlepas, langsung atau tidak langsung, dari keterlibatan jaringan teroris internasional. Karena itulah kepolisian mulai mengaitkan peran Al-Qaeda yang memiliki kaki tangan di Asia bernama Jamaah Islamiyah.

Jamaah Islamiyah telah menjelma menjadi organisasi teroris terbesar dan paling berbahaya di Asia Tenggara. Ia memiliki struktur di setiap negara. Celakanya lagi, konflik internal organisasi teroris itu telah melahirkan jaringan sempalan yang jauh lebih berbahaya.

Al-Qaeda melalui jaringan Jamaah Islamiyah selalu mencari panggung peledakan yang merepresentasikan simbol Barat, khususnya Amerika Serikat, dan mampu memberi gaung global yang kuat. Indonesia termasuk salah satu panggung bagi simbol-simbol Amerika itu.

Adalah fakta yang terang benderang bahwa Jamaah Islamiyah leluasa melatih anggotanya di kawasan Asia Tenggara. Ketidakmampuan atau keengganan beberapa negara Asia Tenggara untuk bertindak keras terhadap para ekstremis, bertahannya kamp-kamp pelatihan, dan besarnya jumlah orang yang tertarik pada ideologi Al-Qaeda, juga merupakan faktor-faktor yang menghambat perang melawan terorisme.

Di Asia Tenggara, tiga negara Indonesia, Filipina, dan Thailand, lebih dipilih menjadi tempat persemaian kegiatan kaum teroris. Mereka merasa lebih nyaman di tiga tempat ini.

Mengapa Jamaah Islamiyah tidak subur di Malaysia dan Singapura walaupun sebagian tokohnya pernah hidup di sana? Jawabnya, salah satunya adalah berlakunya undang-undang keamanan dalam negeri di kedua negara tersebut yang memungkinkan orang bisa ditangkap tanpa perlu diadili bila dicurigai berbahaya bagi kepentingan umum.

Indonesia pernah menganut undang-undang tersebut, tetapi diberangus setelah reformasi. Bersamaan dengan itu mengalirlah pegiat-pegiat Jamaah Islamiyah dari Singapura dan Malaysia ke Indonesia karena di sini terdapat ruang lebih bebas bagi kegiatan mereka.

Adapun di Filipina, mereka memperoleh benteng yang baik di Mindanao karena inilah wilayah yang sedang berperang mendirikan negara Islam bagi etnik Moro di Filipina Selatan. Mereka dianggap pejuang di sana.

Terlepas dari sistem hukum yang berbeda, mestinya seluruh negara Asia Tenggara bersatu padu melawan terorisme secara lebih operasional. Malaysia dan Singapura tidak bisa merasa nyaman hanya karena para teroris 'dibuang' ke Indonesia karena takut akan ISA (Internal Security Act) yang sangat keras di kedua negara itu.

Kita memberi apresiasi kepada sepuluh menteri luar negeri Asia Tenggara yang saat ini bertemu di Phuket, Thailand.

Mereka mengeluarkan pernyataan bersama. "ASEAN bersatu bersama pemerintah dan rakyat Indonesia dan tetap melanjutkan perjuangan kita melawan terorisme dalam segala bentuk dan pelaksanaannya."

Pernyataan saja tidak cukup. Pertemuan Phuket harus lebih konkret dalam melahirkan aksi melawan terorisme. Misalnya, kerja sama intelijen dengan dukungan dana yang besar. Bila perlu, melakukan operasi bersama-sama dalam memerangi teroris.

No comments:

Post a Comment