Saturday 25 July 2009

Melipatgandakan Kewaspadaan

SABAN kali teror bom terjadi, saban kali itu pula spekulasi berkembang. Spekulasi soal siapa pelakunya, dari kelompok mana mereka berasal, siapa yang mendanai, dan mengapa tempat itu yang menjadi sasaran bom.

Spekulasi itu pula yang terjadi pascapeledakan bom di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton, Jakarta, pada 17 Juli 2009. Spekulasi paling gencar adalah menyangkut siapa pelaku pemboman, karena beberapa jam setelah bom meledak, polisi menyebut nama berinisial N sebagai tersangka pelaku peledakan.

Maka, banyak yang mengarahkan telunjuk ke nama Nur Hasbi aliasi Nur Said sebagai pelaku peledakan bom di JW Marriott. Bahkan, spekulasi pun berkembang hingga disebutlah nama Ibrahim sebagai orang yang diduga pelaku peledakan bom Ritz Carlton.

Polisi pun kemudian memboyong keluarga Nur Said dan Ibrahim ke Jakarta untuk menjalani tes deoxyribonucleic acid atau DNA. Semuanya agar lebih terang-benderang dan menghentikan spekulasi yang makin liar.

Hanya satu hari setelah pemeriksaan, polisi pun mengumumkan hasilnya. Kesimpulannya, baik Nur Hasbi alias Nur Said maupun Ibrahim, bukanlah pelaku peledakan di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton.

Itu karena DNA keluarga mereka tidak cocok dengan DNA potongan kepala orang yang diduga sebagai pelaku bom bunuh diri.

Lalu, siapa pelaku pemboman? Polisi sampai pada kesimpulan bahwa pelaku pemboman di Hotel JW Marriott berusia 16-17 tahun dan pelaku pemboman di Hotel Ritz Carlton berumur 20-40 tahun. Polisi telah mengumumkan sketsa wajah keduanya kepada publik.

Demikianlah, polisi telah bekerja keras, sangat cepat, dan profesional. Polisi dengan tangkas telah mematahkan semua spekulasi yang berkembang. Bahkan, lebih dari itu, polisi berhasil mengungkapkan dua pelaku yang baru.

Selayaknya polisi mendapat apresiasi. Selayaknya pula kita pun angkat topi untuk independensi polisi dalam bekerja.

Namun, kerja keras belum selesai. Bahkan, temuan baru itu justru menjadi tantangan baru bagi jajaran kepolisian untuk menangkap sang pelaku.

Kendati muncul orang baru, bukan berarti polisi boleh melupakan Nur Said dan Ibrahim. Aparat tetap harus memastikan di mana kedua orang itu berada dan menangkapnya.

Masyarakat juga tidak boleh abai dan menyerahkan segalanya kepada polisi yang jumlahnya amat terbatas. Karena polisi sudah memublikasikan sketsa wajah pelaku, kita harus mulai proaktif menghubungi polisi jika melihat orang bermuka mirip pelaku.

Jangan segan untuk menegur orang-orang yang gelagatnya mencurigakan. Itu bukan mengajak kita untuk saling curiga, melainkan bagian penting dari kewaspadaan dan usaha memutus mata rantai terorisme.

Kenyataan selama ini membuktikan bahwa terorisme bekerja laksana angin. Terasa hawanya, tapi tidak kita ketahui wujudnya.

Para teroris juga bekerja dalam disiplin ekstraketat, kesabaran berlipat, dan selalu memproduksi modus-modus baru. Gerakannya pun kadang terpola, sering pula bersifat acak.

Karena itu, perang melawan terorisme adalah perang yang hebat. Ia membutuhkan stamina, disiplin, kewaspadaan, dan kerja sama dari seluruh elemen bangsa.

No comments:

Post a Comment